Sabtu, 27 Februari 2010

Melacak jaringan ulama Nusantara

Melacak Jaringan Ulama Melayu dan Perannya
NADWAH adalah pertemuan para tokoh berbagai bidang dalam bentuk kajian dan seminar untuk mengenang jasa ulama Nusantara. Nadwah Ulama Nusantara III yang melibatkan Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunei, dan Filipina berlangsung pada 15-17 April di tapal batas Negeri Pulau Pinang, Malaysia.
Nadwah kali ini bertema ''Ulama Penjana Tamadun Melayu''. Artinya, ulama menjadi penunjang keterwujudan peradaban Islam Melayu. Tema ini cocok karena ulama menjadi penentu corak kehidupan masyarakat. Sangat besar peran mereka dalam mewujudkan peradaban Islam di bumi bangsa-bangsa Melayu terutama dalam membentuk masyarakat berilmu.
Jaringan Ulama
Tidak disangkal, adanya jaringan ulama Nusantara sejak abad 17 telah menunjang penyebaran keilmuan dan keintelektualan Islam di Melayu. Mereka berperan besar dalam menunjang kemajuan dan peradaban Islam. Mereka antara lain Syekh Ahmad Al Fathani, Syekh Nik Mat Kecik Al Fathani, dan Syekh Ahmad Khatib Abdul Latif al-Minangkabawi.
Syekh Ahmad al-Fathani lahir di Jambu, Thailand selatan pada 1856 M/ 1272 H. Dia lahir dalam kondisi negerinya tertindas dan terjajah sehingga bersama orang tuanya merantau ke Makkah. Di kota suci ini dia menunjukkan diri sebagai anak yang rajin belajar dan luar biasa hafalannya. Dalam usia 12 tahun, dia sanggup mengajar ilmu tata bahasa Arab (nahwu, sharaf, dan lain lain).
Dari Makkah, dia menuntut ilmu ke Baitul Muqaddis dan belajar ilmu kedokteran/ilmu tabib. Menurut riwayat, beliaulah orang Melayu pertama yang mahir ilmu tabib dan mendapat pendidikan khusus di bidang itu yang berlainan dengan tabib-tabib tradisional saat itu. Kembali ke Makkah, dia belajar kepada guru-guru Patani, seperti Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani. Setelah itu, dia menuntut ilmu ke Mesir yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan keislaman dengan kemegahan Al-Azharnya.
Dai orang pertama dari Asia Tenggara yang belajar di Mesir. Sekembali dari Mesir, dia mengajar di Makkah hampir 15 tahun. Dia termasuk salah satu ulama Melayu yang mempunyai ilmu menyeluruh dan menulis 160 kitab. Yang berbahasa Arab 32 buah, berbahasa Melayu 22 buah, dan bidang pentashihan 36 kitab. Dia wafat di Mina ketika berhaji sunnah pada 11 Zulhijah 1325 H dan dimakamkan di MaĆ­la, dekat Umul Mukmin Siti Khadijah.
Hubungan Ulama Melayu-Jawa
Murid utama Syekh Achmad al Fathani adalah Kiai Haji Muhammad Khalil. Dia dari keluarga ulama di Desa Kemayoran, Bangkalan, Madura. Pendidikan dasar agama dia peroleh dari keluarga. Menjelang dewasa, dia dikirim ke berbagai pesantren. Antara lain ke Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan, Tuban, Jatim. Dia melanjutkan pelajarannya ke Makkah. Di sana, bersahabat dengan Syekh Nawawi Al-Bantani.
Ulama-ulama Melayu di Makkah yang seangkatan dengannya, selain Syekh Nawawi (lahir 1230 H/1814 M) adalah Syekh Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani (1233 H/1817 M), Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani (1234 H/1818 M), dan Kiai Umar bin Muhammad Saleh Semarang (Kiai Soleh Darat Semarang). Sebelum berangkat ke Makkah, Kiai Khalil menghafal beberapa matan dan yang dia kuasai dengan baik, yaitu matan Alfiyah Ibnu Malik yang terdiri atas 1.000 bait ilmu nahwu. Selain itu, dia adalah hafiz (penghafal Alquran) dengan tujuh cara membacanya (qiraah).
Ketika di Makkah, Kiai Khalil tak pernah lelah belajar, kendati gurunya lebih muda, yaitu Syekh Ahmad al-Fathani. Dia sangat hormat dan tekun mempelajari ilmu yang diberikan sang guru. Sepulang dari sana, dia tersohor sebagai ahli nahwu, fikih, dan tarekat di Jawa. Untuk mengembangkan pengetahuan keislamannya, Kiai Khalil mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan. Dia wafat dalam usia 106 tahun pada 29 Ramadan 1341 H atau 14 Mei 1923 M.
Kiai Khalil Al-Maduri termasuk generasi pertama yang mengajarkan karya Syekh Ahmad al-Fathani berjudul Tashilu Nailil Amani, kitab tentang nahwu di pesantrennya di Bangkalan. Karya al-Fathani kemudian berpengaruh dalam kajian ilmu nahwu di Madura dan Jawa sejak itu.
Bahkan, hingga sekarang masih dipelajari di banyak pesantren tradisional (salaf) Jawa dan Madura. Murid-murid Kiai Khalil yang mengikuti jejaknya adalah KH Hasyim Asy'ari, pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang dan pendiri NU.
Kemudian, KH Abdul Wahhab Hasbullah, pendiri Pesantren Tambakberas, Jombang; KH Bisri Syamsuri, pendiri Pesantren Denanyar, Jawa Timur; KH Ma'shum, pendiri Pesantren Lasem, Rembang; KH Bisri Mustofa, pendiri Pesantren Raudhatul Thalibin, Rembang; dan KH As'ad Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Asembagus, Situbondo, Jatim. (41j)
- Drs H Bedjo Santoso MT, ketua Forum Studi Ekonomi Islam dan Kebijakan FE Unissula Semarang, pemateri pada Nadwah Ulama Nusantara III di Pulau Pinang, Malaysia
http://www.suaramerdeka.com/harian/0604/24/nas17.htm

Islam Nusantara masa Kolonial

Kaum Muslimin Indonesia di Mekkah pada Masa Kolonial
Tanggal: 24 Februari 2008
Oleh : Rofiqul-Umam Ahmad
Martin van Bruinessen (1995), seorang sejarawan-peneliti Belanda, menyatakan dalam kosmologi Jawa pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fans kits dengan islam supranatural memainkan peranan sentral. Setelah penduduk Nusantara banyak menganut agama Islam, pusat kosmis yang semula berupa makam para leluhur, gunung, gua, hutan diganti menjadi Mekkah. Hal ini wajar mengingat dalam ajaran Islam Mekkah merupakan kiblat seluruh ummat Islam dan tempat turunnya (sebagian) wahyu Allah.
Adanya kewajiban pergi haji bagi mereka yang mampu makin mendorong penduduk Nusantara pergi ke Mekkah. Sejarah mengukir, telah ada penduduk Nusantara yang pergi haji sekitar abad ke-15 yakni Menak Kemala Bumi, muballigh terkenal dari Sumatera Selatan (Siswono, 1991). Pengamatan Verthema, seorang pengembara Italia, ketika is singgah di Mekkah pads tahun 1504 mengamati banyaknya jumlah jamaaah haji dan greater India (Anak Benua India) da dari lesser India (Kepulauan Nusantara) (Azyumardi Azra, 1994).
Selanjutnya, makin banyak orang Nusantara yang pergi ke Mekkah. Bahkan bila dibanding jumlah jamgah haji dari negeri lain tergolong cukup menonjol Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke20, jumlah mereka berkisar antara 10 clan 20 persen dari seluruh haji asing. Malah pada dasawarsa 1920an sekitar 40% dari seluruh jamgah haji berasal dari Nusantara. Dalam catatan pemerintah kolonial ada ketimpangan antara jumlah penduduk Nusantara yang pergi haji dengan mereka yang kembali. Antara tahun 1853 dan 1858, jamgah haji yang pulang dari Mekkah ke Hindia Belanda tidak sampai separuh dari jumlah orang yang telah berangkat naik haji (Bruinessen, 1991).
MEKKAH DALAM PANDANGAN PENDUDUK NUSANTARAAKHIRNYA BERFUNGSI DALAM TIGA ASPEK: (1) ASPEK IBADAH; (2) ASPEK ILMU, DAN (3) ASPEK POLITIK. TIDAK MENGHERANKAN BILA SEBELUM MERDEKA BANYAK SEKALI PENDUDUK HINDIA BELANDA YANG MENCITA-CITAKAN ANAKNYA DAPAT PERGI KE MEKKAH DALAM KONTEKS TIGA ASPEK TERSEBUT, DENGAN BIAYA BERAPAPUN DAN RINTANGAN APAPUN.
Makna Mekkah bagi Masyarakat Nusantara
Data ini mengandung fenomena penting dalam perilaku naik haji penduduk Hindia Belanda. Selain faktor meninggal selama di perjalanan - baik karena penyakit, pembunuhan, atau tenggelam di samudra ternyata mereka secara sadar memang tidak mau cepat-cepat kembali ke Nusantara. Setelah menunaikan ibadah haji mereka berproses menjadi bagian masyarakat Nusantara yang tinggal di Tanah Suci (terutama Mekkah) dalam sebuah komuni tas yang dikenal dengan nama "Koloni Jawa" atau "Jawa Mukim" Istilah Jawa dipakai untuk mengidentifikasi orang yang berasal dari Nusantara. Yang dianggap sebagai pusat wibawa "Koloni Jawa" adalah para ulama, guru dan pejuang yang telah hidup lama di lingkungan kota Mekkah. Jumlahnya makin lama makin banyak Menurut pengamatan van der Plas (Bruinessen, 1991) yang pernah menjabat konsul Belanda di Jeddah, jumlah mereka sekurang-kurangnya 10.000 jiwa pada tahun 1931 Dapat dibandingkan dengan jumlah jamaah haji yang waktu itu berkisar sekitar 30.000 jiwa.
Ada tiga hal menonjol dalam perilaku penduduk Nusantara yang menjadi anggota "Koloni Jawa" itu Pertama, kebutuhan untuk terus dapat beribadah di pusat kosmis Islam yang dijanjikan memperoleh pahala berlipat ganda dan tidak sama seperti di tempat-tempat lain. Kedua, sebagai wujud keinginan penduduk Nusantara untuk melepaskan dari cengkeraman kekuasaan Belanda di Nusantara, yang dalam pandangannya adalah orang kafir. Ketiga, kebutuhan akan memperdalam penguasaan ilmu. Saat itu Mekkah dengan pusatnya Masjidil Haram telah beratus-ratus tahun menjadi salah satu corong ilmu di Dunia Islam.
Mekkah -dalam pandangan penduduk Nusantara- akhirnya berfung si dalam tiga aspek: (I) aspek ibadah; (2) aspek ilmu; clan (3) aspek politik Tidak mengherankan bila sebelum merdeka banyak sekali penduduk Hindia Belanda yang mencita-citakan anaknya dapat pergi ke Mekkah dalam konteks tiga aspek tersebut, dengan biaya berapapun clan rintangan apapun. Banyak tokoh Islam Indonesia yang pernah nyantri di Mekkah dalam waktu lama, baik yang tercatat dalam sejarah maupun tidak Sebut saja Syekh Yusu41 AI-Makassari (pe2uang yang dibuang Belanda ke Afrika Selatan), Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf AlSinkili, KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asy'ari (pendiri NU)
Kehidupan yang bebas di Mekkah dan injakan kaki penjajah menjadikan para haji merasakan nikmatnva sebagai orang bebas (merdeka). Hubungan dengan ribuan jamaah haji dari seluruh penjuru dunia dalam jangka waktu cukup lama memberi wawasan, pengetahuan dan cakrawala baru. Rasa senasib karena menjadi warga jajahan bangsa Eropa non-Muslim mengentalkan jiwa perlawanan mereka Berbagai tindakan kaum penjajah serta gejolak perlawanan kaum Muslimin menjadi agenda pembicaraan harian. Makin lama bara patriotisme dan anti-penjajahan di kalangan haji dan mukimin makin membesar dan mencari saluran

Ulama Nusantara di Mekkah
Peran ulama yang berasal dariNusantara mengajar di Mekkah sangat besar dalam memperluas wawasan dan memperdalam ilmu para haji dan mukimin. Sebagaimana diketahui, sejak dahulu ulama Hindia Belanda telah menjadi bagian penting dalam kegiatan keilmuan di Tanah Suci, terutama di Mekkah dan terpusat di Masjidil Haram Sementara di luar Masjidil Haram banyak terdapat berbagai madrasah yang sebagiannya juga dikelola para ulama asal Hindia Belanda Mereka punya nama harum di kalangan ulama domestik maupun ulama asing dan kaum mushrnin yang ada di Mekkah Beberapa ulama asal Hindia Belanda yang tersohor saat itu antara lain Nawani Al-Bantani, Ahmad khatib, Mahfuzh Termas, Munsin Ail Musawwa, Ali Baniar, Syekh Yasin Padang.
Betapa pentingnya peran ulama Hindia Belanda di pentas keilmuan di Mekkah memaksa Snouck Hurgronje menulis khusus mengenai "Ulama Jawa yang ada di Mekkah pada Akhir Abad ke-19" (Ahmad Ibrahim dkk, 1989) Dalam tulisannya yang didasarkan kepada pengamatannya langsung ke daerah itu ia mencatat beberapa nama ulama asal Hindia Belanda yang berkiprah di dunia keilmuan di Mekkah la menyebut: Mufti Jamal, Juneid, Khatib Sambas, Abduigani Bima, Ismail Menangkabo, Mujtaba, Muhammad dan Hasan Mustafa dari Garut dan beberapa nama lagi. Mereka semua sebelum menjadi guru yang disegani oleh para muridnya yang datang dari berbagai bangsa tentu berproses lebih dahulu sebagai murid yang berguru kepada para ulama sebelumnya di lingkungan Masjidil Haram.
Sederatan ulama ini diantaranya banyak menulis kitab yang menjadi bahan mengajarnya di Mekkah. Kitab-kitab karya mereka dalam perkembangannya menjadi bacaan wajib (textbook) di ribuan pesantren di Nusantara hingga kini. Pada perkembangannya ulama ini membuat jaringan ulama Timur Tengah yang memiliki hubungan erat dengan masyarakat Muslim di Nusantara, dimana sebagiannya adalah murid-muridnya dan sebagian lain menjadi pengikut ajarannya yang makin lama makin berkembang ke berbagai daerah. Hilir mudik antara Tanah SuciNusantara yang dilakukan orang Islam yang ada di Tanah Suci maupun penduduk Nusantara dan pengiriman kitab-kitab dari Tanah Suci ke Nusantara makin memperbesar keeratan emosi, idologis dan agama mereka.
Jantung kehidupan keagamaan di Nusantara
Para haji dan mukimin (orang yang tinggal di Mekkah dalam waktu lama dan hidup dalam komunitas "Koloni Jawa") pada akhirnya berkembang menjadi orang yang ingin mengamalkan agamanya secara sungguh-sungguh, memiliki wawasan dan ilmu pengetahuan cukup tinggi sekaligus menyimpan bara anti penjajahan. Perjalanan haji - dalam pandangan Sartono Kartodirdjo (1984) - telah melahirkan satu benteng solidaritas yang ampuh di dunia Islam clan bahwa orang-orang yang telah menunaikan ibadah itu pulang ke negeri mereka membawa semangat kebesaran dan keagungan Islam. Sesungguhnya, arti yang sangat penting dari perjalanan haji itu harus dicari pada tingkat ideologis.
MEREKA SEMUA SEBELUM MENJADI GURU YANG DISEGANI OLEH PARA MURIDNYA YANG DATANG DARI BERBAGAI BANGSA TENTU BERPROSES LEBIH DAHULU SEBAGAI MURID YANG BERGURU KEPADA PARA ULAMA SEBELUMNYA DI LINGKUNGAN MASJIDIL. HARAM.
Pengamatan Snouck Hurgronje (Aqib Suminto, 1985) sampai pada kesimpulan bahwa di kota Mekkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk muslimin di Indonesia_ la mengkhawatirkan hal ini dapat merupakan gangguan bagi pemerintah kolonial Belanda karena Mekkah menjadi jembatan antara kehidupan rohani di Tanah Suci dengan kehidupan beragama di Hindia Belanda
Harry J Benda (Hamid Alqadri, 1988) memperkuat kesimpulan itu dengan menyatakan bahwa sikap permusuhan orang Islam Indonesia terhadap bangsa Belanda sejak kedatangannya ke Indonesia, memperoleh dorongan baru yang datang dari Timur Dekat (maksudnya Timur Tengah, pen.) dengan para haji menjadi pelopornya. Karena itu kekhawatiran Snouck Hurgronje dan elit kolonial mengenai para haji dan ulama Nusantara yang ada di Mekkah semakin hari semakin menjadi kenyataan. Keunggulan para haji - dalam aspek sosial, ekonomi, pendidikan - dibanding anggota masyarakat lainya menjadikan mereka memiliki kedudukan dan kekuatan politik di tengah masyarakat Nusantara dan menjadi pendorong, penggerak, pelaku dan pemimpin aneka macam perlawanan terhadap kaum penjajah.
Persaingan kekuasaan
Berbagai kerusuhan silih berganti menggoncangkan kedudukan pemenntah kolonial Belanda. Dalam penelitian FGP Jaquet (1980) antara tahun 1816 - 1856 saja ada 35 pemberontakan atau ekspedisi-ekspedisi militer di Indonesia, kira-kira satu penstiwa kekerasan setiap tahun Kampanve-kampanye yang gigih dar: para haji untuk memperkuat sendi-sendi moral keagamaan dan memulihkan cita-cita Islam _yang murni seringkali harus berbenturan dengan kebijakan dan situasi politik pemenntah kolonial yang bertentangan Akibatnya kampanye-kampanye itu seringkali diikuti oleh pemberontakan-pemberontakan yang sesungguhnya terhadap penguasa-penguasa kafir (Sartono Kartodirdjo, 1984)
KAMPANYE-KAMPANYE YANG GIGIH DARI PARA HAJI UNTUK MEMPERKUAT SENDI-SENDI MORAL KEAGAMAAN DAN MEMULIHKAN CITA-CITA ISLAM YANG MURNI SERINGKALI HARUS BERBENTURAN DENGAN KEBIJAKAN DAN SITUASI POLITIK PEMERINTAH KOLONIAL YANG BERTENTANGAN.
Sebagai contoh dua perang yang cukup terkenal yakni Perang Padri tahun 1804 dan Pemberontakan Petani di Banten 1888 melibatkan banyak para haji. Perang Padri berkecamuk setelah pulangnya tiga pemimpin setempat dan Tanah Suci. Pemberontakan Petani di Banten yang mengakibatkan tewasnya 30 orang, l8 diantaranya haji dan dari 13 orang luka-luka terdapat 4 haji. Sedangkan Peristiwa Garut tahun 1919 yang berintikan pembangkangan 116 penduduk untuk menjual sejumlah tertentu hasil padinya kepada pemerintah juga menjadi contoh Pemimpin aksi itu H. Hasan akhirnya tewas bersama 3 lainnya.
, PERAN ULAMA NUSANTARA YANG HIDUP DI MEKKAH, KAUM MUKIMIN YANG MENETAP LAMA DI "KOLONI JAWA" MAUPUN PARA HAJI YANG SUKSES MENGGENGGAM ASPEK IBADAH, ILMU DAN POLITIK SELAMA PERJALANAN PANJANGNYA KE TANAH SUCI PADA MASA KOLONIAL DAHULU TELAH VIEMBERI SUMBANGSIH BE'AR DALAM UPAYA MENCERDASKAN PIKIRAN, MENGOBARKAN PERLAWANAN TERHADAP PENJAJAH
Berbagai literatur sejarah perjuangan anti penjajahan di berbagai pelosok tanah air - dari yang tercatat sampai yang hanya menjadi cerita lisan - mencatat peran yang menentukan dari orang Islam yang pernah menunaikan haji ataupun pernah lama bermukim di Mekkah. Biasanya di tanah air mereka menjadi kiai atau guru yang memiliki sejumlah pengikut dan mempunyal kewibawaan yang menggerogoti dan menyaingi kekuasaan pemerintah jajahan. Pada satu titik yag tidak lagi dapat dihindari, bertemulah dua kekuasaan itu yang tiada berkesudahan dan berlanjut terus sampai kaum penjajah pergi dari Nusantara.
Dari hal itu dapat disimpulkan bahwa peran ulama Nusantara yang hidup di Mekkah, kaum mukimin yang menetap lama di "Koloni Jawa" maupun para haji yang sukses menggenggam aspek ibadah, ilmu dan politik selama perjalanan panjangnya ke Tanah Suci pada masa kolonial dahulu telah memberi sumbangsih besar dalam upaya mencerdaskan pikiran, mengobarkan perlawanan terhadap penjajah dan menaburkan benih-benih nasionalisme dalam masyarakat Indonesia.***
Rofiqul-Umam Ahmad, Alumni Program Pascasarjana (S-2) Universitas Indonesia Bidang Studi Ilmu Hukum.

Jaringan Ulama Nusantara

JARINGAN ULAMA
Oleh : DR.Azyumardi Azra
Sejauh ini, tidak terdapat kajian komprehensif tentang jaringan ulang Timur Tengah dan Nusantara. Meski terdapat kajian-kajian penting tentang beberapa tokoh ulama Melayu-Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18, tetapi tak banyak upaya dilakukan untuk mengkaji secara kritis sumber-sumber pemikiran mereka, dan khususnya tentang bagaimana gagasan dan pemikiran Islam mereka transmisikan dari jaringan ulama yang ada dan bagaimana gagasan yang mereka transmisikan itu mempengaruhi perjalanan historis Islam di Nusantara. lebih jauh, ketika jaringan keilmuan itu sedikit disinggung, kajian-kajian yang ada lebih berpusat pada aspek " organisasional" jaringan ulama di Timur Tengah dengan mereka yang datang dari bagian-bagian lain Dunia Muslim. Tidak ada kajian yang membahas " kandungan intelektual" yang terdapat dalam jaringan ulama tersebut. Padahal, kajian tentang aspek intelektual ini sangat penting untuk mengenahui bentuk gagasan dan ajaran yang ditransmisikan melalui jaringan ulama.
Kajian ini berupaya menjawab beberapa masalah pokok :
Pertama, bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara ualama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia ? Bagaimana sifat dan karakteristik jaringan itu ? Apakah ajaran atau tendensi intelektual yang berkembang dalam jaringan ?
Kedua, apa peran ulama Melayu-Indonesia dalam transmisi kandungan intelektual jaringan ulama itu ke Nusantara ? Bagaimana modus transmisi itu ?
Ketiga, apa dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara ?
Berbeda dengan studi-studi yang ada tengang Islam di Indonesia pra abad ke-19, yang biasanya mendasarkan pembahasannya pada sumber-sumber Barat dan lokal, Azyumardi Azra berusaha semaksimal mungkin menggali dan menggunakan sumber-sumber berbahasa Arab. Tampaknya inilah buku pertama yang menggunakan sumber-sumber Arab secara ekstensif dalam pengkajian yang berkenaan dengan sejarah pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.
Buku ini adalah edisi revisi yang lebih singkat dari disertasi Ph.D yang diajukan ke Departemen Sejarah, Columbia University, New York, pada akhir 1992. Karena itu, pembaca yang ingin memanfaatkan edisi lengkap karya ini, dipersilahkan melihat disertasi aslinya.
Disertasi ini sendiri merupakan hasil penelitian selama lebih dari dua tahun di berbagai tempat dan perpustakaan, ssejak dari Banda Aceh, jakarta, Ujung Pandang, Yogyakarta, Kairo , Makkah, Madinah, Leiden, New York City sampai ke Ithaca ( New York State ). Karya ini merupakan langkah awal dalam upaya menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah. Saya masih mempunyai obsesi untuk meneliti dan menulis tentang "jaringan ulama" pada abad ke19 dan ke-20 yang tidak tercakup dalam karya ini.
Buku ini atau tepatnya disertasi asli Ph.D, adalah buah dari amanah yang diberikan berbagai pihak kepada penulis untuk menempuh pendidikan doktoral di Columbia University sejak 1986. Disini penulis mengucapkan terima kasih khusus kepada pihak-pihak yang memberikan beasiswa kepada penulis : Ford Foundation, INIS dan Yayasan Supersemar ( untuk penelitian), dan AMINEF (Fulbright) untuk penulisan disertasi.
Juga terima kasih kepada Departemen Agama R.I, khususnya Menteri Agama (waktu itu H.Munawir Sjadzali, M.A) dan Dirjen Binbaga Islam ( waktu itu Drs. Zarkowi Soejoeti), dan pimpinan IAIN Jakarta, yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di Amerika Serikat, menyediakan bantuan finansial kepada keluarga penulis untuk mendapingi penulis di belantara beton Manhattan.
Dalam menempuh program studi doktoral hingga penyelesaian disertasi, yang selanjutnya menjadi buku ini, penulis banyak berutang budi kepada Professor William R.Roff dan Professor Richard W.bulliet. Tanpa bimbingan dan kesabaran mereka maka karya ini tidak sampai ke tangan pembaca. Selain itu terdapat banyak ahli di berbagai tempat yang tak dapat saya sebutkan satu per satu yang dalam satu dan lain hal turut menyumbangkan pikiran, saran dan kritik untuk penyempurnaan karya ini sejak dari perancangan hingga penulisan. Untuk itu saya ucapkan terima kasih setulus-tulusnya.
Rasa terima kasih saya haturkan pula kepada Penerbit Mizan, khususnya Haidar Bagir, Hernowo, dan Putut Widjanarko yang bersedia menerbitkan karya ini. Merekalah yang terus mendesak saya untuk menyelesaikan penggarapan buku ini ditengah berbagai kesibukan saya. Di sini saya tak bisa pula melupakan jasa baik Saudari Rahmani Astuti yang menerjemahkan sebagian besar buku ini dari teks aslinya dalam bahasa Inggris.
Akhirnya yang tak kurang sumbangannya dalam penyelesaian karya ini adalah keluarga penulis sendiri. Tanpa dukungan moral dan pengertian mendalam dari kedua orang-tua, isteri dan anak-anak penulis, karya ini sulit terwujud.
Ciputat 24 Ramadhan 1414/ 7 Maret 1994
Azyumardi Azra.

Islam Nusantara

Mengukuhkan Jangkar Islam Nusantara
Abd. Mun’im DZ
Ada berbagai versi mengenai tahun datangnya Islam ke wilayah Nusantara, tetapi yang jelas ia datang setelah agama besar yang lain seperti Hindu, Budha datang. Tetapi Islam bisa memperluas pengaruhnya di kawasan ini dengan sangat luas dan mendalam dibanding dua agama sebelumnya. Hal itu selain karena Islam mengajarkan kesetaraan dan pembebasan, juga karena strategi penyebarannya. Islam disebarkan melalui perangkat budaya dan bahkan warisan agama lama yang masih ada, yang kemudian diislamisasi yang dalam ushul fiqihnya disebut dengan al-‘adah muhakkamah (adat yang ditetapkan sebagai hukum Islam) sebagaimana banyak dicontohkan sendiri oleh Nabi Muhammad Saw.
Sebenarnya proses ini tidak bersifat sepihak dan satu arah, tetapi dua arah atau bahkan multi arah. Proses Islamisasi budaya Nusantara oleh para wali sejak dan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi Nusa Tenggara hingga Maluku, sebenarnya dibarengi dengan proses penusantaraan nilai-nilai Islam, sehingga keduanya tidak hanya ketemu, tetapi melebur menjadi entitas baru yang kemudian disebut dengan Islam Jawi atau Islam Nusantara. Dari situ lahir berbagai kitab, serat, seni dan sebagainya. Dalam pengertian itulah Islam Nusantara dipahami dan dijadikan istilah dalam gerakan Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah dewasa ini, sebagai pewaris Islam yang dibentuk oleh para wali dan para ulama besar yang datang sesudahnya.
Pengukuhan identitas ini penting karena kelompok Islam Ahlus Sunnah bermazhab ini tidak banyak berkesempatan mencitrakan diri, sebaliknya selalu dicitrakan orang lain secara buruk dan semena-mena dan cenderung pejoratif seperti Islam tua, Islam kolot, Islam tradisional, Islam desa, Islam sinkretik dan sebagainya. Dengan penamaan Islam Nusantara ini mengembalikan Islam pada ciri awalnya yang positif, adaptif dan apresiatif terhadap masyarakat serta adat dan kebudayaannya, baru setelah itu diperkenalkan Islam sesuai dengan tarap berpikir dan kesiapan mental mereka.
Sebagai suatu istilah, Islam Nusantara juga sangat memudahkan untuk didefinisikan, karena Istilah Nusantara itu selain bersifat jami’ (mencakup), juga mani (menegasi dan membedakan). Jami’ dalam arti bahwa Islam Nusantara ini meliputi kaum Muslimin yang ada di kawasan Asia Tenggara, baik di Indonesai, Thailand, Malaysia, Brunei, Kamboja, Laos, Vietnam dan Filipina. Sedang mani’ dalam arti bahwa Islam Nusantara berbeda dengan Islam Timur Tengah atau Islam Maghribi dan sebagainya. Mereka ini memiliki akidah, dan tradisi yang sama, karena memiliki jaringan intelektual yang sama, sehingga madzhabnya sama, kitab yang dibaca sama, dan seluruh ekpresi tadisinya juga menunjukkan banyak kesamaan.
Eksistensi Islam Nusantara ini berangsur pudar ketika kolonialisme Inggris, Perancis, Spanyol, Portugis, dan Belanda memecah kawasan ini menjadi tanah jajahan mereka. Mereka tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam, tetapi juga menjarah sumber-sumber kebudayaan. Bahkan setelah merdeka, masing-masing menjadi negeri sendiri, sehingga hubungan mereka tersekat oleh teritori, sementara jaringan mereka tetap utuh dan berjalan secara intensif, meski disekat secara administratif oleh negara bangsa. Sehingga menjadi jaringan antar negara.
Tetapi tantangan yang lebih parah adalah hadirnya Islam radikal dan Timur Tengah dewasa ini yang merasuk ke pusat Islam Nusantara yang ada di kawasan ini. Tradisi kenusantaraan semakin pudar. Nuansa Timur Tengah yang dipaksakan, belum lagi upaya mereka membawa konflik Timur Tengah ke kawasan ini, sehingga memicu berbagai ketegangan bahkan konflik di kalangan pengikut Islam sendiri dan dengan penguasa setempat. Ini terjadi ketika Islam yang baru datang ini mengubah strategi para wali sehingga kehilangan kemampuan beradaptasi.
Dalam konteks inilah Islam Nusantara diperkenalkan kembali dengan merajut kembali jaringannya serta memperkukuh jangkarnya dalam budaya setempat, agar Islam kembali tampil sebagai sumber inspirasi dan motivator bagi perkembangan peradaban di kawasan. Tanpa pengukuhan karakter dasar ini Islam tidak akan bisa berbuat banyak menghadapi gelombang modernitas dan globalisasi yang tidak kenal kompromi. Dengan memperkuat jaringan dan memperteguh jangkar Islam Nusantara tidak akan larut dalam kehidupan yang serba pragmatif, permisif dan serba kompetitif. Bahkan diharapkan Islam Nusantara memberikan alternatif bagi proses perjuangan peradaban ini.
Pembentukan Islam Nusantara
Sebagaimana sering disingung dalam buku sejarah bahwa Islam datang ke Nusantara disiarkan oleh para saudagar dari Gujarat dan Kurdistan, bahkan dari Champa dan Cina, bukan langsung dan Arab. Kenyatan ini sering disalahtafsiri, dianggap Islam yang datang ke Nusantara tidak murni bahkan dekaden, karena tercemar oleh berbagai tradisi yang dilalui. Demikian pandangan menyesatkan dari para orientalis dan akademisi pada umumnya. Sebaliknya, dalam pandangan kelompok Ahlus Sunnah, Islam yang datang ke Nusantara melalui berbagai negara tersebut merupakan Islam yang sangat matang, Islam yang sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi berbagai budaya dan tradisi yang dilewati seperti tradisi Persia, India, Cina dan sebagainya, sehingga ketika masuk ke Nusantara mereka bisa menyusun strategi dakwah yang pas. Karena itu, nyaris tidak ada konflik dalam penyiaran agama, bahkan agama baru ini bisa diterima di berbagai pusat kekuasaan.
Dalam penyiaran agama yang pertama kali perlu dikenali terlebih dulu adalah adat masyarakat setempat. Demikian menurut Syekh Abdurauf Sinkel (Syah Kuala) memberi nasehat kepada para santrinya. Hakim Agung pada masa Sultan Iskandar Muda (1607) itu memang ulama yang ahli dalam budaya. Tradisi itu kemudian dikembangkan oleh para muridnya antara lain Syekh Burhanuddin Ulakan dalam menyiarkan Islam di Minangkabau, dengan membiarkan tradisi berkembang walaupun tradisi mereka bertentanagan dengan syariat. Dengan dalih bahwa yang menjadi target hanya kelompok mudanya, dengan metode bermain. Dengan strategi itu, Islam Ahlus Sunnah yang bermadzhab Syafi’i ini berkembang pesat di ranah Pagaruyung itu. Berbeda dengan beberapa kawannya yang menolak nasehat gurunya akhirnya diusir warga dan gagal menyiarkan Islam.
Bahkan jauh sebelumnya pada abad ke-15 ketika Sunan Bonang dan Sunan Derajat pergi hendak berguru ke Mekah, ia betemu dengan ayahnya Maulana Maghribi di Pasai, Aceh, setelah berguru di sana dan ilmunya dianggap cukup disarankan pulang untuk berguru di Jawa saja. Karena justeru mengenal tradisi lebih penting dalam menyiarkan Islam. Demikian juga di Kalimanatan, Syekh Arsyad Al-Banjari menyiarkan Islam dengan penuh bijaksana, demikian Syekh Abdus Shamad Al-Palimbangi di Sumatera Selatan atau Syekh Khatib Sambas di Kalimantan Barat. Strategi dan tradisi mereka relatif sama karena antar para ulama Ahlus Sunnah itu memiliki jaringan yang sama dan mereka bahu-membahu dalam mengembangkan ajarannya.
Para wali di Jawa demikian juga berusaha memperkenalkan Islam melalui jalur tradisi, sehingga mereka perlu mempelajari Kekawian (sastra klasik) yang ada serta berbagai seni pertunjukan, dan dari situ lahir berbagai serat atau kitab. Wayang yang merupakan bagian ritual dan seremonial Agama Hindu yang politeis bisa diubah menjadi sarana dakwah dan pengenalan ajaran monoteis (tauhid). Ini sebuah kreativitas yang tiada tara, sehingga seluruh lapisan masyarakat sejak petani pedagang hingga bangsawan diislamkan melaui jalur ini. Mereka merasa aman dengan hadirnya Islam, karena Islam hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.
Kita saksikan juga para wali dan ulama di Sulawesi dan di Maluku, mereka menulis berbagai gubahan syair, tidak hanya mengenai ajaran Islam, tetapi juga tentang tradisi. Berbagai naskah ditulis untuk mendekatkan masyarakat dengan Islam. Bahkan berbagal ajaran Islam diidentifikasi sebagai produk lokal, sehingga mereka tidak merasa asing. Setelah itu baru dperkenalkan dengan Islam yang sesungguhnya. Langkah strategis itu menunjukkan keberhasilan yang luar biasa, sehingga para pemeluk agama lama bersedia pindah ke Islam, karena Islam melindungi bahkan turut memajukan tradisi mereka.
Tradisi ini bukan tanpa legitimasi dari pusat Islam di Mekah. Dalam kenyataannya para ulama Nusantara banyak belajar dan bahkan mukim di Tanah Suci. Mereka menjadi imam dan syekh yang sangat terhormat di Haramain, sehingga didatangi santri dari seluruh penjuru dunia. Namun demikian mereka tidak lupa mengemban tugas menjaga kelestarian Islam Nusantara. Setelah para santri belajar dengan berbagai ulama di sana, mereka menyepuhkan (mematangkan) ilmunya dengan para ulama Nusantara, sehingga ketika kembali ke nusantara tidak berbenturan dengan umat dan tradisi yang ada.
Para alumni Mekah itu kemudian kembali membuat jaringan Islam Nusantara, mereka saling mengarang kitab dan saling mengajakan di pesantren masing-masing. Misalnya kitab karangan Syekh Burhanuddin Ar-Raniri dikembangkan oleh Syekh Arsyad Al-Banjari, yang kemudian kitab itu dicetak secara luas oleh Syekh Salim Al Fathani di Mekah, dan diajarkan pada muridnya di Patani, Brunei, Malaysia, dan Pilipina.
Pemangku Islam Nusantara
Tradisi keagamaan dan keilmuan Nusantara itu dikembangkan di pesantren yang ada di Nusantara. Melalui jaringan keulamaan dan kepesantrenan itulah tradisi Islam Nusantara dikembangkan. Langkah ini membuat seluruh masyarakat Nusantara menjadi pendukung tradisi Islam Ahlus Sunnah bermazhab empat. Kalangan ini tidak eksklusif dan pasif. Terbukti ketika Portugis, Belanda, dan Inggris datang menjajah kawasan ini dengan memaksakan sistem pendidikan Eropa dengan merongrong pendidikan lokal, maka kalangan ulama pesantren dengan tegas mempertahankan sistem pendidikan mereka sendiri. Pesantren bersikap non koperatif, menolak segala bentuk kerjasama dengan kolonial untuk melegitimasi penjajahannya. Dan pendidikan pesantren itulah jaringan keilmuan Nusantara berkembang semakin intensif, sehingga bisa mengatasi segala tekanan kolonial, bahkan akhirnya bisa menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan.
Untuk merespon bebagai perkembangan yang ada di masyarakat, baik karena berkembangnya tingkat pemikiran masyarakat, adanya pengaruh kuat dan kebangkitan nasional, maupun menghadapi tantangan kolonialisme, kalangan pemangku Islam Nusantara yang lekat dengan tradisi ini berkembang secara luas di kawasan Nusantara dan Indonesia khususnya, menghimpun diri dalam berbagai organisasi. Masyarakat Islam Sumatera Barat mendirikan Persatuan Tarbiyah; masyarakat Aceh, Sumatera Utara mendirikan Al-Washliyah; masyarakat Islam Jawa mendirikan Nahdlatul Ulama; masyarakat Sulawesi mendirikan Darud Dakwah wal Irsyad; masyarakat Nusa Tenggara mendirikan Nahdlatul Wathon; dan masyarakat Sulawesi-Maluku mendirikan Al-Khairat, dan masih banyak lagi. Mereka itulah pendukukung dan penyangga Islam Nusantara yang militan hingga saat ini. Konsolidasi ini penting terutama setelah kelompok Wahabi yang menguasasi Mekah tahun 1924-1925 mengusir mukimin Nusantara yang ada di Tanah suci. Kelompok ini tercerai-berai, sehingga mereka terpaksa sebagian kembali ke tanah air dan mengkonsolidasi dalam bentuk organisasi untuk mempertahankan paham keagamaan mereka.
Dengan adanya organisasi yang solid dan tersebar secara luas dengan dukungan yang sangat kuat dari masyarakat, Islam Nusantara berkembang sangat pesat dan berhasil mengambangkan tradisinya hingga terus berkembang dan lestari hingga saat ini. Dengan adanya keislaman seperti ini, kehidupan di Nusantara tetap rukun dan damai. Karena itu mengukuhkan jangkar Islam Nusantara yang berupa pengembangan tradisi ini merupakan jangkar penting bagi terlaksananya kehidupan damai di kawasan ini.
Islam Jenis ini tidak hanya membawa keamanan, tetapi turut memberikan kontribusi besar bagi tumbuhnya peradaban Nusantara. Bebagai seni arsitektur, seni sastra (filsafat), budaya, dan berbagai ekspresi kebudayaan yang lain. Ekspresi keislaman ini yang membedakan keislaman Nusantara dengan Islam di Timur Tengah dan Islam Maghribi pada umumnya.
Perbedaan ini bukan untuk mengekslusi, tetapi untuk memperkaya ekspresi keislaman. Berbeda dengan Islam puritan dan kelompok Islam radikal yang menolak keanekaragaman ekspresi keagamaan, yang hanya menghendaki satu ekpresi yaitu ekspresi Timur Tengah bahkan hanya ekspresi Arab atau Afganistan saja. Apalagi tanpa disertai proses seleksi dan asimilasi, sehingga Islam tampil asing di tengah masyarakat Islam sendiri, sehingga mengalami ketegangan dengan masyarakat setempat.
Di sinilah Islam Nusantara sebagaimana dirintis dan dikembangkan para wali dan para ulama terdahulu, penting untuk dikukuhkan kembali agar Islam kembali menjadi agama yang dekat dan akrab dengan masyarakat Nusantara. Selain itu, sistem pendidikan pesantren yang merupakan sistem pendidikan khas Nusantara, merupakan sistem pendidikan paling penting dalam proses ini, dan ia merupakan salah satu jangkar Islam Nusantara. Dengan adanya pesantren, Islam Nusantara yang dimaksudkan itu ada dan bisa berkembang. Di pesantren itulah nilai-nilai kesusastraan diwariskan dan diajarkan. Hingga saat ini, hanya di pesantren salaf yang tetap mengajarkan berbagai kitab klasik dan melahirkan ulama. Ini sama sekali tidak bisa digantikan oleh pendidikan modern model sekolah.
Karakter Dasar Islam Nusantara
Islam Nusantara disebut sebagai suatu entitas karena memiliki karakter yang khas yang membedakan Islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang geografis dan latar belakang budaya yang dipijaknya. Selain itu, Islam yang datang ke sini juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri antara lain: Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tradisi berseberangan apapun tidak dilawan tetapi mencoba diapresiai kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam diterima sebagai tradisi dan diterima sebagai agama. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka.
Dengan kenyataan ini maka bisa disaksikan agama Islam dipeluk oleh seluruh penjuru Nusantara, tidak hanya di kota, tetapi sampai ke pelosok desa bahkan ke daerah pedalaman paling dalam sekalipun yang susah dijangkau. Bagi yang memperoleh pengetahuan keagamaan memadai mereka menjadi Islam santri yang taat. Sementara bagi mereka yang kurang pemperoleh pengatahuan keagamaan, yang disebut dengan Islam abangan, mereka secara ritual tidak taat, tetapi mereka kukuh memegang tradisi, yang semuanya itu telah bernuansa Islami. Bagi kalangan Islam Nusantara, mereka ini telah dianggap sebagai Muslim, sementara kelompok Islam yang lain menganggap mereka sebagai orang belum muslim. Ketegangan Islam dengan kelompok abangan ini tercermin dalam ketegangan kelompok Islam dan nasionalis.
Bagi kalangan Islam Nusantara, perbedaan itu tidak signifikan, sebab yang membedakan hanya tradisi, sementara secara akidah relatif sama. Karena itu, mereka diterima sebagai komunitas atau umat Islam yang sesungguhnya. Memiliki hak dan kewajiban yang sama, baik dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, maupun dalam berbangsa dan bernegara, tanpa sedikit pun mendiskriminasi, hanya karena beda tradisi keislamannya.
Makna Keberadaan Islam Nusantara
Hadirnya Islam Nusantara ini memiliki implikasi besar dan mendalam terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Ditandai antara lain: pertama, dengan kuatnya hubungan agama dengan tradisi dan bumi yang dipijak (tanah air) maka sejak awal Islam ini gigih menolak kehadiran imperialisme atau penjajahan bangsa asing. Bahkan pesantren dijadikan basis perlawanan terhadap imperialisme: baik imperialisme politik maupun imperialisme kebudayaan berupa hedonisme dan konsumerisme.
Kedua, sejak awal Islam Nusantara turut aktif dalam membela kemerdekaan, mendirikan negara termasuk ikut menyusun konstitusi yang bersifat nasional dan tetap berpijak pada agama dan tradisi, sehingga lahirlah Pancasila sebagai konsensus bersama menjelang bangsa ini merdeka. Ketiga, dengan kecintaaannya pada tradisi dan tanah air, Islam ini terbukti dalam sejarah bahwa Islam ini tidak pernah memberontak terhadap pemerintah yang absah, karena pemberontakan ini dianggap pengkhiatan terhadap negara yang telah dibangun bersama.
Dengan kenyataan ini ada baiknya saat ini jaringan Islam Nusantara yang telah terbentuk selama beberapa abad itu diaktualisasikan kembali. Ini akan lebih kuat ketika seluruh organisiasi Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah yang memangku Islam Nusantara ini bersatu melakukan kerja sama. Ini bukan sebagai langkah mundur justru sebagai pijakan untuk maju ke depan. Semakin jauh rancangan kita ke depan dituntut untuk mencari pijakan yang kuat agar loncatan kita sampai pada arah yang dituju. Dengan memiliki akar dan legitimasi tradisi itu program yang kita rencanakan untuk membangun Islam yang toleran, dan apresiatif terhadap budaya lokal serta peduli terhadap nasib masyarakat setempat akan tercapai. Islam yang diperkenalkan bukan Islam yang mengancam, tetapi Islam yang memberikan pengharapan, memberikan perlindungan dan memberikan dorongan serta motivasi untuk kehidupan, baik dunia dan akhirat. Di situlah peran para rohaniawan para ulama itu sangat dibutuhkan agar kehidupan yang dibangun Iebih berisi dan Iebih bermakna. []
Abdul Mun’im DZ
Ketua LajnahTa’lif wan Nasyr (LTN)NU dan Direktur NU Online.
Ia juga Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar
http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/308/mengukuhkan-jangkar-islam-nusantara

Kesultanan Majapahit 3

KESULTANAN MAJAPAHIT 3

DARI CANDRA SENGKALA
“ILANG SIRNA KERTANING BHUMI” (1478) HINGGA
ARMADA SABILILLAH DEMAK
(1521)

1466-74
Bhre Pandan Salas/ Singha Wikrama Wardhana memerintah Majapahit Barat di Bhreng Daha
selama 8 tahun

Bhre Pandan Salas bergelar Prabu Singha Wikrama Wardhana. Putranya bernama Rana Wijaya dipersiapkan menggantikan tahtanya. Beliau memerintah Majapahit Barat berpusat di Bhreng Daha (Kediri).


1466M/ 1388 Saka
(Dwi Naga Salira Wani)
Masjid Demak Bintara Mulai Dibangun

1. Panglima Demak Bintara pertama adalah Syah Alam Akbar I, yang ketika masih muda bernama Ruhuddin (Raden) Fatah atau Raden Kasan, memiliki nama Tionghoa Pangeran Jin Bun. Ia adalah putra dari Bhrawijaya V/ Bhre Kertabhumi + Gusti Ayu Andarawati (Putri Cempa), yakni seorang putri dari wilayah kerajaan Islam Majapahit di Cempa.
2. Candra sengkala ini terdapat di pintu utama masjid Demak. Angka tahun ini besar kemungkinan menunjukkan tahun awal pendirian masjid Demak.
3. Kyai Ageng Sela pada awal pembangunan masjid Demak “memegang” petir di halaman Masjid Demak. Beliau melakukan hal itu di hadapan wali-wali lainnya. Peristiwa ini kemudian abadikan sebagai ornamen pintu utama masjid. Peristiwa ini merupakan pertanda mulai dibangunnya Demak Bintara.
4. Kyahi Ageng Sela bernama Sayyid Abdurrahman adalah putra Kyahi Ageng Sayyid Getas Pendawa (Kyahi Ageng Tarub III), cucu dari Kyahi Ageng Tarub II (Kyahi Ageng Sayyid Bondhan Kejawan) + Dewi Nawangsari

Bhre Kertabhumi Maneges

Bhre Kertabhumi manages. Beliau berkelana dan berguru kepada Sunan Ngampel di Ngampel Denta , Surabaya.

Bhre Kertabhumi Menjadi Adik Ipar Sunan Ngampel

Di Ngampel Denta Bhre Kertabhumi dinikahkan dengan Gusti Ayu Andarawati Al Akbar. Gusti Ayu Andarawati Al Akbar adalah adik Sunan Ngampel atau R. Rakhmat Al Akbar. Beliau berdua adalah putra-putri Syekh Ibrahim Al Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja). Jadi silsilah beliau berdua adalah:

R. Rakhmat Al Akbar dan Gusti Ayu Andarawati Al Akbar bin/binti Syekh Ibrahim Al Akbar (Campa) bin Syekh Maulana Al Akbar (Gujarat, India).
Nama-nama Al Akbar-As Shaghir, Al Kubro-As Sughro, adalah nama-nama khas keturunan Imam Besar Ali bin Abithalib. Beliau adalah Amirul Mukminin, Khalifah Umat Islam seluruh dunia bertahta di Kuffah tahun 656-661M.


1468-78
Bhre Kertabhumi (Bhrawijaya V) menobatkan diri sebagai raja Majapahit Timur di Tumapel
selama 10 tahun

Kertabumi menjadi raja Majapahit Timur dan berpusat di Kota Tumapel, bekas ibukota Majapahit Timur (di masa Wikrama Wardhana). Ia adalah putra Bhre Pamotan/ Rajasa Wardhana, sebelum masa vakum pemerintahan Majapahit. Bhre Wirabhumi bergelar Sultan Bhrawijaya V. Beliau adalah cikal bakal raja-raja di Jawa. Memiliki banyak istri dan 117 anak.

1474-1519
Rana Wijaya/ Girindra Wardhana memerintah Majapahit Barat di Breng Daha selama 45 tahun

Beliau adalah Sunan Giri Sepuh/ Prapen?

1478M/ 1400 Saka:
Prapanca’s Ilang Sirna Kertaning Bhumi

Mpu Prapanca memperkirakan akan datangnya sebuah era keruntuhan Islam di seluruh dunia. Sesanti beliau berbunyi ilang sirna kertaning bhumi yang juga sebagai candra sengkala (penanda tahun oleh para pujangga jaman dahulu) sebagai 1400 tahun saka atau 1478 Masehi.

1478: Sultan Girindrawardhana Menyatukan Kembali Majapahit Barat-Timur

Tahun 1478, Sultan Girindrawardhana mempersatukan kembali Majapahit. Bhre Kertabhumi menyerahkan tahta Tumapel. Majapahit bersatu kembali dan diperintah Girindra Wardhana selama 41 tahun.

Sultan Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) Berkelana

Setelah mengundurkan diri dari tahta Majapahit Timur di Tumapel, Sultan Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) melarikan diri/ berkelana ke Barat. Beliau lalu mempersiapkan berdirinya Armada Sabilillah Laut Majapahit di Demak Bintara. Hal ini dilakukan demi menghalau masuknya Portugis ke Selat Malaka. Sebagaimana diramalkan oleh Ulama Besar Majapahit Mpu Prapanca.
Beliau mempersiapkan semua ini bersama-sama para wali tanah Jawa. Di samping itu juga melibatkan putra-putra beliau, antara lain:
1. R. Fatah Al Akbar/ P. Jimbun/ Sayyid R. Bagus Kusen dari Ibunda Gusti Ayu Andarawati Al Akbar. Beliau adalah putra Sultan Bhrawijaya V yang kelak terpilih menjadi Panglima Perang Armada Sabilillah Lautan Majapahit. Gelarnya Syah Alam Akbar I.
2. R. Harya Katong/ Bethara Katong/ P. Lembu Kanigara/ R. Joko Piturun (Dari istri Nyahi Ageng Bagelen, dimakamkan di Bagelen, Purworejo). Beliau menjabat Adipati Majapahit di Ponorogo. Ulamanya Kyahi Ageng Mirah/ Kyahi Ageng Muslim putra bin Kyahi Ageng Gribig , Jatinom (Klaten). Mereka dimakamkan di Ponorogo.
3. R. Harya Gugur / P. Lembu Kenanga/ R. Kudha Penoleh (juga dari istri Nyahi Ageng Bagelen ). Beliau menjabat Adipati Majapahit di Pamekasan, Madura.
4. Kangjeng Ratu Pembayun, istri Kyahi Ageng Wuking I/ Sri Hamengkurung Handayaningrat yang menjabat sebagai Adipati Majapahit di Pengging . Makam beliau berada di Masaran, Butuh, Sragen.
5. Pangeran Bondhan Kejawan/ R. Lembu Peteng/ Kyahi Ageng Tarub III. Makam beliau di Sela, Purwadadi.
6. Pangeran Bondhan Surati, seperti kakaknya juga menjadi Kyahi Ageng Bondhan Surati. Makam beliau berada di wilayah Sada, Paliyan, Gunung Kidul.
7.

1479M/1401 Saka: Candra Sengkala Penyu (Kura-kura) di Masjid Demak, berdirinya Masjid Demak Bintara

1. Candra sengkala penyu di dinding pengimaman Masjid Demak ini menunjukkan tahun berdirinya masjid Demak Bintara. Kepala berarti angka 1, kakinya berjumlah empat berarti angka 4, badan penyu berarti angka 0, dan ekor penyu berarti angka 1. Jadi keseluruhan simbol tersebut berarti angka tahun 1401 Saka atau 1479 masehi.
2. Masjid Demak Bintara didirikan oleh Wali Sanga. Teras masjid Demak ini merupakan pusaka dari Majapahit sebagai tanda restu dan legalitas Majapahit atas berdirinya Kerajaan Demak Bintara. Pusaka Majapahit tersebut berupa saka pendapa Majapahit Timur di Tumapel, yang diantarkan langsung oleh Prabu Brawijaya V dan putra beliau Pangeran Bondan Kejawan dan Pengeran Bondan Surati.
3. Pangeran Bondan Kejawan ini mengundurkan diri sebagai penerus Brawijaya V, ia memilih hidup sebagai ulama-kyai bernama Kyahi Ageng Tarub III .
4. Pangeran Bondan Surati juga menjadi Ulama-Kyahi diwilayah selatan Jawa.

1480(?): Adipati Yunus Lahir

Adipati Yunus lahir. Beliau adalah putra R. Muhammad Yunus (Wong Agung Jepara, adipati MAjapahit di Jepara) + putri Pembesar Majapahit. Nama beliau sesungguhnya adalah R. Abdul Qadir Al Idrus. Silsilahnya adalah sebagai berikut:
R. Abdul Qadir Al Idrus bin R. Muhammad Yunus Al Idrus bin Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al Muqaddam.
Ayah Pati Unus adalah R. Muhammad Yunus Al Idrus seorang Bupati Majapahit di Jepara. Beliau bergelar Wong Agung Jepara.
Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al Muqaddam, leluhur Pati Unus adalah seorang Ulama besar sangat terkenal di abad 12-13 M yang merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad, Sayyidus Syuhada Imam Husayn (Qaddasallohu Sirruhu) putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.
1481: Syah Alam AkbarI Dinobatkan
Senapati Sarjawala di Demak Bintara yang pertama adalah Syah Alam Akbar I, yang ketika masih muda bernama Ruhuddin (Raden) Fatah atau Raden Kasan. Beliau memiliki nama Tionghoa Pangeran Jin Bun. Ia adalah putra dari Bhrawijaya V/ Bhre Kertabhumi + Gusti Ayu Andarawati (Putri Cempa), yakni seorang putri dari wilayah kerajaan Islam Majapahit di Cempa.
A. Ong Tien (Putri Ming Hong Ki) datang ke Cirebon
Putri Kaisar Ming Hong Ki yakni putri Ong Tien datang ke Cirebon. Beliau dikirimkan ayahandanya untuk bergabung dengan Sunan Gunung Jati. Putri Ong Tien akhirnya menjadi istri Sunan Gunung Jati. Pernikahn inisekaligus menjadi lambang dukungan Kaisar Ming terhadap Khalifah Rasulullah Senapati Sarjawala.
Sebagai cenderamata kepada S. Gunung Jati, Kaisar Ming menghadiahkan nama China untuk beliau yakni Tan Beng Hoat. Di samping itu beliau dihadiahi sepasang dipan yang terbuat dari batu Giok.
Sunan Gunung Jati ketika itu berusia 40 tahun. Istri beliau yang keturunan raja Sunda baru saja wafat. Beliau bernama Nyahi Ageng Pakungwati.

B. Sunan Gunung Jati dinobatkan Menjadi Imam Nuswantara

S. Gunung Jati dinobatkan menjadi Imam di Nuswantara. Beliau bergelar: Susuhunan Jati Khalifah Rasulullah Senapati Sarjawala. Hal ini dilakukan Orang muslim Nuswantara untuk mengantisipasi runtuhnya wewenang Islam di Eropa dan Timur Tengah. Upacara ini dilakukan di Masjid Cipta Rasa, Cirebon.

1486: Putri Ong Tien Wafat

Istri Susuhunan Jati Khalifah Rasulullah Senapati Sarjawala, yakni Gusti Ayu Ong Tien, wafat. Beliau baru 5 tahun mendampingi sang Khalifah.

***

31 Maret 1492
Runtuhnya Granada di Spanyol

Secara perlahan-lahan seluruh wilayah daulat Islamiyah di Spanyol -yang sebelumnya dikuasai Dinasti Ummayah- menyerahkan diri kepada Ratu Isabella (Spanyol) dan Raja Ferdinand (Portugis).

1 April 1492
Dekrit Alhambra

“April Mop”, Jum'at Wage, 1 April 1492M, 23 Jumadilawal 1409, tahun Wawu, Windu Kuntara, 23 Jumadilawal 897H adalah hari diberlakukannya Dekrit Alhambra. Dekrit Alhambra yang ditandatangani oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabela, diberlakukan. Masjid Alhambra yang terbesar kedua di dunia, kemudian berubah fungsi menjadi gereja Katolik Kerajaan Spanyol.
Dengan berlakunya dekrit ini, seluruh dunia muslim (Islamistand) dianggap telah menjadi hak milik Spanyol dan Portugis. Islamistand dibagi menjadi dua wilayah, yakni Hindia Timur (Oost Indische) atau Nuswantara dan Hindia Barat (West Indische) atau benua Amerika sekarang.
Hal ini merupakan suatu pernyataan dari kaum Kolonial bahwa seluruh Islamistan secara legal-formal telah menjadi milik Spanyol dan Portugis. Raja Ferdinand segera menyiapkan Armada besar untuk menguasai Oost Indische/ Hindia Timur/ Nuswantara. Mereka menyandarkan hak mereka atas wilayah tersebut kepada Dekrit Alhambra ini.
Denikian halnya dengan Spanyol, mereka menyiapkan Armada yang dipimpin Christopher Colombus ke West Indische (Amerika).

Dekrit Alhambra
“The Kings Ferdinand and Isabella, by the grace of God, King and Queen of Castile, Leon, Aragon and other dominions of the crown - to the prince Juan, to dukes, marquees, counts, the holy orders, priors, knight commanders, lords of the castles, cavaliers, and to all Jews, men and women of whatever age, and to anyone else this letter may concern - that health and grace be unto them. It is well known that in our dominion, there are certain bad Christians that became 'Judaized' and committed apostasy against our Holy Catholic faith, much of it the cause of interactions between Jews and Christians. Therefore, in the year 1480, we ordered that the Jews be separated from the cities and towns in our domains and that they be given separate sectors, hoping that with such separation the situation would be remedied, and we ordered that the Inquisition be established in such domains; and at the end of twelve years it has worked and the Inquisition has found many guilty persons. Furthermore we are informed by the Inquisition and others of the great harm that persists to the Christians as they interact with the Jews, and in turn these Jews try by all manners to subvert our Holy Catholic faith and are trying to prevent faithful Christians to grow close to their beliefs.
These Jews have instructed these Christians in the ceremonies and observances of their laws, circumcising their children, and giving them books with which to pray, and declaring unto them the days of fasting, and meeting with them to teach them the histories of their laws, notifying them when to expect the celebration of Passover and how to observe it, giving them the unleavened bread and ceremonially prepared meats, and instructing them in things from which they must abstain, both with regard to food items and other things requiring observance of the laws of Moses, making them fully understand that there is no other law or truth outside of this. And this is made clear based on the confessions from such Jews as well as those perverted by them that it has resulted in great damage and detriment of our Holy Catholic faith.
And since we knew the true remedy of such damages and difficulties lay in the interfering of all communications between the said Jews and the Christians and sending them forth from all our dominions, we sought to content ourselves with ordering the said Jews from all the cities and villages and places of Andalusia where it appeared that they had done the most damage, and believing that this would suffice so that those and other cities and villages and places in our reigns and holdings would be effective and would cease to commit the aforesaid. And because we have been informed that neither this, neither is the case nor the justices done for some of the said Jews found very culpable in the said crimes and transgressions against our Holy Catholic faith have been a complete remedy to obviate and to correct such opprobrium and offense. And to the Christian faith and religion it appears every day that the said Jews increase in continuing their evil and harmful purposes wherever they reside and converse; and because there is no place left whereby to more offend our holy faith, as much as those which God has protected to this day as in those already affected, it is left for this Holy Mother Church to mend and reduce the matter to its previous state, due to the frailty of the human being, it could occur that we could succumb to the diabolical temptation that continually combats us, therefore, if this be the principal cause, the said Jews if not converted must be expelled from the kingdom.
Because when a grave and detestable crime is committed by some members of a given group it is reasonable that the group be dissolved or annihilated, and the minors by the majors will be punished one by the other; and those who permit the good and honest in the cities and the villages, and by their contact may harm others, must be expelled from the group of peoples, and despite minor reasons, will be harmful to the Republic, and all the more so for the majority of these crimes, would be dangerous and contagious. Therefore, the Council of eminent men and cavaliers of our reign and of other persons of knowledge and conscience of our Supreme Council, and after much deliberation, it is agreed and resolved that all Jews and Jewesses be ordered to leave our kingdoms and that they not be allowed to ever return.
We further order in this edict that all Jews and Jewesses of whatever age that reside in our domain and territories leave with their sons and daughters, servants and relatives large or small, of all ages, by the end of July of this year, and that they dare not return to our lands and that they do not take a step across, such that if any Jew who does not accept this edict is found in our kingdom and domains or returns will be sentenced to death and confiscation of all their belongings.
We further order that no person in our kingdom, notwithstanding social status, including nobles, that hide or keep or defend any Jew or Jewess, be it publicly or secretly, from the end of July and following months, in their homes or elsewhere in our reign, risking as punishment loss of all their fiefs and fortresses, privileges and hereditary rights.
So be it that the Jews may dispose of their households and belongings in the given time period, for the present we provide our compromise of protection and security so that by the end of the month of July they may sell and exchange their belongings and furniture and any other item, and dispose of them freely per their assessment, that during said time no one is to do them harm or injury or injustice to their persons or to their goods, which would be unjustified, and those who would transgress this shall incur the punishment that befalls those who violate our royal security. We grant and give permission to the above mentioned Jews and Jewesses to take with them and out of our reigns their goods and belongings, by sea or by land, excepting gold and silver or minted money or any other item prohibited by the laws of the kingdom. Therefore, we order all councils, magistrates, cavaliers, shield-bearers, officials, good men of the city of Burgos and of other cities and villages of our kingdom and dominions, and all our vassals and subjects, that they observe and comply with this letter and all that is contained in it, and that they give all the type of help and favor necessary for its execution, subject to punishment by our sovereign grace and by confiscation of all their goods and offices for our royal house. And so that this may come to the notice of all, and that no one may pretend ignorance, we order that this edict be proclaimed in all the plazas and meeting places of all cities and in the major cities and villages of the diocese, that it be done by the town crier in the presence of the public scribe, and that no one nor anybody do the contrary of what has been defined, subject to the punishment by our sovereign grace and annulation of their offices and confiscation of their goods to whosoever does the contrary. And we order that it be evidenced and proven to the court with signed testimony specifying the manner in which the edict has been carried out.
Given in this city of Granada the thirty first day of March in the year of our Lord Jesus Christ 1492. Signed, I, the King, I the Queen, and Juan de Coloma, Secretary of the King and Queen who has written it by order of our Majesties.”

1493
Perjanjian Caetera
Antara Potugis dan Spanyol

1494
Perjanjian Tor de Silas
Antara Portugis dan Spanyol

1500: R. Abdul Qadir Al Akbar Al Idrus (Adipati Yunus) Menikah dengan Gusti Ayu binti Al Fatah Al Akbar

Pada usia 20 tahun, Adipati Yunus menikah dengan Gusti Ayu putri binti P. Fatah Al Akbar. P. Fatah juga memiliki darah Champa/ China dari ibunya Ratu Ayu Andarawati istri Brawijaya V dan Arya Damar (sebagai garwa triman). Dari pernikahan ini mendapat dua orang putra gagah berani. Yang pertama sebut saja Cucu R. Fatah (belum diperoleh keterangan) dan yang kedua dikenal sebagai Sayyid R. Abdullah Al Idrus.
Setelah pernikahan ini beliau diangkat menjadi Adipati Majapahit di Jepara (meneruskan ayahnya: R. Muhammad Yunus, Wong Agung Jepara).

1506
Pelayaran I Christophorus Colombus

1. Christophorus Colombus mantan terpidana mati di Spanyol ditugaskan Ratu Isabela untuk berlayar melintasi lautan Pasifik menuju ke daratan Amerika, atau disebut juga sebagai Hindia Barat. Amerika kemudian menjadi tempat pembuangan bagi para narapidana dari Spanyol.
2. Perjanjian Tor de Silas
3. Pelayaran Vasco de Gama
4. Pelayaran Alburqurque
5. Pelayaran Magelhans

***

1509
Benteng Mataram Islam Kotagedhe berdiri

1. Benteng Mataram Kotagedhe didirikan ketika Demak Bintara baru 36 tahun berdiri. Pemrakarsanya Kyai Ageng Sela (Sayyid Abdurrahman) dan putranya Kyai Ageng Anis/ Henis/ Ngenis dari Grobogan, Boyolali. Kyai Ageng Henis dimakamkan di Makam Pajang Laweyan, belakang Masjid peninggalan Pajang di Laweyan, Solo. Sedangkan makam Nyai Ageng Henis dimakamkan di tengah langgar/ mushala pusaka Kerajaan Islam Mataram Kotagedhe.
2. Di lingkungan Benteng Mataram Kotagede sudah tinggal keluarga Pangeran Jayaprana (keturunan Majapahit) dan keluarga Kyai Ageng Mangir.
3. Peristiwa dan situs ini menjadi penanda bagi sistem petanda bahwa Kerajaan Islam Mataram telah dipersiapkan 77 tahun sebelumnya oleh para raja, wali, ulama, dan kyai di tanah Jawa.
4. Hal ini terjadi karena para leluhur tanah Jawa telah mempersiapkan sebuah benteng pertahanan Islam di pesisir selatan pulau Jawa.
5. Panembahan Senapati kelak dinobatkan menjadi Panglima Perang di area pertahanan ini tahun 1586M (77 tahun kemudian).

1510-47
Sultan Daeng Matanre
bertahta di Gowa-Tallo, Sulawesi Selatan
selama 37 tahun

Sultan Daeng Matanre menyatukan seluruh kekuatan di Sulawesi Selatan menjadi satu kekuatan Gowa-Tallo . Peristiwa ini menjadi penting terkait dengan dukungan ahli-ahli pembuat kapal kayu dalam mempersiapkan 375 unit kapal untuk Armada Sabilillah Laut Majapahit di Demak Bintara.

1511: Malaka Jatuh ke Tangan Portugis

1. Kerajaan Malaka penjaga selat Malaka, dikuasai Portugis. Selat malaka adalah pintu masuk pintu masuk Armada Kolonial ke Nuswantara.
2. Adipati Yunus Al Idrus dinikahkan dengan Putri Ayu binti Sunan Gunung Jati Al Athas. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai seorang putra gagah berani yang gugur syahid di medan perang Malaka.
3. Sunan Gunung Jati/ Syarif Hidayatullah Al Athas juga keturunan China dari Dinasti Ming Islam, sehingga memiliki nama China sebagai Tan Eng Hoat.

Catatan:
Secara probabilistik di Nuswantara Majapahit terbentuk wajah-wajah kombinasi Parsi-China.

Adipati Yunus Diangkat Menjadi Senapati Sarjawala

Sunan Gunung Jati/ Syarif Hidayatullah Al Athas sebagai sesepuh para waliyullah mengangkat Adipati Yunus sebagai Senapati Sarjawala. Beliau menjadi Panglima Tertinggi Armada Sabilillah Majapahit. Armada ini merupakan gabungan dari Demak-Banten-Cirebon. Markas besarnya adalah di Pelabuhan Armada Laut Majapahit Demak Bintara.
1512: P. Pandanaran Hijrah ke Selatan

1. Pangeran Adipati Majapahit di Pandanarang I, hijrah dari pesisir utara (Semarang) ke pesisir selatan (Tembayat, Klaten). Di Tembayat beliau bergelar Sunan Tembayat/ Sunan Pandanarang/ Risang Guru Hyang Wisnumurti.
2. Beliau hijrah bersama istrinya dan dikawal oleh Syeh Dumba.

1512: Kerajaan Samudra Pasai Jatuh ke Tangan Portugis

Salah satu penjaga selat Malaka yakni Kerajaan Samudra Pasai jatuh ke tangan Portugis. Putra Mahkota kerajaan bernama Tubagus Pasai/ Fatahillah/ Faletehan/ Faltehan melarikan diri ke Demak dan bergabung dengan Armada Laut Sabilillah. Kelak beliau ini menggantikan posisi Adipati Yunus.
Jatuhnya Malaka dan Pasai ke Portugis merupakan ancaman bagi keindahandan ketentraman hidup di Nuswantara yang muslim sejak dahulu kala. Apalagi Portugis membawa Naskah Alhambra (1492), Caetera (1493), dan Tor de Sillas (1494). Ini berarti awal dari sebuah penguasaan atas seluruh tanah Hindia Timur atau Nuswantara oleh Armada Kolonial/ Portugis.
Dengan demikian ramalan Prapanca terbukti. Bahwa Nuswantara yang tata titi tentrem kerta raharja dan gemah ripah loh jinawi akan segera sirna. Akan segera berganti dengan jaman Kalabendu, yakni jaman penguasaan Armada Kolonial di seluruh dunia muslim. Ilang sirna kertaning bhumi.
Maka untuk menghalau mahapralaya ini tidak ada kemungkinan lain kecuali melawannya dengan perang suci, perang sabilillah. Para wali di tanah Jawa dan seluruh Nuswantara kemudian bersatu dan seia sekata untuk maju kemedan laga. Sesepuh untuk peperangan sabilillah Nuswantara ini adalah Sunan Gunung Jati/ Syarif Hidayatullah/ Sayyid R. Tan Eng Hoat. Seorang ulama keturunan Parsi-China dan berdarah keturunan Nabi Muhammad SAW.

Tomi Pires (mata-mata Portugis) masuk ke Tuban

Pengelana dan mata-mata Portugis bernama Tomi Pires datang keTuban. Ia datang satu abad setelah Gan Eng Cu menulis tentang kekagumannya di Tuban.

1513: Ekspedisi Pengintaian Dikirim ke Malaka

Sunan Gunung Jati mengirim sepasukan pengintai yang bertugas menembus Benteng Portugis di Malaka. Pasukan ini kembali ke Demak Bintara dan melaporkan betapa dahsyatnya persiapan dan kesiapan Armada Laut Kolonial Portugis. Tak ada jalan lain bagi Armada Laut Majapahit Nuswantara, selain melakukan persiapan secepatnya secara besar-besaran.
Armada Majapahit Nuswantara segera menghubungi saudaranya yang berada di Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka adalah para “sayyid Bugis” jago-jago maritim yang terkenal ke seluruh dunia. Mereka menguasai area maritime yang sangat luas dari Formosa/ Filipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Maluku hingga ke Australia. Para sayyid Bugis ini dikenal sebagai Penguasa Lautan di Benua Timur.
Dengan bantuan dari sesama “sayyid”/ keturunan Rasulullah SAW di Gowa, maka Armada Sabilillah Laut Majapahit membangun 375 buah kapal dengan ukuran besar.
Di samping itu di daratan, terjadi persiapan dan penataan para wali, ulama, dan kyahi demi menghadapi kemungkinan terburuk dari mahapralaya ini. Bala bencana akan segera datang sebagai air bah dan badai yang dahsyat. Tak mungkin melawannya dan takmungkin membendungnya, seakan sudah menjadi ketetapan Ilahi. Maka yang bisa dilakukan kaum muslimin hanya memohon pertolongan Allah SWT belaka.
Sejak saat itu maka seluruh Nuswantara/ Majapahit hanya memiliki satu tekad yakni melaksanakan perang suci, sabilillah. Tak ada jalan lain. Kolonialisme adalah sebuah takdir yang harus diterima kaum Muslimin dunia, termasuk yang hadup di Nuswantara/ Majapahit. Sudah 1000 tahun sejak Rasulullah SAW masih hidup, kaum muslimin menjadi Tuan bagi ummat manusia, sayyidul ummah. Di atas hamparan geografis yang maha luas, meliputi seluruh dunia. Dan melaksanakan perang suci, sabilillah menjadi satu-satunya kewajiban dan pilihan yang bisa dilakukan kaum muslimin saat itu. Hanya dengan ini saja cara kaum muslimin bertahan.
Maka sejak Kyahi Ageng Prapanca menyatakan sabdanya ilang sirna kertaning bhumi, menandakan akan terjadinya sebuah perubahan. Perubahan besar pada jaman dan dunia tempat manusia menggantungkan hidupnya. Tak mungkin manusia menghindari. Sunan Kalijaga berpesan dalam hal ini, manuta mili playuning banyu, nanging ywa kongsi keli. Ikutilah arus perubahan jaman itu, namun jangan sampai hanyut. Sebuah pilihan yang sulit.

1513: Sultan Daeng Matanre Membangun Kapal-kapal Armada Sabilillah

Para ahli teknologi maritim dari Gowa-Tallo sejak 1513 mulai membuat kapal-kapal laut untuk Armada Laut Sabilillah Nuswantara/ Majapahit. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Armada Sabilillah Laut Majapahit di Demak Bintara benar-benar sebuah Armada Kesatuan seluruh Nuswantara. Bukan hanya Demak-Banten-Cirebon (di P. Jawa) yang bersatu, namun juga Gowa-Tallo berikut seluruh sekutunya di seluruh Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, hingga Australia.
Sementara yang bela adalah Kekuatan Islam di Sumatera Utara. Terutama Kerajaan Malaka dan Pasai sebagai penjaga arus masuknya kapal layar ke Nuswantara dari Selat Malaka.

1521: Perang Sabilillah Melawan Kumpeni Portugis di Selat Malaka

Demak Bintara: Syah Alam Al Akbar II/ Adipati Unus/ P. Sabrang Lor/ Senapati Sarjawala menghadang Portugis di Selat Malaka. Peristiwa ini disebut sebagai ekspedisi Sabrang Lor, terjadi peperangan selama 3 hari 3 malam. Armada Kolonial Kumpeni Portugis saat itu sudah menguasai Malaka dan Pasai.
Penguasaan Portugis terhadap wilayah raja Malaka dan Pasai merupakan langkah awal bagi mereka dalam melaksanakan 3 Naskah (Dekrit Alhambra, Caetera, dan Tor de Sillas) di perairan Nuswantara.
Meskipun tidak diakhiri dengan perjanjian dengan Pihak Portugis di Selat Malaka, namun Perang Besar Sabilillah di Selat Malaka ini menjelaskan mengapa Kumpeni Portugis kemudian mengarahkan ekspedisinya ke Indonesia Timur seperti Manado, Ambon, dan Maluku. Kumpeni Portugis mengurungkan niatnya memasuki Jawa.
Para syuhada yang gugur syahid pada Sabilillah ini adalah Adipati Yunus sendiri, berikut dua orang putra beliau. Satu cucu dari R. Fatah dan satunya lagi cucu dari Sunan Gunung Jati. Panglima sementara dipegang oleh R. Hidayat sampai seluruh Armada Sabilillah Majapahit kembali ke Jawa.


1. Demak Bintara: Syah Alam III (Raden Trenggana) menghadang Portugis di Selat Malaka, bersama-sama dengan Cirebon dan Banten. Mobilisasi ini sekaligus mengakhiri kepemimpinan Demak Bintara, karena penerus Trenggana (Sunan Prawata) memilih menjadi ulama-kyahi dari pada menjadi putra mahkota Demak.
2. Putra Trenggana (Raden Prawata) mengundurkan diri sebagai calon pengganti Sultan Syah Alam III. Beliau menjadi ulama-kyai bergelar Batara Guru/ Sunan Prawata. Sunan Prawata beristrikan Ratu Kalinyamat.
3. Sunan Prawata tewas dibunuh Arya Penangsang. Istrinya (Ratu Kalinyamat) didampingi 2 orang saudarinya (sebut saja Putri Penderek Kalinyamat 1 dan 2) melakukan munajat/ bertapa, menuntut balas kematian Sunan Prawata.
4. Ratu Kalinyamat bertemu Danang Sutawijaya (kelak menjadi Panembahan Senapati). DS berjanji akan menuntutkan balas kepada Arya Penangsang.
5. Arya Penangsang mengundurkan diri dari menghendaki tahta Demak dan Pajang dan wafat sebagai kyai bergelar Seda Lepen. Makamnya terdapat di Kadilangu dan Kaliwungu.
6. Sebagai rasa terima kasih, Ratu Kalinyamat mengawinkan DS dengan Putri Penderek Kalinyamat 1 dan 2. Dari perkawinannya dengan mereka, DS dikaruniai seorang putera yang kelak sangat sakti mandraguna bernama Raden Rangga.

1. Terjadi eksodus para sunan, wali, dan kyahi dari pesisir utara ke pesisir selatan. Peristiwa ini menunjukkan terjadinya perpindahan pusat pemerintahan dalam menghadapi kolonialisme dari Demak ke Mataram. Kerajaan Pajang sebagai pengantara saja.
2. Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang) mempersiapkan berdirinya Mataram dengan menugaskan Tiga Serangkai: Kyai Ageng Pemanahan, Panembahan Senapati, dan Kyai JuruMartani.
3. Sultan Hadiwijaya bertahta di Pajang didampingi penasihat Kyai Ageng Singaprana II.


***

1515
Belanda menjadi Negara Bagian (Jajahan) Spanyol

Kerajaan Belanda menjadi jajahan Kerajaan Spanyol di bawah duli Ratu Isabela. Kerajaan Spanyol waktu itu baru 19 tahun menguasai Andalusia. Dalam masa ini maskapai dagang orang-orang Belanda ikut meramaikan wilayah jajahan Spanyol termasuk Nuswantara.

1518: R. Fatah Al Akbar/ P. Jin Bun Wafat

Panglima Tertinggi Armada Sabilillah Laut Pertama, yakni Raden Fatah/ Pangeran Jin Bun/ Raden Bagus Kasan, bergelar Syah Alam Al Akbar I, wafat. Sunan Gunung Jati dan Armada Sabilillah harus memilih pemimpin baru. Mereka harus mengangkat kembali seseorang yang telah dipersiapkan Allah SWT untuk memimpin Armada Sabilillah Laut Majapahit ini. Seseorang yang akan memagku amanat dan bergelar Syah Alam Al Akbar II (tsaniy).
Sebelum wafat, R. Bagus Kasan berwasiat supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi Adipati Demak Bintara berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Sayyid R. Abdul Qadir bin Yunus Al Akbar Al Idrus, Adipati Majapahit di Jepara. Beliau menjadi Syah Alam Al Akbar II atau AtsTsaniy.

1519-21: Rana Wijaya/ Prabu Girindra Wardhana Raja Majapahit wafat

1537: Sunan Pandanarang wafat di Tembayat, Wedi, Klaten
1. Sunan Pandanaran/ Sunan Tembayat (ketika masih di Semarang bernama Pangeran Adipati (Majapahit) di Pandanarang I) wafat di Tembayat, Wedi, Klaten.
2. Beliau wafat setelah mukim 25 tahun di sana. Metode syiar Islamnya disebut sebagai anjala wukir kamulyanta. Artinya, menjaring para kesatriya (arab: mujahid) yang hidup dalam kemulyaan dan keluhuran budi pekerti. Kelak Sultan Agung Hanyakrakusuma memindah makam beliau ke puncak bukit Tembayat tahun 1633, demi memuliakan beliau. Dan membangun candi “bla-bla?” sebagai pintu-pintu gerbang menuju Makam Sunan Tembayat.
3. Juga bergelar Risang Guru Hyang Wisnumurti, artinya Sang juru dakwah/ ulama yang mengajarkan perihal keutamaan Rasulullah SAW.

1542: Candi Sukuh berdiri

Candi Sukuh berdiri di lereng Lawu, Sukaharja. Candi ini dipersembahkan untuk Sultan Brawijaya V dari putra beliau Syah Alam Al Akbar I (Pangeran Jimbun/ R. Fatah/ Sayyid Raden Bagus Kusen Al Akbar) di Demak Bintara. Hal ini bisa dilihat dari lambang penyu/ kura-kura yang menjadi simbul utama candi. Simbul penyu’ kura-kura ini merupakan simbol Demak Bintara (terdapat di dinding pengimaman Masjid Demak).
Candi ini sebagaimana raja-raja Majapahit sebelumnya (misal, Candi Tigawangi dan Wanacala di Kedhiri), digunakan untuk menyepi dan tahanuts. Hal ini ditandai dengan relief Sudamala (artinya pertobatan, pensucian diri dari kehidupan dunia).

1544: Mata-mata Portugis Antonio de Paiva dari Malaka menyusup ke Gowa-Tallo

1549: Sunan Prawata wafat
1. Sunan Prawata adalah sultan ke IV Demak Bintara. Ia bergelar Sultan Syah Alam IV. Ia adalah adik Sultan Syah Alam III/ Raden Trenggana.
2. Permaisurinya adalah Ratu Kalinyamat. Selir-selirnya antara lain adalah Putri Semangkin dan Putri Prihatin.
3. Sunan Prawata wafat dibunuh Arya Penangsang, yang menuntut tahta Kesultanan Demak Bintara.

***

Kesultanan Majapahit 3

KESULTANAN MAJAPAHIT 3

DARI CANDRA SENGKALA
“ILANG SIRNA KERTANING BHUMI” (1478) HINGGA
ARMADA SABILILLAH DEMAK
(1521)

1466-74
Bhre Pandan Salas/ Singha Wikrama Wardhana memerintah Majapahit Barat di Bhreng Daha
selama 8 tahun

Bhre Pandan Salas bergelar Prabu Singha Wikrama Wardhana. Putranya bernama Rana Wijaya dipersiapkan menggantikan tahtanya. Beliau memerintah Majapahit Barat berpusat di Bhreng Daha (Kediri).


1466M/ 1388 Saka
(Dwi Naga Salira Wani)
Masjid Demak Bintara Mulai Dibangun

1. Panglima Demak Bintara pertama adalah Syah Alam Akbar I, yang ketika masih muda bernama Ruhuddin (Raden) Fatah atau Raden Kasan, memiliki nama Tionghoa Pangeran Jin Bun. Ia adalah putra dari Bhrawijaya V/ Bhre Kertabhumi + Gusti Ayu Andarawati (Putri Cempa), yakni seorang putri dari wilayah kerajaan Islam Majapahit di Cempa.
2. Candra sengkala ini terdapat di pintu utama masjid Demak. Angka tahun ini besar kemungkinan menunjukkan tahun awal pendirian masjid Demak.
3. Kyai Ageng Sela pada awal pembangunan masjid Demak “memegang” petir di halaman Masjid Demak. Beliau melakukan hal itu di hadapan wali-wali lainnya. Peristiwa ini kemudian abadikan sebagai ornamen pintu utama masjid. Peristiwa ini merupakan pertanda mulai dibangunnya Demak Bintara.
4. Kyahi Ageng Sela bernama Sayyid Abdurrahman adalah putra Kyahi Ageng Sayyid Getas Pendawa (Kyahi Ageng Tarub III), cucu dari Kyahi Ageng Tarub II (Kyahi Ageng Sayyid Bondhan Kejawan) + Dewi Nawangsari

Bhre Kertabhumi Maneges

Bhre Kertabhumi manages. Beliau berkelana dan berguru kepada Sunan Ngampel di Ngampel Denta , Surabaya.

Bhre Kertabhumi Menjadi Adik Ipar Sunan Ngampel

Di Ngampel Denta Bhre Kertabhumi dinikahkan dengan Gusti Ayu Andarawati Al Akbar. Gusti Ayu Andarawati Al Akbar adalah adik Sunan Ngampel atau R. Rakhmat Al Akbar. Beliau berdua adalah putra-putri Syekh Ibrahim Al Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja). Jadi silsilah beliau berdua adalah:

R. Rakhmat Al Akbar dan Gusti Ayu Andarawati Al Akbar bin/binti Syekh Ibrahim Al Akbar (Campa) bin Syekh Maulana Al Akbar (Gujarat, India).
Nama-nama Al Akbar-As Shaghir, Al Kubro-As Sughro, adalah nama-nama khas keturunan Imam Besar Ali bin Abithalib. Beliau adalah Amirul Mukminin, Khalifah Umat Islam seluruh dunia bertahta di Kuffah tahun 656-661M.


1468-78
Bhre Kertabhumi (Bhrawijaya V) menobatkan diri sebagai raja Majapahit Timur di Tumapel
selama 10 tahun

Kertabumi menjadi raja Majapahit Timur dan berpusat di Kota Tumapel, bekas ibukota Majapahit Timur (di masa Wikrama Wardhana). Ia adalah putra Bhre Pamotan/ Rajasa Wardhana, sebelum masa vakum pemerintahan Majapahit. Bhre Wirabhumi bergelar Sultan Bhrawijaya V. Beliau adalah cikal bakal raja-raja di Jawa. Memiliki banyak istri dan 117 anak.

1474-1519
Rana Wijaya/ Girindra Wardhana memerintah Majapahit Barat di Breng Daha selama 45 tahun

Beliau adalah Sunan Giri Sepuh/ Prapen?

1478M/ 1400 Saka:
Prapanca’s Ilang Sirna Kertaning Bhumi

Mpu Prapanca memperkirakan akan datangnya sebuah era keruntuhan Islam di seluruh dunia. Sesanti beliau berbunyi ilang sirna kertaning bhumi yang juga sebagai candra sengkala (penanda tahun oleh para pujangga jaman dahulu) sebagai 1400 tahun saka atau 1478 Masehi.

1478: Sultan Girindrawardhana Menyatukan Kembali Majapahit Barat-Timur

Tahun 1478, Sultan Girindrawardhana mempersatukan kembali Majapahit. Bhre Kertabhumi menyerahkan tahta Tumapel. Majapahit bersatu kembali dan diperintah Girindra Wardhana selama 41 tahun.

Sultan Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) Berkelana

Setelah mengundurkan diri dari tahta Majapahit Timur di Tumapel, Sultan Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) melarikan diri/ berkelana ke Barat. Beliau lalu mempersiapkan berdirinya Armada Sabilillah Laut Majapahit di Demak Bintara. Hal ini dilakukan demi menghalau masuknya Portugis ke Selat Malaka. Sebagaimana diramalkan oleh Ulama Besar Majapahit Mpu Prapanca.
Beliau mempersiapkan semua ini bersama-sama para wali tanah Jawa. Di samping itu juga melibatkan putra-putra beliau, antara lain:
1. R. Fatah Al Akbar/ P. Jimbun/ Sayyid R. Bagus Kusen dari Ibunda Gusti Ayu Andarawati Al Akbar. Beliau adalah putra Sultan Bhrawijaya V yang kelak terpilih menjadi Panglima Perang Armada Sabilillah Lautan Majapahit. Gelarnya Syah Alam Akbar I.
2. R. Harya Katong/ Bethara Katong/ P. Lembu Kanigara/ R. Joko Piturun (Dari istri Nyahi Ageng Bagelen, dimakamkan di Bagelen, Purworejo). Beliau menjabat Adipati Majapahit di Ponorogo. Ulamanya Kyahi Ageng Mirah/ Kyahi Ageng Muslim putra bin Kyahi Ageng Gribig , Jatinom (Klaten). Mereka dimakamkan di Ponorogo.
3. R. Harya Gugur / P. Lembu Kenanga/ R. Kudha Penoleh (juga dari istri Nyahi Ageng Bagelen ). Beliau menjabat Adipati Majapahit di Pamekasan, Madura.
4. Kangjeng Ratu Pembayun, istri Kyahi Ageng Wuking I/ Sri Hamengkurung Handayaningrat yang menjabat sebagai Adipati Majapahit di Pengging . Makam beliau berada di Masaran, Butuh, Sragen.
5. Pangeran Bondhan Kejawan/ R. Lembu Peteng/ Kyahi Ageng Tarub III. Makam beliau di Sela, Purwadadi.
6. Pangeran Bondhan Surati, seperti kakaknya juga menjadi Kyahi Ageng Bondhan Surati. Makam beliau berada di wilayah Sada, Paliyan, Gunung Kidul.
7.

1479M/1401 Saka: Candra Sengkala Penyu (Kura-kura) di Masjid Demak, berdirinya Masjid Demak Bintara

1. Candra sengkala penyu di dinding pengimaman Masjid Demak ini menunjukkan tahun berdirinya masjid Demak Bintara. Kepala berarti angka 1, kakinya berjumlah empat berarti angka 4, badan penyu berarti angka 0, dan ekor penyu berarti angka 1. Jadi keseluruhan simbol tersebut berarti angka tahun 1401 Saka atau 1479 masehi.
2. Masjid Demak Bintara didirikan oleh Wali Sanga. Teras masjid Demak ini merupakan pusaka dari Majapahit sebagai tanda restu dan legalitas Majapahit atas berdirinya Kerajaan Demak Bintara. Pusaka Majapahit tersebut berupa saka pendapa Majapahit Timur di Tumapel, yang diantarkan langsung oleh Prabu Brawijaya V dan putra beliau Pangeran Bondan Kejawan dan Pengeran Bondan Surati.
3. Pangeran Bondan Kejawan ini mengundurkan diri sebagai penerus Brawijaya V, ia memilih hidup sebagai ulama-kyai bernama Kyahi Ageng Tarub III .
4. Pangeran Bondan Surati juga menjadi Ulama-Kyahi diwilayah selatan Jawa.

1480(?): Adipati Yunus Lahir

Adipati Yunus lahir. Beliau adalah putra R. Muhammad Yunus (Wong Agung Jepara, adipati MAjapahit di Jepara) + putri Pembesar Majapahit. Nama beliau sesungguhnya adalah R. Abdul Qadir Al Idrus. Silsilahnya adalah sebagai berikut:
R. Abdul Qadir Al Idrus bin R. Muhammad Yunus Al Idrus bin Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al Muqaddam.
Ayah Pati Unus adalah R. Muhammad Yunus Al Idrus seorang Bupati Majapahit di Jepara. Beliau bergelar Wong Agung Jepara.
Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al Muqaddam, leluhur Pati Unus adalah seorang Ulama besar sangat terkenal di abad 12-13 M yang merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad, Sayyidus Syuhada Imam Husayn (Qaddasallohu Sirruhu) putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.
1481: Syah Alam AkbarI Dinobatkan
Senapati Sarjawala di Demak Bintara yang pertama adalah Syah Alam Akbar I, yang ketika masih muda bernama Ruhuddin (Raden) Fatah atau Raden Kasan. Beliau memiliki nama Tionghoa Pangeran Jin Bun. Ia adalah putra dari Bhrawijaya V/ Bhre Kertabhumi + Gusti Ayu Andarawati (Putri Cempa), yakni seorang putri dari wilayah kerajaan Islam Majapahit di Cempa.
A. Ong Tien (Putri Ming Hong Ki) datang ke Cirebon
Putri Kaisar Ming Hong Ki yakni putri Ong Tien datang ke Cirebon. Beliau dikirimkan ayahandanya untuk bergabung dengan Sunan Gunung Jati. Putri Ong Tien akhirnya menjadi istri Sunan Gunung Jati. Pernikahn inisekaligus menjadi lambang dukungan Kaisar Ming terhadap Khalifah Rasulullah Senapati Sarjawala.
Sebagai cenderamata kepada S. Gunung Jati, Kaisar Ming menghadiahkan nama China untuk beliau yakni Tan Beng Hoat. Di samping itu beliau dihadiahi sepasang dipan yang terbuat dari batu Giok.
Sunan Gunung Jati ketika itu berusia 40 tahun. Istri beliau yang keturunan raja Sunda baru saja wafat. Beliau bernama Nyahi Ageng Pakungwati.

B. Sunan Gunung Jati dinobatkan Menjadi Imam Nuswantara

S. Gunung Jati dinobatkan menjadi Imam di Nuswantara. Beliau bergelar: Susuhunan Jati Khalifah Rasulullah Senapati Sarjawala. Hal ini dilakukan Orang muslim Nuswantara untuk mengantisipasi runtuhnya wewenang Islam di Eropa dan Timur Tengah. Upacara ini dilakukan di Masjid Cipta Rasa, Cirebon.

1486: Putri Ong Tien Wafat

Istri Susuhunan Jati Khalifah Rasulullah Senapati Sarjawala, yakni Gusti Ayu Ong Tien, wafat. Beliau baru 5 tahun mendampingi sang Khalifah.

***

31 Maret 1492
Runtuhnya Granada di Spanyol

Secara perlahan-lahan seluruh wilayah daulat Islamiyah di Spanyol -yang sebelumnya dikuasai Dinasti Ummayah- menyerahkan diri kepada Ratu Isabella (Spanyol) dan Raja Ferdinand (Portugis).

1 April 1492
Dekrit Alhambra

“April Mop”, Jum'at Wage, 1 April 1492M, 23 Jumadilawal 1409, tahun Wawu, Windu Kuntara, 23 Jumadilawal 897H adalah hari diberlakukannya Dekrit Alhambra. Dekrit Alhambra yang ditandatangani oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabela, diberlakukan. Masjid Alhambra yang terbesar kedua di dunia, kemudian berubah fungsi menjadi gereja Katolik Kerajaan Spanyol.
Dengan berlakunya dekrit ini, seluruh dunia muslim (Islamistand) dianggap telah menjadi hak milik Spanyol dan Portugis. Islamistand dibagi menjadi dua wilayah, yakni Hindia Timur (Oost Indische) atau Nuswantara dan Hindia Barat (West Indische) atau benua Amerika sekarang.
Hal ini merupakan suatu pernyataan dari kaum Kolonial bahwa seluruh Islamistan secara legal-formal telah menjadi milik Spanyol dan Portugis. Raja Ferdinand segera menyiapkan Armada besar untuk menguasai Oost Indische/ Hindia Timur/ Nuswantara. Mereka menyandarkan hak mereka atas wilayah tersebut kepada Dekrit Alhambra ini.
Denikian halnya dengan Spanyol, mereka menyiapkan Armada yang dipimpin Christopher Colombus ke West Indische (Amerika).

Dekrit Alhambra
“The Kings Ferdinand and Isabella, by the grace of God, King and Queen of Castile, Leon, Aragon and other dominions of the crown - to the prince Juan, to dukes, marquees, counts, the holy orders, priors, knight commanders, lords of the castles, cavaliers, and to all Jews, men and women of whatever age, and to anyone else this letter may concern - that health and grace be unto them. It is well known that in our dominion, there are certain bad Christians that became 'Judaized' and committed apostasy against our Holy Catholic faith, much of it the cause of interactions between Jews and Christians. Therefore, in the year 1480, we ordered that the Jews be separated from the cities and towns in our domains and that they be given separate sectors, hoping that with such separation the situation would be remedied, and we ordered that the Inquisition be established in such domains; and at the end of twelve years it has worked and the Inquisition has found many guilty persons. Furthermore we are informed by the Inquisition and others of the great harm that persists to the Christians as they interact with the Jews, and in turn these Jews try by all manners to subvert our Holy Catholic faith and are trying to prevent faithful Christians to grow close to their beliefs.
These Jews have instructed these Christians in the ceremonies and observances of their laws, circumcising their children, and giving them books with which to pray, and declaring unto them the days of fasting, and meeting with them to teach them the histories of their laws, notifying them when to expect the celebration of Passover and how to observe it, giving them the unleavened bread and ceremonially prepared meats, and instructing them in things from which they must abstain, both with regard to food items and other things requiring observance of the laws of Moses, making them fully understand that there is no other law or truth outside of this. And this is made clear based on the confessions from such Jews as well as those perverted by them that it has resulted in great damage and detriment of our Holy Catholic faith.
And since we knew the true remedy of such damages and difficulties lay in the interfering of all communications between the said Jews and the Christians and sending them forth from all our dominions, we sought to content ourselves with ordering the said Jews from all the cities and villages and places of Andalusia where it appeared that they had done the most damage, and believing that this would suffice so that those and other cities and villages and places in our reigns and holdings would be effective and would cease to commit the aforesaid. And because we have been informed that neither this, neither is the case nor the justices done for some of the said Jews found very culpable in the said crimes and transgressions against our Holy Catholic faith have been a complete remedy to obviate and to correct such opprobrium and offense. And to the Christian faith and religion it appears every day that the said Jews increase in continuing their evil and harmful purposes wherever they reside and converse; and because there is no place left whereby to more offend our holy faith, as much as those which God has protected to this day as in those already affected, it is left for this Holy Mother Church to mend and reduce the matter to its previous state, due to the frailty of the human being, it could occur that we could succumb to the diabolical temptation that continually combats us, therefore, if this be the principal cause, the said Jews if not converted must be expelled from the kingdom.
Because when a grave and detestable crime is committed by some members of a given group it is reasonable that the group be dissolved or annihilated, and the minors by the majors will be punished one by the other; and those who permit the good and honest in the cities and the villages, and by their contact may harm others, must be expelled from the group of peoples, and despite minor reasons, will be harmful to the Republic, and all the more so for the majority of these crimes, would be dangerous and contagious. Therefore, the Council of eminent men and cavaliers of our reign and of other persons of knowledge and conscience of our Supreme Council, and after much deliberation, it is agreed and resolved that all Jews and Jewesses be ordered to leave our kingdoms and that they not be allowed to ever return.
We further order in this edict that all Jews and Jewesses of whatever age that reside in our domain and territories leave with their sons and daughters, servants and relatives large or small, of all ages, by the end of July of this year, and that they dare not return to our lands and that they do not take a step across, such that if any Jew who does not accept this edict is found in our kingdom and domains or returns will be sentenced to death and confiscation of all their belongings.
We further order that no person in our kingdom, notwithstanding social status, including nobles, that hide or keep or defend any Jew or Jewess, be it publicly or secretly, from the end of July and following months, in their homes or elsewhere in our reign, risking as punishment loss of all their fiefs and fortresses, privileges and hereditary rights.
So be it that the Jews may dispose of their households and belongings in the given time period, for the present we provide our compromise of protection and security so that by the end of the month of July they may sell and exchange their belongings and furniture and any other item, and dispose of them freely per their assessment, that during said time no one is to do them harm or injury or injustice to their persons or to their goods, which would be unjustified, and those who would transgress this shall incur the punishment that befalls those who violate our royal security. We grant and give permission to the above mentioned Jews and Jewesses to take with them and out of our reigns their goods and belongings, by sea or by land, excepting gold and silver or minted money or any other item prohibited by the laws of the kingdom. Therefore, we order all councils, magistrates, cavaliers, shield-bearers, officials, good men of the city of Burgos and of other cities and villages of our kingdom and dominions, and all our vassals and subjects, that they observe and comply with this letter and all that is contained in it, and that they give all the type of help and favor necessary for its execution, subject to punishment by our sovereign grace and by confiscation of all their goods and offices for our royal house. And so that this may come to the notice of all, and that no one may pretend ignorance, we order that this edict be proclaimed in all the plazas and meeting places of all cities and in the major cities and villages of the diocese, that it be done by the town crier in the presence of the public scribe, and that no one nor anybody do the contrary of what has been defined, subject to the punishment by our sovereign grace and annulation of their offices and confiscation of their goods to whosoever does the contrary. And we order that it be evidenced and proven to the court with signed testimony specifying the manner in which the edict has been carried out.
Given in this city of Granada the thirty first day of March in the year of our Lord Jesus Christ 1492. Signed, I, the King, I the Queen, and Juan de Coloma, Secretary of the King and Queen who has written it by order of our Majesties.”

1493
Perjanjian Caetera
Antara Potugis dan Spanyol

1494
Perjanjian Tor de Silas
Antara Portugis dan Spanyol

1500: R. Abdul Qadir Al Akbar Al Idrus (Adipati Yunus) Menikah dengan Gusti Ayu binti Al Fatah Al Akbar

Pada usia 20 tahun, Adipati Yunus menikah dengan Gusti Ayu putri binti P. Fatah Al Akbar. P. Fatah juga memiliki darah Champa/ China dari ibunya Ratu Ayu Andarawati istri Brawijaya V dan Arya Damar (sebagai garwa triman). Dari pernikahan ini mendapat dua orang putra gagah berani. Yang pertama sebut saja Cucu R. Fatah (belum diperoleh keterangan) dan yang kedua dikenal sebagai Sayyid R. Abdullah Al Idrus.
Setelah pernikahan ini beliau diangkat menjadi Adipati Majapahit di Jepara (meneruskan ayahnya: R. Muhammad Yunus, Wong Agung Jepara).

1506
Pelayaran I Christophorus Colombus

1. Christophorus Colombus mantan terpidana mati di Spanyol ditugaskan Ratu Isabela untuk berlayar melintasi lautan Pasifik menuju ke daratan Amerika, atau disebut juga sebagai Hindia Barat. Amerika kemudian menjadi tempat pembuangan bagi para narapidana dari Spanyol.
2. Perjanjian Tor de Silas
3. Pelayaran Vasco de Gama
4. Pelayaran Alburqurque
5. Pelayaran Magelhans

***

1509
Benteng Mataram Islam Kotagedhe berdiri

1. Benteng Mataram Kotagedhe didirikan ketika Demak Bintara baru 36 tahun berdiri. Pemrakarsanya Kyai Ageng Sela (Sayyid Abdurrahman) dan putranya Kyai Ageng Anis/ Henis/ Ngenis dari Grobogan, Boyolali. Kyai Ageng Henis dimakamkan di Makam Pajang Laweyan, belakang Masjid peninggalan Pajang di Laweyan, Solo. Sedangkan makam Nyai Ageng Henis dimakamkan di tengah langgar/ mushala pusaka Kerajaan Islam Mataram Kotagedhe.
2. Di lingkungan Benteng Mataram Kotagede sudah tinggal keluarga Pangeran Jayaprana (keturunan Majapahit) dan keluarga Kyai Ageng Mangir.
3. Peristiwa dan situs ini menjadi penanda bagi sistem petanda bahwa Kerajaan Islam Mataram telah dipersiapkan 77 tahun sebelumnya oleh para raja, wali, ulama, dan kyai di tanah Jawa.
4. Hal ini terjadi karena para leluhur tanah Jawa telah mempersiapkan sebuah benteng pertahanan Islam di pesisir selatan pulau Jawa.
5. Panembahan Senapati kelak dinobatkan menjadi Panglima Perang di area pertahanan ini tahun 1586M (77 tahun kemudian).

1510-47
Sultan Daeng Matanre
bertahta di Gowa-Tallo, Sulawesi Selatan
selama 37 tahun

Sultan Daeng Matanre menyatukan seluruh kekuatan di Sulawesi Selatan menjadi satu kekuatan Gowa-Tallo . Peristiwa ini menjadi penting terkait dengan dukungan ahli-ahli pembuat kapal kayu dalam mempersiapkan 375 unit kapal untuk Armada Sabilillah Laut Majapahit di Demak Bintara.

1511: Malaka Jatuh ke Tangan Portugis

1. Kerajaan Malaka penjaga selat Malaka, dikuasai Portugis. Selat malaka adalah pintu masuk pintu masuk Armada Kolonial ke Nuswantara.
2. Adipati Yunus Al Idrus dinikahkan dengan Putri Ayu binti Sunan Gunung Jati Al Athas. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai seorang putra gagah berani yang gugur syahid di medan perang Malaka.
3. Sunan Gunung Jati/ Syarif Hidayatullah Al Athas juga keturunan China dari Dinasti Ming Islam, sehingga memiliki nama China sebagai Tan Eng Hoat.

Catatan:
Secara probabilistik di Nuswantara Majapahit terbentuk wajah-wajah kombinasi Parsi-China.

Adipati Yunus Diangkat Menjadi Senapati Sarjawala

Sunan Gunung Jati/ Syarif Hidayatullah Al Athas sebagai sesepuh para waliyullah mengangkat Adipati Yunus sebagai Senapati Sarjawala. Beliau menjadi Panglima Tertinggi Armada Sabilillah Majapahit. Armada ini merupakan gabungan dari Demak-Banten-Cirebon. Markas besarnya adalah di Pelabuhan Armada Laut Majapahit Demak Bintara.
1512: P. Pandanaran Hijrah ke Selatan

1. Pangeran Adipati Majapahit di Pandanarang I, hijrah dari pesisir utara (Semarang) ke pesisir selatan (Tembayat, Klaten). Di Tembayat beliau bergelar Sunan Tembayat/ Sunan Pandanarang/ Risang Guru Hyang Wisnumurti.
2. Beliau hijrah bersama istrinya dan dikawal oleh Syeh Dumba.

1512: Kerajaan Samudra Pasai Jatuh ke Tangan Portugis

Salah satu penjaga selat Malaka yakni Kerajaan Samudra Pasai jatuh ke tangan Portugis. Putra Mahkota kerajaan bernama Tubagus Pasai/ Fatahillah/ Faletehan/ Faltehan melarikan diri ke Demak dan bergabung dengan Armada Laut Sabilillah. Kelak beliau ini menggantikan posisi Adipati Yunus.
Jatuhnya Malaka dan Pasai ke Portugis merupakan ancaman bagi keindahandan ketentraman hidup di Nuswantara yang muslim sejak dahulu kala. Apalagi Portugis membawa Naskah Alhambra (1492), Caetera (1493), dan Tor de Sillas (1494). Ini berarti awal dari sebuah penguasaan atas seluruh tanah Hindia Timur atau Nuswantara oleh Armada Kolonial/ Portugis.
Dengan demikian ramalan Prapanca terbukti. Bahwa Nuswantara yang tata titi tentrem kerta raharja dan gemah ripah loh jinawi akan segera sirna. Akan segera berganti dengan jaman Kalabendu, yakni jaman penguasaan Armada Kolonial di seluruh dunia muslim. Ilang sirna kertaning bhumi.
Maka untuk menghalau mahapralaya ini tidak ada kemungkinan lain kecuali melawannya dengan perang suci, perang sabilillah. Para wali di tanah Jawa dan seluruh Nuswantara kemudian bersatu dan seia sekata untuk maju kemedan laga. Sesepuh untuk peperangan sabilillah Nuswantara ini adalah Sunan Gunung Jati/ Syarif Hidayatullah/ Sayyid R. Tan Eng Hoat. Seorang ulama keturunan Parsi-China dan berdarah keturunan Nabi Muhammad SAW.

Tomi Pires (mata-mata Portugis) masuk ke Tuban

Pengelana dan mata-mata Portugis bernama Tomi Pires datang keTuban. Ia datang satu abad setelah Gan Eng Cu menulis tentang kekagumannya di Tuban.

1513: Ekspedisi Pengintaian Dikirim ke Malaka

Sunan Gunung Jati mengirim sepasukan pengintai yang bertugas menembus Benteng Portugis di Malaka. Pasukan ini kembali ke Demak Bintara dan melaporkan betapa dahsyatnya persiapan dan kesiapan Armada Laut Kolonial Portugis. Tak ada jalan lain bagi Armada Laut Majapahit Nuswantara, selain melakukan persiapan secepatnya secara besar-besaran.
Armada Majapahit Nuswantara segera menghubungi saudaranya yang berada di Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka adalah para “sayyid Bugis” jago-jago maritim yang terkenal ke seluruh dunia. Mereka menguasai area maritime yang sangat luas dari Formosa/ Filipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Maluku hingga ke Australia. Para sayyid Bugis ini dikenal sebagai Penguasa Lautan di Benua Timur.
Dengan bantuan dari sesama “sayyid”/ keturunan Rasulullah SAW di Gowa, maka Armada Sabilillah Laut Majapahit membangun 375 buah kapal dengan ukuran besar.
Di samping itu di daratan, terjadi persiapan dan penataan para wali, ulama, dan kyahi demi menghadapi kemungkinan terburuk dari mahapralaya ini. Bala bencana akan segera datang sebagai air bah dan badai yang dahsyat. Tak mungkin melawannya dan takmungkin membendungnya, seakan sudah menjadi ketetapan Ilahi. Maka yang bisa dilakukan kaum muslimin hanya memohon pertolongan Allah SWT belaka.
Sejak saat itu maka seluruh Nuswantara/ Majapahit hanya memiliki satu tekad yakni melaksanakan perang suci, sabilillah. Tak ada jalan lain. Kolonialisme adalah sebuah takdir yang harus diterima kaum Muslimin dunia, termasuk yang hadup di Nuswantara/ Majapahit. Sudah 1000 tahun sejak Rasulullah SAW masih hidup, kaum muslimin menjadi Tuan bagi ummat manusia, sayyidul ummah. Di atas hamparan geografis yang maha luas, meliputi seluruh dunia. Dan melaksanakan perang suci, sabilillah menjadi satu-satunya kewajiban dan pilihan yang bisa dilakukan kaum muslimin saat itu. Hanya dengan ini saja cara kaum muslimin bertahan.
Maka sejak Kyahi Ageng Prapanca menyatakan sabdanya ilang sirna kertaning bhumi, menandakan akan terjadinya sebuah perubahan. Perubahan besar pada jaman dan dunia tempat manusia menggantungkan hidupnya. Tak mungkin manusia menghindari. Sunan Kalijaga berpesan dalam hal ini, manuta mili playuning banyu, nanging ywa kongsi keli. Ikutilah arus perubahan jaman itu, namun jangan sampai hanyut. Sebuah pilihan yang sulit.

1513: Sultan Daeng Matanre Membangun Kapal-kapal Armada Sabilillah

Para ahli teknologi maritim dari Gowa-Tallo sejak 1513 mulai membuat kapal-kapal laut untuk Armada Laut Sabilillah Nuswantara/ Majapahit. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Armada Sabilillah Laut Majapahit di Demak Bintara benar-benar sebuah Armada Kesatuan seluruh Nuswantara. Bukan hanya Demak-Banten-Cirebon (di P. Jawa) yang bersatu, namun juga Gowa-Tallo berikut seluruh sekutunya di seluruh Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, hingga Australia.
Sementara yang bela adalah Kekuatan Islam di Sumatera Utara. Terutama Kerajaan Malaka dan Pasai sebagai penjaga arus masuknya kapal layar ke Nuswantara dari Selat Malaka.

1521: Perang Sabilillah Melawan Kumpeni Portugis di Selat Malaka

Demak Bintara: Syah Alam Al Akbar II/ Adipati Unus/ P. Sabrang Lor/ Senapati Sarjawala menghadang Portugis di Selat Malaka. Peristiwa ini disebut sebagai ekspedisi Sabrang Lor, terjadi peperangan selama 3 hari 3 malam. Armada Kolonial Kumpeni Portugis saat itu sudah menguasai Malaka dan Pasai.
Penguasaan Portugis terhadap wilayah raja Malaka dan Pasai merupakan langkah awal bagi mereka dalam melaksanakan 3 Naskah (Dekrit Alhambra, Caetera, dan Tor de Sillas) di perairan Nuswantara.
Meskipun tidak diakhiri dengan perjanjian dengan Pihak Portugis di Selat Malaka, namun Perang Besar Sabilillah di Selat Malaka ini menjelaskan mengapa Kumpeni Portugis kemudian mengarahkan ekspedisinya ke Indonesia Timur seperti Manado, Ambon, dan Maluku. Kumpeni Portugis mengurungkan niatnya memasuki Jawa.
Para syuhada yang gugur syahid pada Sabilillah ini adalah Adipati Yunus sendiri, berikut dua orang putra beliau. Satu cucu dari R. Fatah dan satunya lagi cucu dari Sunan Gunung Jati. Panglima sementara dipegang oleh R. Hidayat sampai seluruh Armada Sabilillah Majapahit kembali ke Jawa.


1. Demak Bintara: Syah Alam III (Raden Trenggana) menghadang Portugis di Selat Malaka, bersama-sama dengan Cirebon dan Banten. Mobilisasi ini sekaligus mengakhiri kepemimpinan Demak Bintara, karena penerus Trenggana (Sunan Prawata) memilih menjadi ulama-kyahi dari pada menjadi putra mahkota Demak.
2. Putra Trenggana (Raden Prawata) mengundurkan diri sebagai calon pengganti Sultan Syah Alam III. Beliau menjadi ulama-kyai bergelar Batara Guru/ Sunan Prawata. Sunan Prawata beristrikan Ratu Kalinyamat.
3. Sunan Prawata tewas dibunuh Arya Penangsang. Istrinya (Ratu Kalinyamat) didampingi 2 orang saudarinya (sebut saja Putri Penderek Kalinyamat 1 dan 2) melakukan munajat/ bertapa, menuntut balas kematian Sunan Prawata.
4. Ratu Kalinyamat bertemu Danang Sutawijaya (kelak menjadi Panembahan Senapati). DS berjanji akan menuntutkan balas kepada Arya Penangsang.
5. Arya Penangsang mengundurkan diri dari menghendaki tahta Demak dan Pajang dan wafat sebagai kyai bergelar Seda Lepen. Makamnya terdapat di Kadilangu dan Kaliwungu.
6. Sebagai rasa terima kasih, Ratu Kalinyamat mengawinkan DS dengan Putri Penderek Kalinyamat 1 dan 2. Dari perkawinannya dengan mereka, DS dikaruniai seorang putera yang kelak sangat sakti mandraguna bernama Raden Rangga.

1. Terjadi eksodus para sunan, wali, dan kyahi dari pesisir utara ke pesisir selatan. Peristiwa ini menunjukkan terjadinya perpindahan pusat pemerintahan dalam menghadapi kolonialisme dari Demak ke Mataram. Kerajaan Pajang sebagai pengantara saja.
2. Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang) mempersiapkan berdirinya Mataram dengan menugaskan Tiga Serangkai: Kyai Ageng Pemanahan, Panembahan Senapati, dan Kyai JuruMartani.
3. Sultan Hadiwijaya bertahta di Pajang didampingi penasihat Kyai Ageng Singaprana II.


***

1515
Belanda menjadi Negara Bagian (Jajahan) Spanyol

Kerajaan Belanda menjadi jajahan Kerajaan Spanyol di bawah duli Ratu Isabela. Kerajaan Spanyol waktu itu baru 19 tahun menguasai Andalusia. Dalam masa ini maskapai dagang orang-orang Belanda ikut meramaikan wilayah jajahan Spanyol termasuk Nuswantara.

1518: R. Fatah Al Akbar/ P. Jin Bun Wafat

Panglima Tertinggi Armada Sabilillah Laut Pertama, yakni Raden Fatah/ Pangeran Jin Bun/ Raden Bagus Kasan, bergelar Syah Alam Al Akbar I, wafat. Sunan Gunung Jati dan Armada Sabilillah harus memilih pemimpin baru. Mereka harus mengangkat kembali seseorang yang telah dipersiapkan Allah SWT untuk memimpin Armada Sabilillah Laut Majapahit ini. Seseorang yang akan memagku amanat dan bergelar Syah Alam Al Akbar II (tsaniy).
Sebelum wafat, R. Bagus Kasan berwasiat supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi Adipati Demak Bintara berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Sayyid R. Abdul Qadir bin Yunus Al Akbar Al Idrus, Adipati Majapahit di Jepara. Beliau menjadi Syah Alam Al Akbar II atau AtsTsaniy.

1519-21: Rana Wijaya/ Prabu Girindra Wardhana Raja Majapahit wafat

1537: Sunan Pandanarang wafat di Tembayat, Wedi, Klaten
1. Sunan Pandanaran/ Sunan Tembayat (ketika masih di Semarang bernama Pangeran Adipati (Majapahit) di Pandanarang I) wafat di Tembayat, Wedi, Klaten.
2. Beliau wafat setelah mukim 25 tahun di sana. Metode syiar Islamnya disebut sebagai anjala wukir kamulyanta. Artinya, menjaring para kesatriya (arab: mujahid) yang hidup dalam kemulyaan dan keluhuran budi pekerti. Kelak Sultan Agung Hanyakrakusuma memindah makam beliau ke puncak bukit Tembayat tahun 1633, demi memuliakan beliau. Dan membangun candi “bla-bla?” sebagai pintu-pintu gerbang menuju Makam Sunan Tembayat.
3. Juga bergelar Risang Guru Hyang Wisnumurti, artinya Sang juru dakwah/ ulama yang mengajarkan perihal keutamaan Rasulullah SAW.

1542: Candi Sukuh berdiri

Candi Sukuh berdiri di lereng Lawu, Sukaharja. Candi ini dipersembahkan untuk Sultan Brawijaya V dari putra beliau Syah Alam Al Akbar I (Pangeran Jimbun/ R. Fatah/ Sayyid Raden Bagus Kusen Al Akbar) di Demak Bintara. Hal ini bisa dilihat dari lambang penyu/ kura-kura yang menjadi simbul utama candi. Simbul penyu’ kura-kura ini merupakan simbol Demak Bintara (terdapat di dinding pengimaman Masjid Demak).
Candi ini sebagaimana raja-raja Majapahit sebelumnya (misal, Candi Tigawangi dan Wanacala di Kedhiri), digunakan untuk menyepi dan tahanuts. Hal ini ditandai dengan relief Sudamala (artinya pertobatan, pensucian diri dari kehidupan dunia).

1544: Mata-mata Portugis Antonio de Paiva dari Malaka menyusup ke Gowa-Tallo

1549: Sunan Prawata wafat
1. Sunan Prawata adalah sultan ke IV Demak Bintara. Ia bergelar Sultan Syah Alam IV. Ia adalah adik Sultan Syah Alam III/ Raden Trenggana.
2. Permaisurinya adalah Ratu Kalinyamat. Selir-selirnya antara lain adalah Putri Semangkin dan Putri Prihatin.
3. Sunan Prawata wafat dibunuh Arya Penangsang, yang menuntut tahta Kesultanan Demak Bintara.

***