Sabtu, 20 Februari 2010

Situs Candi

Candi Pak Guru

Oleh: Nurhadi Rangkuti

Ketika memasuki halaman rumah, sosok bangunan batu langsung memaku pandangan. Sebuah karya seni bangunan kuna menempel di tembok halaman rumah. Muhammad Badri (49), pemilik rumah, dengan riang mempersilakan tamu menikmati hasil karyanya.

Balok-balok batu disusun cermat, membentuk bangunan candi. Setelah diamati, batu-batu itu memang batu candi asli. Lengkap dengan hiasan bangunan berbentuk simbar (antefiks), pelipit-pelipit dan batu-batu dengan hiasan simbolik lainnya. Sebuah batu kemuncak disusun di bagian atas.

Batu-batu candi penuh hiasan lainnya ditata apik di kolam air mancur depan rumah. Badri tersenyum senang menyaksikan para tamu memotret dan mencatat batu demi batu. ”Tidak satu pun batu yang hilang,” kata Badri yang bekerja sebagai guru SMP Negeri 12 Magelang itu.

Kata-kata itu mengandung arti bagi tamu yang menggeluti dunia kepurbakalaan. ”Tak satu pun batu yang hilang” merupakan anugerah. Artinya, batu-batu candi itu berasal dari sebuah situs yang masih perawan dari penjarah benda purbakala. Situs yang tentunya baru-baru saja ditemukan.

Badri mengiyakan pendapat itu. Batu-batu candi diperolehnya pada tanggal 11 Mei 2004 ketika menggali lubang di kebun salak miliknya, berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya. Lubang berukuran 2 x 1,5 meter yang semula untuk membuat parit itu ternyata memuat bagian bangunan candi mulai dari kaki candi sampai kemuncak. Komponen-komponen bangunan bagian tubuh dan atap candi yang telah runtuh dibawanya pulang ke rumah lalu disusun ulang. Bagian fondasi kaki candi terlihat masih tersusun rapi di dasar lubang.

Untunglah bangunan itu terpendam di kebun salak yang dipelihara dan dijaga siang dan malam oleh Badri. Maklum, yang ditanam adalah buah salak pondoh super, yang digemari karena rasanya yang manis. Penjagaan yang lumayan ketat untuk menghindari pencurian buah salak, sekaligus ikut mengamankan bangunan candi dari pencuri benda purbakala.

Situs candi yang ditemukan di kebun salak milik Muhammad Badri terletak di Dusun Losari, Desa Salam, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Lokasi situs yang berjarak sekitar 15 kilometer di sebelah tenggara Candi Borobudur itu telah menambah jumlah situs candi di Kabupaten Magelang.

Kelompok-kelompok candi

Balai Arkeologi Yogyakarta tengah mengkaji sebaran 35 situs candi dari abad ke-8 sampai ke-10 Masehi, dalam radius 15 kilometer dari Candi Borobudur. Candi-candi itu berlatar agama Buddha dan Hindu. Ada yang dibuat dari batu andesit, tidak sedikit terbuat dari bata. Letaknya ada yang di lereng gunung, di atas bukit, dan dataran yang tidak jauh dari sungai. Sebagian besar sisa-sisa bangunan suci itu ditemukan rusak atau tinggal batu-batunya yang tersisa. Arca-arcanya telah raib dicuri orang, sebagian hanya menyisakan tubuh arca.

Berdasarkan jarak terdekat antarsitus, 0-2 kilometer, tampak situs-situs candi berdiri berkelompok. Sedikitnya ada tujuh kelompok situs candi: kelompok Candi Borobudur (9 situs), kelompok Candi Ngawen (6 situs), kelompok Candi Wurung (3 situs), kelompok Candi Kendal (4 situs), Kelompok Candi Dampit (2 situs), kelompok Candi Asu (2 situs), dan kelompok Candi Gunung Wukir (3 situs). Situs lainnya berdiri sendiri, seperti Candi Pakem, Candi Gombong, Candi Nambangan, Candi Lemah, Candi Gono, dan Candi Bringin.

Situs Candi Losari, yang ditemukan di kebun salak milik Badri, masuk ke dalam kelompok Candi Gunung Wukir bersama dengan Candi Mantingan. Jaraknya sekitar 1,5 kilometer di sebelah timur Candi Mantingan. Candi Gunung Wukir dan Candi Mantingan masing-masing berdiri di atas sebuah bukit, dan berlatar agama Hindu. Namun belum diketahui secara pasti latar agama Candi Losari.

Candi Gunung Wukir sering dikaitkan dengan Prasasti Canggal (732 M), yang antara lain menyebutkan Raja Sanjaya (717-746 M) mendirikan sebuah lingga di atas bukit. Di bukit Gunung Wukir terdapat gugusan candi, terdiri atas candi induk dengan beberapa candi perwara di depannya. Pada lantai batur candi induk ada sebuah yoni besar. Biasanya yoni berpasangan dengan lingga, sebagai lambang Dewa Siwa dan pasangannya (cakti).

Candi Mantingan, yang digali bulan lalu oleh Balai Arkeologi Yogyakarta, berdiri di atas bukit Gunung Singo Barong, diperkirakan terdiri atas sebuah bangunan utama bertiang kayu menghadap ke timur dengan tiga candi perwara di depannya. Sebuah lapik besar di tengah bangunan utama diperkirakan sebagai lapik arca Dewa Siwa.

Belum jelas benar hubungan antara Candi Gunung Wukir, Candi Mantingan, dan Candi Losari, kecuali jaraknya yang berdekatan. Candi Losari belum diketahui luas dan tata letak bangunannya karena masih terpendam di dalam tanah. Dilihat dari sebagian batu-batunya yang disusun ulang oleh Badri, tampaknya berupa bangunan sudut dari sebuah bangunan candi yang diperkirakan berukuran relatif besar.

Muatan lokal

Muhammad Badri bukan iseng menyusun candi di rumahnya. Jiwa pendidiknya sebagai seorang guru mendorong ia menyelamatkan batu-batu kuno itu. Diakui oleh guru lulusan IKIP Yogyakarta itu, hatinya bergetar sewaktu menemukan warisan leluhur di kebun salak miliknya. Temuannya mengundang masyarakat berbondong-bondong datang ke rumahnya, termasuk Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah dan Balai Arkeologi Yogyakarta datang untuk mendata.

Bagi Badri, harta karun itu tidak dilihatnya dari nilai ekonomi semata. Lebih dari itu, nilai edukasi yang terkandung dalam candi bisa berguna untuk anak didik.

”Candi-candi yang banyak tersebar di Magelang pantas menjadi bahan pelajaran sekolah,” kata Badri yang mengajar bahasa Jawa di sekolah sebagai pelajaran muatan lokal. Bersama guru-guru lainnya, ia ikut menyusun kurikulum pelajaran muatan lokal SMP se-Jawa Tengah. Candi diusulkan masuk sebagai muatan lokal, dilatari oleh keprihatinannya akan generasi muda sekarang yang acuh tak acuh dengan warisan leluhur itu.

Keinginan pak guru sepantasnya diamini. Banyak informasi dan makna yang diperoleh dari bangunan kuna itu. Tidak hanya sejarah kerajaan-kerajaan kuno, tetapi juga kehidupan masa lalu yang penuh toleransi agama dan kearifan lingkungan.

Lihat saja, candi-candi Hindu dan Buddha berdiri berdampingan. Pemilihan lokasi bangunan suci itu senantiasa mempertimbangkan keselarasan dengan alam. Nilai-nilai yang mulai hilang di zaman ini.

Nurhadi Rangkuti Peneliti di Balai Arkeologi Yogyakarta

1 komentar:

  1. Salam kenal, saya Rafael salah seorang penggemar candi dan situs2 purbakala. Apakah anda punya peta lokasi candi2 yg anda tuliskan dalam blog anda ini?

    BalasHapus