Sabtu, 20 Februari 2010

DAFTAR CANDI DI INDONESIA

DAFTAR CANDI DI INDONESIA

Candi adalah sebuah bangunan tempat ibadah dari peninggalan masa lampau yang berasal dari agama Hindu-Buddha. Namun demikian, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja. Banyak situs-situs purbakala lain dari masa Hindu-Buddha atau Klasik Indonesia, baik sebagai istana, pemandian/petirtaan, gapura, dan sebagainya, disebut dengan istilah candi.

Beberapa candi di Indonesia:

Jawa Barat

Candi Cangkuang (Garut)
Candi Jiwa (Kerawang)
Situs percandian Batujaya (Kerawang)

Jawa Tengah

Candi Borobudur, Borobudur, Magelang
Candi Mendut, Mendut, Magelang
Candi Pawon, Borobudur, Magelang
Candi Bubrah, Prambanan
Candi Ngawen, Muntilan, Magelang
Candi Asu, Magelang
Candi Lumbung, Magelang
Candi Canggal atau Candi Gunung Wukir, Salam, Magelang
Candi Selagriya, Magelang
Candi Losari, Salam, Magelang
Candi Gunungsari, Muntilan, Magelang
Candi Prambanan, Prambanan, Klaten
Candi Plaosan (Lor), Prambanan, Klaten
Candi Plaosan Kidul, Prambanan, Klaten
Candi Sewu, Prambanan, Klaten
Candi Lumbung, Prambanan, Klaten
Candi Sojiwan, Prambanan, Klaten
Candi Sukuh, Karanganyar
Candi Cetho, Karanganyar
Candi Kethek, Karanganyar
Kompleks Candi Gedong Songo, Semarang

Kompleks Candi Dieng, Banjarnegara
Candi Arjuna
Candi Puntadewa
Candi Bima
Candi Gatotkaca
Candi Semar
Candi Srikandi
Candi Dwarawati
Candi Sembadra
Candi Bogang, Wonosobo
Candi Pringapus, Parakan, Temanggung
Candi Gondosuli, Bulu, Temanggung
Candi Dukuh, Salatiga

Daerah Istimewa Yogyakarta

Situs Arca Gupolo
Situs Goa Sentono
Situs Mantup
Candi Kalasan
Candi Banyunibo
Candi Ratu Boko
Candi Sambi Sari
Candi Sari
Candi Ijo
Candi Barong
Candi Kedulan
Candi Gebang
Candi Morangan
Candi Gampingan
Candi Watu Gudhig
Situs Payak, Bantul
Candi Keblak
Candi Abang
Candi Miri
Candi Dawangsari
Situs candi Gembirowati

Jawa Timur

Candi Gambar
Candi Badut (Malang)
Candi Jago (Tumpang, Malang)
Candi Kidal (Malang)
Candi Singosari (Singosari, Malang)
Candi Sanggariti (Batu, Malang)
Stupa Sumberawan (Singosari, Malang)
Candi Rambut Monte (Krisik, Ngantang, Malang)
Candi Panataran (Blitar)
Candi Selakelir
Candi Surawana (Pare, Kediri)
Candi Tigawangi (Pare, Kediri)

Kompleks Pertapaan Goa Selomangleng (Mojoroto, Kediri)
Candi Dorok (Pare, Kediri)
Candi Lor (Loceret, Nganjuk)
Candi Ngetos (Ngetos, Nganjuk)
Candi Rimbi (Ngrimbi, Jombang)

Kompleks Percandian Gunung Arjuna
Candi Jawi (Prigen, Pasuruan)
Candi Kebo Ireng (Kejapanan, Pasuruan)
Candi Gunung Gangsir (Gunung Gangsir, Pasuruan)

Kompleks Percandian Gunung Penangungan (Trawas, Mojokerto)
Petirtaan Jalatunda
Candi Kama I
Candi Kama II
Candi Gajah Mungkur
Candi Wayang
Candi Kendalisada
Candi Pasetran
Gapura Jedong (gapura tipe candi bentar)
Petirtaan Watu Tetek
Petirtaan Belahan
Candi Lemari
Candi Gentong
Candi Brangkal (Ngoro, Mojosari)

Kompleks Trowulan (Mojokerto)
Candi Tikus
Candi Menak Jingga
Candi Brahu
Candi Gentong
Gapura Wringin Lawang (tipe candi bentar)
Gapura Bajang Ratu (tipe paduraksa)
Kolam Segaran
Candi Kedaton

Kompleks Percandian Gunung Welirang
Reco Lanang
Reco Wadon
Watu Meja
Watu Kaca
Candi Sawentar (Garum, Blitar)
Candi Simping (Simping, Blitar)

Kompleks Percandian Panataran (Blitar)
Candi Gambar Wetan (Blitar)
Candi Jabung (Probolinggo)
Candi Gayatri atau Candi Boyolangu (Boyolangu, Tulungagung)
Candi Dadi (Boyolangu, Tulungagung)
Candi Cungkup atau Candi Sanggrahan (Boyolangu, Tulungagung
Candi Selomangleng atau Goa Pertapaan Selomangleng (Boyolangu, Tulungagung)
Candi Pendem (Trenggalek)
Candi Pari (Porong, Sidoarjo) seberang Kolam Lumpur LAPINDO
Candi Sumur (Porong, Sidoarjo) seberang Kolam Lumpur LAPINDO

Bali

Candi Gunung Kawi, Gianyar
Situs Goa Gajah, Tampaksiring, Gianyar

Sumatra

Candi Muara Takus di Riau
Candi Biaro Bahal di Tapanuli Selatan
Candi Muaro Jambi di Jambi
Candi Lesung Batu di Lesungbatu, Rawas Ulu, Musi Rawas, Sumatera Selatan

Kalimantan

Candi Agung di Amuntai Tengah, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Candi Hindu.
Candi Laras di Candi Laras Selatan, Tapin, Kalimantan Selatan. Candi Buddha.
Situs Pematang Bata di Candi Laras Selatan, Tapin, Kalimantan Selatan
Candi Tanjungpura, di desa Benua Lama, Benua Kayong, Ketapang, Kalimantan Barat
Batu Lasung (yoni), desa Cantung Kiri Hilir, Kelumpang Hulu, Kotabaru, Kalsel

Sumber : id.wikipedia.org

Episode 4 : Wisata Candi Magelang

by nando

Pada Episode ini , team Wisata Ransel akan menayangkan liputan khusus tentang Wisata Candi yang berada di Kota Magelang.

Magelang yang merupakan kota candi, memang memiliki berbagai macam candi yang terdapat di daerah sekitarnya, menyajikan suatu sensasi yang sangat fenomenal, ada Candi Gunung Wukir, Mendut, Pawon , Ngawen dan banyak lagi yang dapat kita nikmati akan keindahan di tiap sisi kehidupan terdahulunya.

Candi Gunung Wukir
Candi gunung wukir ini terletak di dusun Carikan, desa kadiluwih dikecamatan salam kabupaten magelang dengan ketinggian 330 di atas permukaan laut. Candi ini tepatnya berada diatas bukit GunungWukir dari lereng Gunung Merapi pada perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Candi Ngawen

Di Candi Ngawen ini terdapat 5 candi kecil, dua diantaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada ke empat sudutnya, dan disalah satunya terdapat patung budha dengan posisi duduk Ratnasambawa didalamnya.

Candi Ngawen adalah Candi Budha yang berada kira-kira 5 km sebelum Candi Mendut dari arah Yogyakarta yaitu di desa Ngawen, kecamatan Mutilan, Magelang, Menurut perkiraan candi ini dibangun oleh warga Syailendra.

Candi Pawon

Candi yang terletak 1,5 km ke arah barat dari Candi Mendut dan ke arah timur dari Candi Borobudur, juga merupakan sebuah candi Budha. Pada saat diteliti secara lengkap pada reliefnya, Candi Pawon ini ternyata merupakan permulaan relief Candi Borobudur.

Menurut Poerbatjaraka, Candi Pawon adalah Upa Angga, artinya bagian dari Borobudur, seperti pawon adalah bagian dari sebuah rumah. Sementara itu ahli epigrafi Casparis berpendapat bahwa Candi Pawon adalah tempat pemakaman raja Indra yang memerintah tahun 782 - 812 Masehi. Candi Pawon dahulunya merupakan tempat menyimpan abu sisa pembakaran jenazah raja Indra. Untuk memperingati raja Indra yang berkedudukan sederajad dengan Bodhisattva, maka dalam candi ini ditempatkan arca Bodhisattva yang memakai atribut vajra, artinya bersinar, merupakan senjata Bodhisattva.

Candi Mendut

Candi yang terletak di desa Mendut, kecamatan Mungkid, Magelang. Candi Mendut adalah bangunan candi berlatar belakang agama Budha, didirikan oleh Raja Indra, raja pertama dari Dinasti Syailendra pada tahun 824 Masehi.

Di Candi Mendut ini Pada bagian kakinya terdapat selasar atau jalan untuk mengelilingi candi dihiasi dengan ornamen-ornamen bermotifkan bunga. Dan Pada tubuh candinya di penuhi dengan berbagai hiasan, baik binatang, bunga, maupun arca-arca.

Keunikan Mendut dibanding candi-candi lain di Jawa bahkan di Indonesia, antara lain pada pintu masuknya yang menghadap ke barat laut. Sebab kebanyakan candi menghadap ke timur. Selain itu di bilik candi terdapat 3 arca dengan ukuran cukup besar. Masing-masing terbuat dari bongkahan batu utuh.
Tiga arca tersebut makin menguatkan kekaguman betapa hebat karya seni nenek-moyang bangsa Indonesia. Ketiga arca tersebut adalah :
1. Cakyamuni yang sedang duduk bersila dengan posisi tangan memutar roda dharma.
2. Awalokiteswara sebagai Bodhi Satwa membantu umat manusia
Awalokiteswara merupakan patung amitabha yang berada di atas mahkotanya, Vajrapani. Ia sedang memegang bunga teratai merah yang diletakkan di atas telapak tangan.
3. Maitreya sebagai penyelamat manusia di masa depan

KOMPAS/ HERU SRI KUMORO

Candi Prambanan

/

Jumat, 15 Mei 2009 | 22:27 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Mohamad Final Daeng

KLATEN, KOMPAS.com — Sebanyak 45 bongkah batu candi kuno ditemukan terkubur di kompleks kantor Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Diduga kuat, batu-batu itu merupakan bagian dari struktur candi kuno yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha abad ke-8 Masehi.

Batu-batu berdimensi rata-rata 30 x 30 x 40 cm itu pertama kali ditemukan oleh Supriyanto (47), Kepala Ketertiban dan Keamanan Kecamatan Prambanan, ketika sedang menggali lubang untuk tempat pembuangan sampah di halaman belakang kantor kecamatan, Rabu (13/5). Lokasi penemuan hanya berjarak sekitar 500 meter sebelah timur kompleks Candi Prambanan.

Lubang itu adalah lubang kelima yang digali seorang warga bernama Supriyanto. Pada empat lubang sebelumnya, ia tidak menemukan apa-apa. "Saat menggali sampai kedalaman 1 meter, saya menemukan bongkahan batu seperti batu candi. Kemudian, saya langsung melapor ke Pak Camat yang langsung melaporkan ke Balai Purbakala," katanya ketika ditemui di lokasi penggalian, Jumat (15/5).

Setelah dilakukan penggalian lebih dalam, ditemukan puluhan batu lainnya dalam kondisi berserakan. Namun, terdapat pula batu-batu yang masih tersusun membentuk undakan. Dari 45 batu yang berhasil diangkat selama 3 hari penggalian, sepuluh di antaranya berukir relief.

"Petugas dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah telah mendatangi lokasi dan memeriksa batu-batu tersebut. Batu-batu itu bisa dipastikan merupakan bagian dari struktur bangunan candi kuno," kata Kepala Kelompok Kerja Perlindungan BP3 Jateng Tri Wismabudi.

Tri mengatakan, lokasi penemuan batu-batuan itu masih merupakan bagian dari wilayah Siwa Plato (daerah yang banyak ditemukan candi-candi peninggalan peradaban Hindu dan Buddha). Meski demikian, ia belum bisa memastikan usia dan besar struktur candi tersebut karena temuan ini masih sangat awal.

"Masih harus dilakukan penelitian lebih jauh lagi. Tapi, kalau dilihat dari usia candi-candi di sekitarnya, seperti Candi Sewu, diperkirakan candi itu berasal dari abad 8-9 Masehi," katanya.

Lebih jauh, Tri mengatakan bahwa BP3 akan melakukan penelitian terhadap batu-batu tersebut, salah satunya dengan metode susun-coba, untuk mengungkap struktur utuh dari candi itu. "Kemungkinan di bawah batu-batu itu masih terdapat struktur lain yang lebih besar. Namun, rencana penggalian lebih lanjut masih dalam pembahasan," katanya.

Artikel Candi

Membaca Ulang Claire Holt

Seno Joko Suyono

DI bulan Oktober tahun 1970, Ben Anderson menulis sebuah obituari yang menyentuh mengenang kepergian koleganya di Indonesian Modern Cornell Project, Claire Holt.

SAYA ingat, di suatu sore tahun 1968, saat saya baru pulang dari Indonesia, saya bercerita kepadanya tentang seorang sahabat kami berdua, seorang empu gamelan di Jawa, yang merasa hari kematiannya sudah dekat, kemudian berusaha menjauhkan dirinya dari segala sesuatu yang dicintainya: barang-barang pribadinya, keluarganya, musik di mana ia mengabdikan diri seumur hidupnya. Imajinasi Claire Holt tampak terserap jauh ke sahabat kami dari Jawa itu, membayangkan bagaimana dia menyiapkan diri menghadapi maut dan tiba-tiba Holt mengatakan bahwa dirinya juga mungkin bila saatnya tiba, akan juga berlaku seperti itu.

Kita tak tahu, apakah Holt menjelang ajalnya benar-benar menyiapkan diri- sumeleh ala kebajikan mistik Jawa itu. Claire Holt wafat tahun 1970. Ia meninggalkan "Art in Indonesia: Continuities and Change (1967)". Sebuah karya yang boleh dibilang magnum opus. Berbeda dengan peneliti lain, dia juga seorang fotografer, etnolog tari, arkeolog, pematung, sekaligus traveler. Minatnya yang luas itu, menurut hemat saya, sangat mempengaruhi caranya menulis.

Bukunya bukan jenis traktat akademis yang kaku, sistematik, kering. Tapi sebagaimana hatinya tergetar pada sikap temannya menyongsong elmaut tadi, ia menulis dengan empati yang dalam. Ia terlihat peka pada detail. Bila ia menerangkan relief balustrade candi misalnya, dengan rinci ia dapat memaparkan gaya, ornamen-ornamen flora, bentuk-bentuk pilaster, ceruk-ceruknya. Ia seakan mampu menangkap hal-hal kecil yang tak terlihat orang. Perbandingan atas hal satu dan lain kadang mengagetkan, melayangkan imajinasi .

Holt tinggal di Jawa dan Bali, di tahun 30an, saat era romantis bagi para peneliti bohemian, seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, Covarubias, Margaret Mead, Jaap Kunst, Th Pigeaud, Colin Mcphee, Mantle Hood. Minat awal Holt terhadap Indonesia seperti ditulisnya di majalah Indonesia No 6 (Oktober) 1968, dipicu oleh Robert Heine-Geldern, seorang antropolog yang memiliki data-data luas tentang kebudayaan perunggu di Jawa, kebudayaan megalitik di Nias yang bekerja di American Museum of Natural History di New York. Bersama dengannya dan Margaret Mead, Holt mendirikan the East Indies Institute of Amerika.

Holt selanjutnya menjadi asisten Wilhelm Stutterheim, peneliti Borobudur, Prambanan. Holt juga terlibat sebuah ekspedisi bersama seorang dokumentator asal Swedia, Rolf de Mare, pendiri Archives Internationales de la Danse di Paris, untuk perekaman tari-tarian Indonesia. Itu membuatnya ke penjuru pelosok Nusantara, membuat film dokumenter. Tim ini juga mengumpulkan lebih dua ratus sketsa, kostum tari, topeng, instrumen musik tari untuk koleksi museum.

Pada tahun 1939 koleksi ini dipamerkan. Tahun itu juga, Archives menerbitkan tulisan Holt: Dance Quest in Celebest. Dilengkapi lebih dari seratus foto. Karena Perang Dunia 2, Archives dipindahkan dari Paris ke Stockholm, Swedia. Dan, seluruh koleksi topeng, fotografi dan film yang dikerjakan oleh Holt itu konon sampai sekarang masih bisa dinikmati di Drottningholm Theater Libarary, Stockholm, Swedia. Catatan perjalanan Holt setelah ia wafat tahun 72-an diterbitkan di majalah Indonesia. Antara lain: Dances of Sumatra and Nias, Batak Dances, Dances of Minangkabau.

Fokus utama Art in Indonesia adalah melacak benang-benang utama kontinuitas, diskontinuitas, perubahan-perubahan gaya atau perasaan-perasaan dalam struktur sejarah seni di Indonesia. Dari masa prasejarah sampai seni Indonesia modern. Satu hal yang harus dipegang, proses dinamika sejarah kesenian Indonesia bagi Holt adalah semacam proses osmosis kebudayaan yang terus-menerus. Istilah osmosis itu juga digunakan oleh Denys Lombard, dalam karya monumentalnya: Nusa Jawa: Silang Budaya. Untuk kasus di Indonesia, demikian Lombard, kita tak bisa memakai perspektif dialektika dalam pengertian Hegelian. Karena di situ pasti ada unsur aufgehebung, kebudayaan pemenangnya. Yang terjadi dalam sejarah seni di sini adalah suatu proses saling perembesan kultur, bukan dialektika. Suatu kegiatan saling serap antara warisan-warisan lokal dan pengaruhnya, yang membuat terjadi mutasi terus-menerus, baik saat Indonesia masa kuno maupun Indonesia modern.

Tentu saja data-data Indonesia modern yang disajikan Holt hanya terbatas sampai tahun 1970. Namun, Holt bisa memberikan dasar bagaimana cara membaca mutasi itu. Adakah suatu pembaruan kesenian itu masih ada kesinambungan dengan yang lama atau sepenuhnya merupakan ketidaksinambungan? Di situlah saya kira letak penting Holt. Holt sendiri secara panjang lebar mendeskripsikan proses osmosis itu terjadi pada tiga tataran, yaitu arkeologi, tari, dan seni rupa.

Ganesha, sebuah contoh adaptasi

Untuk arkeologi dan tari, izinkan saya mula-mula mengutip ucapan Rabindranath Tagore yang datang ke Jawa dan Bali pada tahun 1927. Kedatangan Tagore itu atas usaha Noto Soeroto, penyair, cucu Pakualam V yang tinggal di Den Haag. Tagore, seperti disitir Holt setelah menonton berbagai pertunjukan tari di Jogja dan Bali, berkomentar demikian, "Saya melihat India di mana saja, tapi saya tak mengenalnya." Pendiri Shantiniketan itu dengan kata lain terpesona atas kemampuan adaptasi tinggi di Jawa dan Bali atas sumber-sumber India.

Tak syak memang ada suatu masa, kesenian kita mendapat pengaruh India yang kental. Candi-candi Jawa Tengah masa abad ke-8 sampai ke-10 adalah bukti itu. Holt menduga proses Hinduisasi berjalan pelan-pelan, kompleks dan tidak ajeg. Sampai kini belum ada evidensi arkeologis yang tergali begitu jauh untuk mengetahui evolusi lambat seni India di Jawa. Tiba-tiba sekonyong-konyong candi-candi itu ada, muncul dengan kekayaan yang mendadak. Semua arkeolog setuju bentuk-bentuk candi Jawa Tengah didesain mengikuti aturan yang berasal dari arsitektur kuil-kuil India Barat, terutama di daerah Nalanda. Ada pertalian dekat, kesamaan gaya, simbolisme, bentuk, rincian. Tapi, Holt menunjukkan, bagaimana sedemikian rupa Prambanan, Borobudur, dan Mendut mengalami modifikasi-modifikasi prinsipiil.

Terdapat ciri-ciri di candi-candi itu yang tidak ada di India. Salah satunya yang mencolok adalah patung-patung disusun dengan cermat ke dalam ceruk-ceruk, ruang-ruang yang dibagi-bagi secara simetris. Kita bisa melihat di Borobudur bagaimana figur manusia dimasukkan di dalam kerangka yang dibatasi oleh panel-panel. Proporsi-proporsi dipertahankan dalam keseimbangan, tanpa kontras yang keras dalam ukuran. Ornamen tak bakal mengungguli bangunan. Istilah Holt di situ, ketidakkeruan kontras yang bebas tidak diperkenankan.

Di India, sebaliknya, banyak dibuat patung yang besar-besar, berapi-api, mencolok mata melebihi bangunan candinya sendiri. Kita ingat-patung Buddha besar di Afganistan, yang dihancurkan oleh Taliban, tentunya dari segi ukuran, gigantik melebihi bangunan mana pun. Menurut Holt, model gigantisme padahal sangat lebih dimungkinkan dikerjakan di Jawa sebab kondisi alam vulkaniknya sangat cocok. Holt menyetujui pendapat Poerbatjaraka ada kemungkinan wiracarita Ramayana telah diterjemahkan tahun 898-90 ke dalam bahasa Jawa kuno. Itu dipakai untuk panduan bagi pematung Indonesia. Holt melihat, ada semacam pergulatan adaptasi perasaan Indonesia atas teks dan bangunan.

Suatu gaya yang benar-benar bebas dari India, menurut Holt, muncul pada candi-candi periode Jawa Timur. Ungkapan-ungkapan arsitektural reliefnya sangat berbeda dengan candi Jawa Tengah. Masa itu kesusastraan Jawa Kuna dan Kawi berkembang. Penelitian Zootmulder dan Kuntara Wiryamartana membuktikan bagaimana kakawin Arjunawiwaha Mpu Kanwa (1030) dan Bharatayudha Mpu Sedah (1157), atau puisi-puisi panjang Smaradhana, Garudeya, dan Sudamala sangat dikenal saat itu. Ada kemungkinan kakawin itu memiliki pengaruh pada penggambaran relief.

Dari segi ornamentasinya, ciri relief di Jawa Timur adalah makin kuatnya syle stilisasi. Tubuh manusia-seperti juga diamati Denys Lombard-digarap dengan sangat khas: lengan sangat panjang. Itulah "gaya wayang", yang setiap rincian memiliki nilai simbolis. Tubuh bukan realis, melainkan suatu stereotip, arketip, yang mengacu pada suatu klasifikasi perwatakan yang sangat rumit. Motif-motif alami juga menjadi makin terstilisasi. Adegan Ramayana di relief Candi Penataran misalnya sangat berbeda dengan adegan Ramayana di Prambanan. Candi-candi di Jawa Timur memilih adegan yang menakutkan, raksasa-raksasa dengan stilisasi lidah api. Juga arca-arca di Candi Singasari. Masa Singasari boleh dibilang adalah masa puncak perkembangan gaya seni arca. Di situ ada arca Prajnaparamita, Agastya, Ganesha, dan Durga. Sesuatu yang familiar di India selatan. Menurut Holt, arca durga Mahisasurmardini lebih ekspresif daripada Durga Lara Jonggrang. Ganesha, yang kini menjadi lambang ITB itu, juga lebih menakutkan dari Ganesha yang dipahami di India.

Marilah, untuk mendapat perbandingan yang jelas, kita sedikit masuk soal Ganesha ini. Di India, arca Ganesha umumnya digambarkan berkepala gajah, berbadan manusia, berkaki manusia, badannya gemuk, perutnya buncit, taringnya patah sebelah. Tangannya empat. Tangan kanan depan memegang taringnya yang patah, tangan kiri depan membawa modaka, sejenis kue dalam sebuah mangkuk. Belalainya menjulur ke dalam mangkuk ini. Adapun tangan kanan belakang membawa aksamala atau tasbih. Rambutnya dihiasi dengan mahkota berupa jalinan rambut.

Secara umum, ciri-ciri itu sama dengan Ganesha Singosari. Namun, yang berbeda adalah Ganesha Singasari: duduk di alas tengkorak-tengkorak. Tengkorak juga menghias mahkota kerucut sang gajah, membentuk hiasan telinganya, menjadi manik-manik gelang-gelangnya. Holt melihat itu bagian dari estetika Bhiravais yang dianut Kertanegara. Disertasi Edi Sedyawati, Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singasari, bisa mengukuhkan pendapat Holt. Menurut Edi, asana berupa deretan tengkorak adalah ciri khusus ikonografik Ganesha Jawa. Pengarcaan Ganesha di Kediri mengambil rujukan kitab-kitab seperti Smaradahana, yang menurut Edy sejak dalam teks memang terdapat "penyelewengan" tafsir dengan sumber aslinya.

Misalnya, soal asal-usul kepala gajah. Mengapa Ganesha berkepala gajah? Aslinya, sumber India menceritakan bahwa kepala terpenggal saat melawan Sywa. Sementara dalam versi lokal kakawin Smaradahana, tidak terdapat unsur pemenggalan kepala demikian. Smaradahana menyebutkan Ganesha bermuka gajah karena ibunya, Parwati waktu mengandung terkejut melihat Airawata, gajah kendaraan Indra. Suatu kadar penafsiran yang menurut Edi cukup tinggi.

Selain Penataran dan Singasari, menurut Holt, Candi Sukuh yang terletak di kaki Gunung Lawu adalah candi yang penuh interpretasi lokal. Sukuh didirikan tahun 1437, tahun surutnya Kerajaan Majapahit dan menipisnya unsur-unsur kebudayaan Hindu. Sampai sekarang masih terdapat ketidaksepakatan di antara ahli apakah Candi Sukuh ini merupakan fenomena perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah, atau merupakan ekspresi klimaks sisa-sisa terakhir Hindu di Jawa. Apakah Sukuh, kata Holt, ibarat gong Jawa di akhir lagu yang bergema mengakhiri semua peninggalan Hindu sebelumnya?

Yang jelas candi mungil ini unik. Bentuknya piramida terpancung mengingatkan kita pada bentuk candi suku Maya di Meksiko. Ini adalah satu-satunya candi yang reliefnya menampilkan kisah Garudeya dan Sudamala, cerita Sadewa membebaskan Dewi Uma. Ini juga satu-satunya candi yang menampilkan lingga-yoni secara blak-blakan. Adakah kaitannya dengan Singosari? Holt tak menjawab.

Untuk itu menarik misalnya membaca esai Stanley JO Connor, Metallurgy and Immortality at Candi Sukuh, Central Java, atau esai Nancy Dawling, The Javanization of Indian Art. Keduanya mengupas salah satu relief Sukuh yang "aneh". Relief ini menggambarkan seekor gajah menari, satu kakinya diangkat seakan kuda-kudanya tak imbang. Tangan sang gajah ini membawa anjing kecil. Kelamin gajah ini diekspos, lehernya mengenakan tasbih tulang.

Menurut Connor, relief gajah ini bercerita tentang tarian gajah mabuk yang dikenal pada salah satu upacara Tantrik. Ia bersandar pada tulisan Pigeaud yang menganalisis Negara-Kertagama. Dalam salah satu bagian Negara Kertagama, Mpu Prapanca menceritakan bahwa Kertanegara (1268-1292) pernah mengadakan ritual yang disebut Ganacakra. Gana adalah nama lain Ganesha. Nah, Poerbatjaraka pada tahun 1924 pernah menemukan perihal Ganacakra, dalam literatur sejarah Budhisme di Tibet yang ditulis Taranatha. Disebutkan, Taranatha adalah salah satu upacara Ganackra di Tibet, pengekspresian Ganesha harus dengan membawa anjing, karena dia juga raja anjing.

Connor dan Dawling selanjutnya menyebut sebuah pertunjukan yang pernah dilihat Stutterheim di Keraton Solo. Pada tahun 1932, Stutterheim menonton adegan dagelan, badut-badutan yang disebut cantang balang yang mengenakan lencana lambang phalus coitus vagina. Sembari menari, mereka menawarkan ledhek pada hadirin. Dalam salah satu adegan, mereka menarikan yang disebut "Gajah ngombe (minum)". Dengan membawa segelas arak di tangan kananya, mereka menirukan adegan-adegan anjing bila kasmaran. Connor dan Dawling memperkirakan, relief gajah mabuk di Sukuh ada hubungannya.

2 komentar:

  1. "Candi adalah sebuah bangunan tempat ibadah dari peninggalan masa lampau yang berasal dari agama Hindu-Buddha."

    Nah klo gitu yg candi2 di Majapahit beraliran sama dengan agama diatas dan bukan beraliran agama yg dianut penulis.

    Berarti bisa diambil keputusan secara sepihak bahwa Majapahit bukanlah kesultanan/kerajaan Islam tapi Majapahit mengakui dan bertoleransi dengan agama tersebut.

    Klo Islam identik dengan makam, kan? Masa CANDI diidentikkan dengan Islam juga?

    Gimana sih?

    BalasHapus
  2. Mas Sinung, di daerah Temanggung banyak sekali candi2 yang masih ada' tapi belum terekspos misalnya, candi perot, gondosuli, lumpang gading dll..Mungkin kalau ada waktu Mas bisa cek Saya siap bantu mas...

    BalasHapus