Sabtu, 27 Februari 2010

Islam Nusantara

Mengukuhkan Jangkar Islam Nusantara
Abd. Mun’im DZ
Ada berbagai versi mengenai tahun datangnya Islam ke wilayah Nusantara, tetapi yang jelas ia datang setelah agama besar yang lain seperti Hindu, Budha datang. Tetapi Islam bisa memperluas pengaruhnya di kawasan ini dengan sangat luas dan mendalam dibanding dua agama sebelumnya. Hal itu selain karena Islam mengajarkan kesetaraan dan pembebasan, juga karena strategi penyebarannya. Islam disebarkan melalui perangkat budaya dan bahkan warisan agama lama yang masih ada, yang kemudian diislamisasi yang dalam ushul fiqihnya disebut dengan al-‘adah muhakkamah (adat yang ditetapkan sebagai hukum Islam) sebagaimana banyak dicontohkan sendiri oleh Nabi Muhammad Saw.
Sebenarnya proses ini tidak bersifat sepihak dan satu arah, tetapi dua arah atau bahkan multi arah. Proses Islamisasi budaya Nusantara oleh para wali sejak dan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi Nusa Tenggara hingga Maluku, sebenarnya dibarengi dengan proses penusantaraan nilai-nilai Islam, sehingga keduanya tidak hanya ketemu, tetapi melebur menjadi entitas baru yang kemudian disebut dengan Islam Jawi atau Islam Nusantara. Dari situ lahir berbagai kitab, serat, seni dan sebagainya. Dalam pengertian itulah Islam Nusantara dipahami dan dijadikan istilah dalam gerakan Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah dewasa ini, sebagai pewaris Islam yang dibentuk oleh para wali dan para ulama besar yang datang sesudahnya.
Pengukuhan identitas ini penting karena kelompok Islam Ahlus Sunnah bermazhab ini tidak banyak berkesempatan mencitrakan diri, sebaliknya selalu dicitrakan orang lain secara buruk dan semena-mena dan cenderung pejoratif seperti Islam tua, Islam kolot, Islam tradisional, Islam desa, Islam sinkretik dan sebagainya. Dengan penamaan Islam Nusantara ini mengembalikan Islam pada ciri awalnya yang positif, adaptif dan apresiatif terhadap masyarakat serta adat dan kebudayaannya, baru setelah itu diperkenalkan Islam sesuai dengan tarap berpikir dan kesiapan mental mereka.
Sebagai suatu istilah, Islam Nusantara juga sangat memudahkan untuk didefinisikan, karena Istilah Nusantara itu selain bersifat jami’ (mencakup), juga mani (menegasi dan membedakan). Jami’ dalam arti bahwa Islam Nusantara ini meliputi kaum Muslimin yang ada di kawasan Asia Tenggara, baik di Indonesai, Thailand, Malaysia, Brunei, Kamboja, Laos, Vietnam dan Filipina. Sedang mani’ dalam arti bahwa Islam Nusantara berbeda dengan Islam Timur Tengah atau Islam Maghribi dan sebagainya. Mereka ini memiliki akidah, dan tradisi yang sama, karena memiliki jaringan intelektual yang sama, sehingga madzhabnya sama, kitab yang dibaca sama, dan seluruh ekpresi tadisinya juga menunjukkan banyak kesamaan.
Eksistensi Islam Nusantara ini berangsur pudar ketika kolonialisme Inggris, Perancis, Spanyol, Portugis, dan Belanda memecah kawasan ini menjadi tanah jajahan mereka. Mereka tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam, tetapi juga menjarah sumber-sumber kebudayaan. Bahkan setelah merdeka, masing-masing menjadi negeri sendiri, sehingga hubungan mereka tersekat oleh teritori, sementara jaringan mereka tetap utuh dan berjalan secara intensif, meski disekat secara administratif oleh negara bangsa. Sehingga menjadi jaringan antar negara.
Tetapi tantangan yang lebih parah adalah hadirnya Islam radikal dan Timur Tengah dewasa ini yang merasuk ke pusat Islam Nusantara yang ada di kawasan ini. Tradisi kenusantaraan semakin pudar. Nuansa Timur Tengah yang dipaksakan, belum lagi upaya mereka membawa konflik Timur Tengah ke kawasan ini, sehingga memicu berbagai ketegangan bahkan konflik di kalangan pengikut Islam sendiri dan dengan penguasa setempat. Ini terjadi ketika Islam yang baru datang ini mengubah strategi para wali sehingga kehilangan kemampuan beradaptasi.
Dalam konteks inilah Islam Nusantara diperkenalkan kembali dengan merajut kembali jaringannya serta memperkukuh jangkarnya dalam budaya setempat, agar Islam kembali tampil sebagai sumber inspirasi dan motivator bagi perkembangan peradaban di kawasan. Tanpa pengukuhan karakter dasar ini Islam tidak akan bisa berbuat banyak menghadapi gelombang modernitas dan globalisasi yang tidak kenal kompromi. Dengan memperkuat jaringan dan memperteguh jangkar Islam Nusantara tidak akan larut dalam kehidupan yang serba pragmatif, permisif dan serba kompetitif. Bahkan diharapkan Islam Nusantara memberikan alternatif bagi proses perjuangan peradaban ini.
Pembentukan Islam Nusantara
Sebagaimana sering disingung dalam buku sejarah bahwa Islam datang ke Nusantara disiarkan oleh para saudagar dari Gujarat dan Kurdistan, bahkan dari Champa dan Cina, bukan langsung dan Arab. Kenyatan ini sering disalahtafsiri, dianggap Islam yang datang ke Nusantara tidak murni bahkan dekaden, karena tercemar oleh berbagai tradisi yang dilalui. Demikian pandangan menyesatkan dari para orientalis dan akademisi pada umumnya. Sebaliknya, dalam pandangan kelompok Ahlus Sunnah, Islam yang datang ke Nusantara melalui berbagai negara tersebut merupakan Islam yang sangat matang, Islam yang sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi berbagai budaya dan tradisi yang dilewati seperti tradisi Persia, India, Cina dan sebagainya, sehingga ketika masuk ke Nusantara mereka bisa menyusun strategi dakwah yang pas. Karena itu, nyaris tidak ada konflik dalam penyiaran agama, bahkan agama baru ini bisa diterima di berbagai pusat kekuasaan.
Dalam penyiaran agama yang pertama kali perlu dikenali terlebih dulu adalah adat masyarakat setempat. Demikian menurut Syekh Abdurauf Sinkel (Syah Kuala) memberi nasehat kepada para santrinya. Hakim Agung pada masa Sultan Iskandar Muda (1607) itu memang ulama yang ahli dalam budaya. Tradisi itu kemudian dikembangkan oleh para muridnya antara lain Syekh Burhanuddin Ulakan dalam menyiarkan Islam di Minangkabau, dengan membiarkan tradisi berkembang walaupun tradisi mereka bertentanagan dengan syariat. Dengan dalih bahwa yang menjadi target hanya kelompok mudanya, dengan metode bermain. Dengan strategi itu, Islam Ahlus Sunnah yang bermadzhab Syafi’i ini berkembang pesat di ranah Pagaruyung itu. Berbeda dengan beberapa kawannya yang menolak nasehat gurunya akhirnya diusir warga dan gagal menyiarkan Islam.
Bahkan jauh sebelumnya pada abad ke-15 ketika Sunan Bonang dan Sunan Derajat pergi hendak berguru ke Mekah, ia betemu dengan ayahnya Maulana Maghribi di Pasai, Aceh, setelah berguru di sana dan ilmunya dianggap cukup disarankan pulang untuk berguru di Jawa saja. Karena justeru mengenal tradisi lebih penting dalam menyiarkan Islam. Demikian juga di Kalimanatan, Syekh Arsyad Al-Banjari menyiarkan Islam dengan penuh bijaksana, demikian Syekh Abdus Shamad Al-Palimbangi di Sumatera Selatan atau Syekh Khatib Sambas di Kalimantan Barat. Strategi dan tradisi mereka relatif sama karena antar para ulama Ahlus Sunnah itu memiliki jaringan yang sama dan mereka bahu-membahu dalam mengembangkan ajarannya.
Para wali di Jawa demikian juga berusaha memperkenalkan Islam melalui jalur tradisi, sehingga mereka perlu mempelajari Kekawian (sastra klasik) yang ada serta berbagai seni pertunjukan, dan dari situ lahir berbagai serat atau kitab. Wayang yang merupakan bagian ritual dan seremonial Agama Hindu yang politeis bisa diubah menjadi sarana dakwah dan pengenalan ajaran monoteis (tauhid). Ini sebuah kreativitas yang tiada tara, sehingga seluruh lapisan masyarakat sejak petani pedagang hingga bangsawan diislamkan melaui jalur ini. Mereka merasa aman dengan hadirnya Islam, karena Islam hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.
Kita saksikan juga para wali dan ulama di Sulawesi dan di Maluku, mereka menulis berbagai gubahan syair, tidak hanya mengenai ajaran Islam, tetapi juga tentang tradisi. Berbagai naskah ditulis untuk mendekatkan masyarakat dengan Islam. Bahkan berbagal ajaran Islam diidentifikasi sebagai produk lokal, sehingga mereka tidak merasa asing. Setelah itu baru dperkenalkan dengan Islam yang sesungguhnya. Langkah strategis itu menunjukkan keberhasilan yang luar biasa, sehingga para pemeluk agama lama bersedia pindah ke Islam, karena Islam melindungi bahkan turut memajukan tradisi mereka.
Tradisi ini bukan tanpa legitimasi dari pusat Islam di Mekah. Dalam kenyataannya para ulama Nusantara banyak belajar dan bahkan mukim di Tanah Suci. Mereka menjadi imam dan syekh yang sangat terhormat di Haramain, sehingga didatangi santri dari seluruh penjuru dunia. Namun demikian mereka tidak lupa mengemban tugas menjaga kelestarian Islam Nusantara. Setelah para santri belajar dengan berbagai ulama di sana, mereka menyepuhkan (mematangkan) ilmunya dengan para ulama Nusantara, sehingga ketika kembali ke nusantara tidak berbenturan dengan umat dan tradisi yang ada.
Para alumni Mekah itu kemudian kembali membuat jaringan Islam Nusantara, mereka saling mengarang kitab dan saling mengajakan di pesantren masing-masing. Misalnya kitab karangan Syekh Burhanuddin Ar-Raniri dikembangkan oleh Syekh Arsyad Al-Banjari, yang kemudian kitab itu dicetak secara luas oleh Syekh Salim Al Fathani di Mekah, dan diajarkan pada muridnya di Patani, Brunei, Malaysia, dan Pilipina.
Pemangku Islam Nusantara
Tradisi keagamaan dan keilmuan Nusantara itu dikembangkan di pesantren yang ada di Nusantara. Melalui jaringan keulamaan dan kepesantrenan itulah tradisi Islam Nusantara dikembangkan. Langkah ini membuat seluruh masyarakat Nusantara menjadi pendukung tradisi Islam Ahlus Sunnah bermazhab empat. Kalangan ini tidak eksklusif dan pasif. Terbukti ketika Portugis, Belanda, dan Inggris datang menjajah kawasan ini dengan memaksakan sistem pendidikan Eropa dengan merongrong pendidikan lokal, maka kalangan ulama pesantren dengan tegas mempertahankan sistem pendidikan mereka sendiri. Pesantren bersikap non koperatif, menolak segala bentuk kerjasama dengan kolonial untuk melegitimasi penjajahannya. Dan pendidikan pesantren itulah jaringan keilmuan Nusantara berkembang semakin intensif, sehingga bisa mengatasi segala tekanan kolonial, bahkan akhirnya bisa menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan.
Untuk merespon bebagai perkembangan yang ada di masyarakat, baik karena berkembangnya tingkat pemikiran masyarakat, adanya pengaruh kuat dan kebangkitan nasional, maupun menghadapi tantangan kolonialisme, kalangan pemangku Islam Nusantara yang lekat dengan tradisi ini berkembang secara luas di kawasan Nusantara dan Indonesia khususnya, menghimpun diri dalam berbagai organisasi. Masyarakat Islam Sumatera Barat mendirikan Persatuan Tarbiyah; masyarakat Aceh, Sumatera Utara mendirikan Al-Washliyah; masyarakat Islam Jawa mendirikan Nahdlatul Ulama; masyarakat Sulawesi mendirikan Darud Dakwah wal Irsyad; masyarakat Nusa Tenggara mendirikan Nahdlatul Wathon; dan masyarakat Sulawesi-Maluku mendirikan Al-Khairat, dan masih banyak lagi. Mereka itulah pendukukung dan penyangga Islam Nusantara yang militan hingga saat ini. Konsolidasi ini penting terutama setelah kelompok Wahabi yang menguasasi Mekah tahun 1924-1925 mengusir mukimin Nusantara yang ada di Tanah suci. Kelompok ini tercerai-berai, sehingga mereka terpaksa sebagian kembali ke tanah air dan mengkonsolidasi dalam bentuk organisasi untuk mempertahankan paham keagamaan mereka.
Dengan adanya organisasi yang solid dan tersebar secara luas dengan dukungan yang sangat kuat dari masyarakat, Islam Nusantara berkembang sangat pesat dan berhasil mengambangkan tradisinya hingga terus berkembang dan lestari hingga saat ini. Dengan adanya keislaman seperti ini, kehidupan di Nusantara tetap rukun dan damai. Karena itu mengukuhkan jangkar Islam Nusantara yang berupa pengembangan tradisi ini merupakan jangkar penting bagi terlaksananya kehidupan damai di kawasan ini.
Islam Jenis ini tidak hanya membawa keamanan, tetapi turut memberikan kontribusi besar bagi tumbuhnya peradaban Nusantara. Bebagai seni arsitektur, seni sastra (filsafat), budaya, dan berbagai ekspresi kebudayaan yang lain. Ekspresi keislaman ini yang membedakan keislaman Nusantara dengan Islam di Timur Tengah dan Islam Maghribi pada umumnya.
Perbedaan ini bukan untuk mengekslusi, tetapi untuk memperkaya ekspresi keislaman. Berbeda dengan Islam puritan dan kelompok Islam radikal yang menolak keanekaragaman ekspresi keagamaan, yang hanya menghendaki satu ekpresi yaitu ekspresi Timur Tengah bahkan hanya ekspresi Arab atau Afganistan saja. Apalagi tanpa disertai proses seleksi dan asimilasi, sehingga Islam tampil asing di tengah masyarakat Islam sendiri, sehingga mengalami ketegangan dengan masyarakat setempat.
Di sinilah Islam Nusantara sebagaimana dirintis dan dikembangkan para wali dan para ulama terdahulu, penting untuk dikukuhkan kembali agar Islam kembali menjadi agama yang dekat dan akrab dengan masyarakat Nusantara. Selain itu, sistem pendidikan pesantren yang merupakan sistem pendidikan khas Nusantara, merupakan sistem pendidikan paling penting dalam proses ini, dan ia merupakan salah satu jangkar Islam Nusantara. Dengan adanya pesantren, Islam Nusantara yang dimaksudkan itu ada dan bisa berkembang. Di pesantren itulah nilai-nilai kesusastraan diwariskan dan diajarkan. Hingga saat ini, hanya di pesantren salaf yang tetap mengajarkan berbagai kitab klasik dan melahirkan ulama. Ini sama sekali tidak bisa digantikan oleh pendidikan modern model sekolah.
Karakter Dasar Islam Nusantara
Islam Nusantara disebut sebagai suatu entitas karena memiliki karakter yang khas yang membedakan Islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang geografis dan latar belakang budaya yang dipijaknya. Selain itu, Islam yang datang ke sini juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri antara lain: Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tradisi berseberangan apapun tidak dilawan tetapi mencoba diapresiai kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam diterima sebagai tradisi dan diterima sebagai agama. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka.
Dengan kenyataan ini maka bisa disaksikan agama Islam dipeluk oleh seluruh penjuru Nusantara, tidak hanya di kota, tetapi sampai ke pelosok desa bahkan ke daerah pedalaman paling dalam sekalipun yang susah dijangkau. Bagi yang memperoleh pengetahuan keagamaan memadai mereka menjadi Islam santri yang taat. Sementara bagi mereka yang kurang pemperoleh pengatahuan keagamaan, yang disebut dengan Islam abangan, mereka secara ritual tidak taat, tetapi mereka kukuh memegang tradisi, yang semuanya itu telah bernuansa Islami. Bagi kalangan Islam Nusantara, mereka ini telah dianggap sebagai Muslim, sementara kelompok Islam yang lain menganggap mereka sebagai orang belum muslim. Ketegangan Islam dengan kelompok abangan ini tercermin dalam ketegangan kelompok Islam dan nasionalis.
Bagi kalangan Islam Nusantara, perbedaan itu tidak signifikan, sebab yang membedakan hanya tradisi, sementara secara akidah relatif sama. Karena itu, mereka diterima sebagai komunitas atau umat Islam yang sesungguhnya. Memiliki hak dan kewajiban yang sama, baik dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, maupun dalam berbangsa dan bernegara, tanpa sedikit pun mendiskriminasi, hanya karena beda tradisi keislamannya.
Makna Keberadaan Islam Nusantara
Hadirnya Islam Nusantara ini memiliki implikasi besar dan mendalam terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Ditandai antara lain: pertama, dengan kuatnya hubungan agama dengan tradisi dan bumi yang dipijak (tanah air) maka sejak awal Islam ini gigih menolak kehadiran imperialisme atau penjajahan bangsa asing. Bahkan pesantren dijadikan basis perlawanan terhadap imperialisme: baik imperialisme politik maupun imperialisme kebudayaan berupa hedonisme dan konsumerisme.
Kedua, sejak awal Islam Nusantara turut aktif dalam membela kemerdekaan, mendirikan negara termasuk ikut menyusun konstitusi yang bersifat nasional dan tetap berpijak pada agama dan tradisi, sehingga lahirlah Pancasila sebagai konsensus bersama menjelang bangsa ini merdeka. Ketiga, dengan kecintaaannya pada tradisi dan tanah air, Islam ini terbukti dalam sejarah bahwa Islam ini tidak pernah memberontak terhadap pemerintah yang absah, karena pemberontakan ini dianggap pengkhiatan terhadap negara yang telah dibangun bersama.
Dengan kenyataan ini ada baiknya saat ini jaringan Islam Nusantara yang telah terbentuk selama beberapa abad itu diaktualisasikan kembali. Ini akan lebih kuat ketika seluruh organisiasi Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah yang memangku Islam Nusantara ini bersatu melakukan kerja sama. Ini bukan sebagai langkah mundur justru sebagai pijakan untuk maju ke depan. Semakin jauh rancangan kita ke depan dituntut untuk mencari pijakan yang kuat agar loncatan kita sampai pada arah yang dituju. Dengan memiliki akar dan legitimasi tradisi itu program yang kita rencanakan untuk membangun Islam yang toleran, dan apresiatif terhadap budaya lokal serta peduli terhadap nasib masyarakat setempat akan tercapai. Islam yang diperkenalkan bukan Islam yang mengancam, tetapi Islam yang memberikan pengharapan, memberikan perlindungan dan memberikan dorongan serta motivasi untuk kehidupan, baik dunia dan akhirat. Di situlah peran para rohaniawan para ulama itu sangat dibutuhkan agar kehidupan yang dibangun Iebih berisi dan Iebih bermakna. []
Abdul Mun’im DZ
Ketua LajnahTa’lif wan Nasyr (LTN)NU dan Direktur NU Online.
Ia juga Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar
http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/308/mengukuhkan-jangkar-islam-nusantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar