Senin, 08 Maret 2010

Pikiran,Kesadaran dan Diri

Pikiran, Kesadaran dan Diri
• Sudrijanta on May 29, 2009 at 9:32am in Umum (Belum dikategorikan)
• Add as Friend View Discussions
“Menurut pandangan non-materialis, kematian otak bukan berarti binasanya seseorang, yaitu lenyapnya pikiran, kesadaran, dan diri. Pikiran dan diri individual muncul dari dan saling dihubungkan oleh suatu Dasar Keberadaan (Ground of Being) yang Ilahi atau matriks priomordial. Itulah Roh yang tidak kenal ruang, tidak kenal waktu dan tidak terbatas, yang senantiasa menjadi sumber keteraturan kosmik, matriks dari seluruh alam semesta baik psyche (nature spiritual) maupun physis (nature material). Pikiran dan kesadaran adalah bagian yang fundamental dan tidak tereduksi dari Dasar Keberadaan. Bukan hanya pengalaman subjektif dari dunia fenomenal ini berada di dalam pikiran dan kesadaran, tetapi pikiran, kesadaran dan diri sangat mempengaruhi dunia fisik.

Normalnya, diri individual tidak awas terhadap Dasar Keberadaan. Bagaimanapun, dalam situasi tertentu yang biasanya melibatkan kondisi kesadaran lain, diri individual dapat menjadi awas dan bahkan menyatu dengan Dasar Keberadaan, yang melandasi psyche dan physis, serta menjadi fondasi utama bagi diri. Kondisi mistikal seperti ini melibatkan pengalaman intuitif dari penyatuan dan keterhubungan “organic” yang memungkinkan pikiran manusia untuk secara kausal mempengaruhi realitas fisik dan memungkinkan interaksi psi antar manusia dan dengan system fisik atau biologis. Berkenaan dengan masalah ini, menarik untuk dicatat bahwa para fisikawan kuantum semakin mengenali nature mental dari alam semesta.

Konsep-konsep yang kini terbukti fundamental bagi pemahaman kita tentang alam semesta…dalam pikiran saya merupakan struktur-struktur dari pikiran murni…Alam semesta mulai terlihat mirip pikiran besar ketimbang mesin besar. –James Jeans (1877-1946), fisikawan.”

(Dikutip dari The Spiritual Brain, Mario Beauregard & Denyse O’Leary, Obor: 2009, hlm. 355.)

Krisnamurti tentang Tuhan

Tanya: Menurut Krishnamurti, adakah Tuhan?
salam hormat pak hudoyo,
>
> lewat internet saya banyak mengetahui kalo pak hudoyo sering membahas
pemikiran-pemikiran J. Krishnamurti. Jujur aja pak sampai saat ini saya
masih belum jelas mengenai pendirian J. Krishnamurti tentang ke-Tuhanan.
singkat saja ya pak. saya ingin mengajukan beberapa pertnyaan antara
lain :
> 1. apakah J. Krishnamurti tidak mempunyai suatu sistem kepercayaan
tertentu atau menganut agama tertentu ?
> 2. Bagaimana pemikiran J. Krishnamurti tentang Ke-Tuhanan ? saya sdah
membaca artikelnya tapi malah bingung sendiri.
> o ya pak hudoyo mungkin bisa menolong memberi saya artikel tentang "100
pertanyaan yang mustahil" dari J. Krishnamurti. kalo mungkin ada dan pak
hudoyo bersedia.
> terima kasih sebelumnya. saya tnggu jawabannya.
>
> wahyudi, di solo.
Salam, Mas Wahyudi,

Ini Mas Wahyudi yang pernah ikut retret MMD di Solo? Kalau tidak salah
Anda tinggal di Yogya, bukan?

Berikut jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Anda:

(1) K tidak mengajarkan sistem kepercayaan/agama apa pun. Mengapa? Karena
yang namanya kepercayaan/agama selalu merupakan produk dari pikiran
(berpikir).
Alihalih ia mengajarkan agar orang mengamati/menyadari gerak-gerik
pikirannya sendiri. Karena pikiran--yang menciptakan kesadaran-aku--itulah
sumber konflik & penderitaan baginya.
Berhentinya pikiran/aku itulah lenyapnya penderitaan.

(2) Kalau Anda bisa menangkap intisari jawaban saya #1, maka Anda bisa
menjawab sendiri pertanyaan Anda #2.
Kalau pikiran berhenti, masih adakah "Tuhan"? Cobalah praktikkan sendiri,
amati pikiran Anda sendiri.

Selanjutnya, bila Anda ingin membaca-baca lebih lanjut tentang ajaran K,
silakan masuk ke Forum Diskusi MMD, http://meditasi-mengenal-diri.ning.com

Bila Anda sudah memahami hakikat yang terkandung dalam jawaban saya #1 dan
#2, maka dengan perenungan sedikit tentu Anda akan memahami pernyataannya
yang terkenal tentang Tuhan:

"Tuhan ada bila aku tidak ada; bila aku ada, Tuhan tidak ada."

PS: Tidak ada buku yang berjudul "100 pertanyaan yang mustahil" dari J.
Krishnamurti. Yang ada BUKU "Pertanyaan yang Mustahil" (The Impossible
Question). Buku itu bisa Anda pesan dari Yayasan Krishnamurti Indonesia.
Alamatnya saya lupa, tapi bisa dicari di internet.

Salam,
Hudoyo

Pesan-Pesan Zen Rinzai

PESAN-PESAN ZEN DARI RINZAI
PESAN-PESAN ZEN DARI RINZAI
(Translation in English by Burton Watson, Paul Reps, and D.T.Suzuki from "The Zen Teachings of Master Lin-Chi"])
Terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Yulden Erwin


1
Para penempuh Jalan, jangan mempertimbangkan Buddha sebagai semacam tujuan terakhir. Di dalam pandanganku Buddha tak lebih seperti lubang pada suatu WC umum. Para Bodhisattva dan Arhat hanya menjadi rantai yang membelenggu orang-orang yang mempercayai mereka. Oleh karena itu, Manjushri mencabut pedangnya, siap untuk membunuh Gautama. Dan Angulimala, dengan sebilah pisau di tangan, mencoba untuk melukai Shakyamuni.


2
Hal yang paling mendesak saat ini adalah kamu harus mencari kenyataan, pemahaman dan persepsi yang benar, baru setelah itu kamu dapat bebas di dunia ini dan tidak dibingungkan oleh para penganut spiritualisme biasa, yang hanya disibukkan dengan hal-hal yang bersifat dangkal. Hal terbaik untuk dilakukan adalah "tidak memiliki obsesi". Namun, jangan pula berusaha untuk "tidak memiliki obsesi". Lantas bagaimana caranya? Biasa-biasa saja, cukuplah menjadi dirimu sendiri. Kamu selama ini selalu cenderung untuk mencari berbagai hal di tempat lain, di luar dirimu sendiri. Kamu selalu mengandalkan orang lain, daripada menggunakan kedua tangan dan kakimu sendiri, dan ini adalah pandangan yang keliru.


3
Kesadaran-Murni dapat memasuki yang biasa, yang suci, yang bersih, yang kotor, yang riil, hingga yang konvensional; tetapi Kesadaran-Murni bukanlah pikiran-pikiranmu tentang "yang riil" atau "yang konvensional," "yang biasa" atau "yang suci." Kesadaran-Murni dapat menaruh label pada semua hal yang konvensional dan yang riil, yang biasa dan yang suci. Tetapi yang konvensional dan yang riil, yang biasa dan yang suci, tidak bisa memberi label pada Kesadaran Murni di dalam diri seseorang. Jika kamu dapat meraih Kesadaran-Murni, maka gunakanlah Kesadaran-Murni itu, tanpa meletakkan label apa pun pada Kesadaran-Murni itu.


4
Ketika para pengikut Zen datang untuk menemuiku, aku memahami mereka dengan sepenuhnya. Bagaimana mungkin aku melakukan hal ini? Hanya sebab persepsiku adalah mandiri -- secara eksternal aku tidak menyerap yang biasa atau yang suci, secara internal aku tidak memikirkan hal yang fundamental. Aku selalu "Terjaga" di semua jalan dan tidak ada lagi keraguan, sehingga aku tak lagi berbuat salah.


5
Enam "kesadaran-pancaindera" yang telah tercerahkan adalah kemampuan untuk memasuki dunia penglihatan tanpa dibingungkan oleh bentuk, untuk memasuki dunia pendengaran tanpa dibingungkan oleh bunyi, untuk memasuki dunia pembauan tanpa dibingungkan oleh bau, untuk memasuki dunia pencecapan tanpa dibingungkan oleh rasa di lidah, untuk masuk dunia perabaan tanpa dibingungkan oleh benda-benda, memasuki dunia pikiran tanpa dibingungkan oleh pemikiran.



6
Cukuplah untuk menjadi mandiri di mana saja kamu berada, dan selalu sadar! Maka situasi apa pun yang muncul tidak bisa mengubah kamu. Sekalipun kamu mempunyai kebiasaan tidak baik, kamu akan secara spontan dibebaskan dari kebiasaan yang tidak baik itu.



7
Jika kamu ingin dapat merasa dan memahami secara obyektif, jangan ijinkan dirimu untuk dibingungkan oleh pendapat atau prasangka orang lain. Lepaskan semua yang kamu anggap sebagai milikmu, baik di dalam maupun di luar dirimu -- lepaskan dirimu dari berbagai agama, tradisi, dan segala hal yang telah dikondisikan oleh masyarakat, dan baru setelah itu kamu akan mencapai pembebasan. Ketika kamu tidak terikat lagi oleh berbagai hal, maka berarti kamu telah bebas dan menjadi mandiri.


8
Ketika aku berkata tidak ada apapun di luar diri, para murid yang tidak memahami aku, menafsirkan hal ini dalam kaitannya semata-mata dengan dunia batin, sehingga mereka duduk diam dan tak melakukan apa-apa. Lalu mereka menganggap bahwa hal itu adalah Zen. Sungguh, ini adalah suatu kekeliruan besar. Jika kamu menganggap keadaan pasif itu sebagai Zen, maka berarti kamu menganggap kemalasan sebagai guru, kamu telah diperbudak oleh kebodohanmu sendiri.


9
Jika kamu mencoba untuk menghayati Zen dengan bergerak, hal itu berarti memasuki keheningan. Jika kamu mencoba untuk menghayati Zen di dalam keheningan, hal itu berarti memasuki gerak. Hal itu seperti seekor ikan yang pergi meninggalkan suatu mata air, mengikuti gerak ombak dan menari dengan bebas. Gerak dan keheningan adalah dua keadaan. Guru Zen, yang tidak tergantung pada apapun, menggunakan dengan bebas baik gerak maupun keheningan.


10
Para pengikut yang buta, sering menyalahartikan Zen. Mereka seperti orang yang memakan batu kerikil, sibuk melakukan Zazen (meditasi duduk) dan berbagai latihan meditasi lainnya, dan selalu sibuk mengendalikan pikiran mereka, takut dengan kebisingan dan begitu gelisah untuk mencari ketenangan. Semua itu bukanlah Zen, sebab mereka terjebak pada bentuk-bentuk luar dan mereka memberinya nama sebagai Zen.


11
Para murid Zen berada di dalam rantai ketika mereka pergi kepada seorang guru, dan guru menambahkan rantai yang lainnya. Para murid dibutakan, tidak mampu untuk membedakan satu hal dari hal lainnya. Ini disebut seorang tamu memperhatikan seorang tamu.


12
Setiap orang yang ingin menempuh Jalan, harus bertekad untuk menemukan Kesadaran-Murni. Ketika Kesadaran-Murni ini ditemukan, maka kamu tidak akan dipengaruhi lagi oleh siklus kelahiran dan kematian. Apakah berjalan atau diam, kamu akan tetap menjadi guru bagi dirimu sendiri. Bahkan ketika kamu tidak berusaha untuk mencapai sesuatu yang luar biasa, hal yang luar biasa itu justru akan datang kepada kamu dengan sendirinya.



13
O Para penempuh Jalan, sejak zaman dahulu, masing-masing pendahuluku mempunyai jalannya sendiri untuk melatih para muridnya. Namun, sesungguhnya, seperti juga jalanku saat ini, Jalan itu hanya satu adanya, yaitu: memandu setiap orang agar tidak tertipu oleh orang lain, hingga mereka bisa menemukan Jati-Diri mereka sendiri. Jadilah "mandiri". Dan teruskan perjalananmu kapan pun kamu menginginkannya: tanpa keraguan.


14
Apakah kamu mengetahui satu jenis penyakit mental yang membuat kamu terhalang untuk mencapai Kesadaran-Murni? Penyakit itu benama "ilusi". Dan ilusi itu timbul ketika kamu tidak punya keyakinan di dalam dirimu. Ketika keyakinan di dalam dirimu berkurang, maka kamu pastikan akan menemukan dirimu diseret oleh orang lain di setiap Jalan. Pada setiap pertemuan dengan seseorang yang kamu anggap sebagai guru, kamu justru akan dikendalikan oleh orang itu dengan berbagai cara. Dan kamu tidak lagi menjadi guru bagi dirimu sendiri.


15
Sesungguhnya segala yang diperlukan hanyalah: segera menghentikan dirimu untuk mencari hal-hal yang eksternal. Ketika hal ini dilaksanakan, maka kamu akan menemukan bahwa Dirimu tidak berbeda dari para Buddha atau Tetua Zen. Tahukah kamu siapa sesungguhnya yang disebut Buddha atau Tetua Zen? Ia adalah tidak lain dari orang yang pada saat ini, duduk di hadapanku, mendengarkan pembicaraanku tentang Dharma. Namun, karena kamu tidak punya keyakinan diri, maka kamu selalu sibuk mencari orang lain di suatu tempat di luar dirimu. Lantas apakah yang akan kautemukan? Tak lain hanya kata-kata dan nama, bagaimana pun sempurnanya. Kau tidak akan pernah mencapai Kesadaran-Murni seperti yang telah dicapai oleh para Buddha atau Tetua Zen.


16
Yakinlah, wahai para penempuh Jalan, jika kamu tidak menemukan Jati-Diri di dalam hidup kali ini, maka kamu akan berulang kali dilahirkan di dalam ketiga dunia, yaitu dunia ketamakan, dunia kemarahan, dan dunia ilusi. Kamu akan "menjadi" sesuai dengan "apa yang kamu pikir". Tetapi, sungguh malang, bila kamu berpikir telah lahir dalam kondisi yang tercerahkan dan bahagia, padahal kamu masih berada dalam ketidaksadaran dan penderitaan.


17
Namun, O para penempuh Jalan, sesungguhnya kamu tidaklah berbeda dari Shakyamuni. Dalam semua aktivitas harian, adakah yang kita rasakan kurang? Padahal dengan sangat indah, cahaya dari enam "kesadaran-pancaindera", tak pernah sedetik pun berhenti terpancar. Jika kamu bisa melihat Jalan ini, maka kamu akan menjadi orang yang "Terjaga", dan tidak ada yang musti kamu cari lagi di dalam sisa hidupmu.


18
O penempuh Jalan yang teguh dalam keyakinan, tidak ada keselamatan di dalam ketiga dunia itu, yaitu: dunia ketamakan, dunia kemarahan, dan dunia ilusi. Ketiga dunia itu seperti suatu rumah yang terbakar. Ketiga dunia itu bukan tempat bagimu untuk hidup abadi! Sifat tidak tahan lama merupakan "hukum" di dalam ketiga dunia itu. Dan kematian akan segera menyerangmu, tidak peduli apakah kamu orang miskin atau kaya, orang muda atau tua.


19
Jika kamu ingin tidak berbeda dari para Buddha dan Tetua Zen, jangan pernah mencari sesuatu di luar dirimu sendiri. Pikiran-Yang-Murni adalah Tubuh-Hakiki-Buddha yang berdiam di dalam dirimu. Pikiran-Yang-Tidak-Memisahkan adalah Tubuh-Karma-Buddha yang ada di dalam dirimu. Pikiran Yang-Tidak-Mendiskriminasi adalah Tubuh-Transformatif-Buddha yang ada di dalam dirimu. Tiga jenis Tubuh-Buddha ini berada dalam dirimu sendiri, orang yang berdiri di hadapanku sekarang dan mendengarkan pengajaran tentang Dharma! Dan hanya jika kamu tidak cepat-cepat mencari sesuatu di luar dirimu sendiri, maka kamu dapat menggunakan ketiga Tubuh-Buddha yang bagus ini.


20
Menurut kitab suci dan berbagai risalah Buddhisme, ketiga Tubuh-Buddha itu merupakan tujuan terakhir dari seorang penempuh Jalan. Tetapi menurutku, ketiga Tubuh-Buddha itu bukanlah tujuan akhir. Ketiga Tubuh-Buddha itu tak lain hanya sekedar konsep.


21
Sebab, wahai para penempuh Jalan, badan fisikmu tersusun dari empat unsur yang tidak mengetahui bagaimana cara mengkhotbahkan Dharma atau mendengarkan Dharma. Perut dan limpamu, empedu dan hatimu, tak mengetahui bagaimana cara mengkhotbahkan Dharma atau mendengarkan Dharma. Ruang yang kosong tidak mengetahui bagaimana cara mengkhotbahkan Dharma atau mendengarkan Dharma. Lantas siapakah yang mengetahui bagaimana cara mengkhotbahkan Dharma atau mendengarkan Dharma? Yang mengetahui itu adalah Jati-Dirimu, Cahaya Yang Tunggal, tanpa bentuk apa pun. Hanya Jati-Dirimu yang mengetahui bagaimana cara mengkhotbahkan Dharma dan mendengarkan Dharma. Jika kamu dapat melihat Jalan ini, kamu tidak berbeda dari para Buddha dan Tetua Zen.


22
Jati-Dirimu itu tidak pernah sekejap pun berpisah darimu. Jati-Dirimu juga ada di mana-mana, segala yang kaulihat adalah Jati-Dirimu. Tetapi ketika yang merasa melihat dan mengetahui itu mulai muncul, maka kebijaksanaan dihalangi. Ketika si peragu dalam pemikiran muncul, maka kenyataan menghilang. Oleh karena itulah kamu selalu dilahirkan kembali berulang-ulang di dalam ketiga dunia dan mengalami bermacam kesengsaraan. Tetapi menurutku, tidak satupun dari kamu yang tidak mampu untuk mencapai pemahaman mendalam ini, tidak satupun dari kamu yang tidak mampu untuk pembebasan.


23
Para pengikut Jalan, apa yang disebut pikiran tidak punya bentuk yang tetap; pikiran menembus semua dari sepuluh arah. Di dalam mata, kita menyebutnya penglihatan; di dalam telinga, kita menyebutnya pendengaran; di dalam hidung, kita menyebutnya penciuman; di dalam mulut, kita menyebutnya pembicaraan; di dalam tangan, kita menyebutnya perabaan; di dalam kaki kita menyebutnya kemampuan untuk berlari. Pada dasarnya pikiran ini merupakan suatu intisari cerdas yang tunggal, tetapi pikiran itu juga membagi dirinya sendiri ke dalam ini enam fungsi. Dan karena pikiran yang tunggal ini tidak punya bentuk yang tetap, maka di mana-mana pikiran ini berada dalam keadaan pembebasan.



24
Seseorang bertanya: "Apakah Setan itu?" Rinzai berkata: "Jika kamu mempunyai keraguan di dalam pikiranmu untuk sekejap saja, itulah Setan. Tetapi jika kamu dapat memahami bahwa sepuluh ribu gejala tidak pernah dilahirkan, bahwa pikiran hanyalah seperti suatu muslihat tukang sihir. Di dalam muslihat pikiran itu, memang tak satu butir debu pun yang ada, tak satu gejala pun yang muncul. Maka, segalanya akan terlihat bersih dan murni, dan segalanya akan menjadi Buddha. Buddha dan Setan hanya mengacu pada dua bentuk keadaan, dari satu 'Keadaan-Murni' yang sama. Menurutku, di dalam 'Keadaan-Murni' itu tidak ada Buddha, tidak ada mahluk hidup, tidak ada masa lalu, tidak ada masa kini. Jika kamu ingin mengalami 'Keadaan-Murni' itu, maka kamu justru tidak akan pernah mengalami 'Keadaan-Murni' itu, karena hal itu berarti kamu memerlukan upaya, dan setiap upaya berarti memerlukan jangka waktu, sedangkan 'Keadaan-Murni' itu mengatasi waktu. Di sana tidak ada praktek religius, tidak ada pencerahan, tidak ada apa pun yang perlu dicapai, dan tidak ada yang akan kehilangan apa pun. Hanya inilah Dharma, tak ada ada yang lain. Jika seseorang mengaku ada suatu Dharma yang lebih tinggi daripada ini, maka aku katakan bahwa hal itu hanyalah suatu mimpi, atau semacam hantu. Semua yang aku harus katakan kepada kamu hanya ini.


25
Para penempuh Jalan, Kesadaran-Murni yang tunggal ini, yang ada di depan mataku sekarang, adalah orang yang saat ini dengan bersahaja mendengarkan aku -- orang yang tidak dirintangi oleh apa pun, tetapi menembus ke sepuluh arah, dan sepenuhnya bebas. Apa pun juga lingkungan yang ia hadapi, dengan keanehan dan perbedaannya, ia tidak bisa digoyang atau ditarik ke kondisi yang serba salah lagi. Lantas di dalam ruang kosong, pada suatu saat tertentu, ia membuat jalannya sendiri ke dalam Realitas-Dharma. Setelah itu, jika ia bertemu seorang Buddha, maka ia khotbahkan hal itu kepada Buddha. Jika ia bertemu seorang Tetua Zen, maka ia khotbahkan hal itu kepada Tetua Zen. Jika ia bertemu seorang Arhat, ia khotbahkan hal itu kepada Arhat. Jika ia bertemu hantu lapar, maka ia khotbahkan hal itu juga kepada hantu lapar. Ia pergi ke mana-mana, mengembara melalui banyak negeri, membagikan pengajaran dan mengubah hidup mahluk, namun tidak pernah menjadi terpisah dari Kesadaran-Murni yang tunggal ini. Tiap-tiap tempat baginya adalah bersih dan murni, pencerahannya menembus ke sepuluh arah, sepuluh ribu gejala baginya hanyalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.



26
Seseorang bertanya: "Apa Tujuan Bodhidharma datang dari barat?" Rinzai berkata: "Jika ia memiliki suatu tujuan, ia bahkan tidak akan pernah mampu menyelamatkan dirinya sendiri!" Penanya berkata: " Jika ia tidak punya tujuan, kemudian bagaimana cara Tetua Zen yang kedua, Hui-Ke, mendapatkan Dharma itu?" Rinzai berkata: "Berupaya artinya tanpa upaya." Penanya berkata: "Jika berupaya artinya tanpa upaya, maka apa maksudmu dengan tidak berupaya?" Rinzai berkata: "Kamu terlihat tidak bisa menghentikan pikiranmu yang selalu bergerak tergesa dan mencari sesuatu yang tak jelas di luar dirimu sendiri. Itulah mengapa seorang Tetua Zen berkata: 'Sungguh sia-sia para pengikut itu -- mereka menggunakan kepala untuk mencari kepala mereka sendiri!' Kamu saat ini harus segera memutar cahayamu yang selalu terarah ke luar agar bersinar menerangi dirimu, yang berarti tidak mencari sesuatu di luar dirimu sendiri. Kemudian kamu akan memahami bahwa di dalam jiwa dan ragamu itu, 'Ada' yang tidak berbeda dari para Tetua Zen dan Buddha, sehingga tidak ada satu pun yang perlu dilakukan lagi. Laksanakan hal itu, baru setelah itu kamu boleh berbicara tentang upaya untuk meraih Dharma."



27
Para penempuh Jalan, tidak ada Buddha untuk dicapai. Seluruh ajaran ini hanyalah obat untuk menyembuhkan penyakit. Dan semuanya tidak mempunyai Realitas.


28
Aku tidak punya ajaran untuk diberikan kepada orang-orang -- Aku hanya mengobati penyakit dan membuka kunci belenggu.


29
Seseorang yang selaras dengan Zen dari saat ke saat tidak pernah mengijinkan gangguan apa pun di dalam pikirannya. Ketika Sang Guru Besar, Bodhidharma, datang dari barat, ia hanya mencari seorang laki-laki yang tidak akan disesatkan oleh segala sesuatu yang lain di luar dirinya. Kemudian Tetua Zen Kedua, Hui-ke, bertemu Bodhidharma, dan setelah ia mendengar satu kalimat dari Bodhidharma, ia pun tercerahkan. Begitulah, untuk pertama kali, ia menyadari bahwa selama ini ia telah disibukkan dengan berbagai usaha yang sia-sia.


30
"Pemahamanku saat ini" adalah "tidak berbeda" dari "Para Tetua Zen dan Buddha". Jika kamu menjadi sadar dengan ungkapan yang pertama, kamu bisa menjadi seorang guru bagi Para Tetua Zen dan Buddha. Jika kamu menjadi sadar dengan ungkapan yang kedua, kamu bisa menjadi seorang guru bagi manusia dan mahluk surgawi. Jika kamu menjadi sadar dengan ungkapan yang ketiga, kamu tidak akan bisa menyelamatkan dirimu sendiri!



KETERANGAN:
Rinzai atau Lin-chi adalah seorang Master Zen yang hidup di Cina dan meninggal pada tahun 867 Masehi. Sebagai seorang Master Zen, metode mengajarnya sangat unik, sehingga Osho -- seorang Master Spiritual dari India pada abad ke-20 -- menjuluki Rinzai sebagai The Master of Irrasional. Gaya mengajarnya tidak lazim seperti guru Zen lain pada masanya, yaitu dengan menggunakan teriakan: "HO!", dengan cekikan, tamparan, bantingan, dan cerita-cerita paradoks yang sekarang dikenal dengan istilah "Koan". Di tangan Rinzai, ajaran Zen berkembang dari sekedar satu sekte dalam Buddhisme menjadi ajaran "Spiritual Universal". Seperti juga para pendahulunya, yaitu Bodhidharma atau Hui-ke atau Hui-neng, Rinzai memang telah mencapai hakikat Zen. Bagi Rinzai apa yang disebut dengan istilah Buddha, Dharma, Kesadaran-Murni, pikiran, aktivitas sehari-hari, dan benda-benda adalah "Satu". Semua itu hanyalah sekedar istilah untuk mengungkapkan satu "Keadaan-Murni" yang saat ini sering disebut sebagai "Tauhid-Universal", atau Kesatuan-Dari-Segala-Sesuatu, atau Keberadaan itu sendiri.

Penderitaan

penderitaan
0:11 [hudoyo] met malam, bu fiona.
maaf, saya agak terlambat, karena komputer saya harus saya reboot.

[fiona] malam pak....
dari tadi saya masuk keluar, soalnya belum ada siapa2
pak, mungkin yang lain tidak tahu malam ini ada chatting loh

[hudoyo] iya, bu fiona, baru tadi sore saya umumkan.

[hudoyo] @biasa: rekan 'biasa', tolong nama asli anda?

[biasa] sy ika sofa pak...slmt mlm
sy br pertama ikut chat, blom tau aturannya, mhn petunjuk...

[hudoyo] oh, met mlm, mbak ika.
"aturannya" ya cuma: jangan sampai melakukan flaming. :)

[fiona] topiknya apa ya pak untuk malam ini?

[hudoyo] belum ada :)
Anda punya topik menarik?

[fiona] tentang penderitaan saja bagaimana?
ttg hidup adalah dhukkha

[hudoyo] ya, silakan kalau mau bicara tentang penderitaan.

[hudoyo] @ika: anda di forum MMD terdaftar dengan nama apa ya?

[biasa] "biasa" pak...
msh newbie pak...br daftar :)

[hudoyo] oh, ya, anda member yang 'terbaru' ya. slamat datang di forum MMD
tahu dari mana ada situs mmd?

[biasa] terima kasih... :) sy friend'nya Bpk d FB... :)

[hudoyo] @ika: apa yang menarik anda untuk jadi friend saya?
...
@fiona: mungkin pertanyaan pertama, apa artinya dukkha?

[fiona] menurut saya ya ini pak... bukan menurut kitab2 suci

[hudoyo] @fiona: setuju sekali. tinggalkan kitab suci dlm pembicaraan di sini. :)

[fiona] dukkha adalah gejolak batin yg terus berubah
perubahan itu dukkha

[hudoyo] mengapa perubahan menghasilkan dukkha?

[fiona] saya merasakan gejolak batin ini yang membuat saya menderita

[hudoyo] ya, coba lebih dalam lagi: mengapa gejolak batin yang anda rasakan membuat anda menderita?

[fiona] gejolak batin yang tidak enak (takut, kecewa, marah, dendam, tidak puas, dst) itu tentu dukkha

[biasa] sy tdk tau dmn menarik'nya, hny berteman sj, dl sy prnh dengar ceramah Bpk d Dps Bali

[hudoyo] ceramah yang di mana? yang di restoran di Renon?

[biasa] iya Pak...

[hudoyo] @fiona: ya tentu emosi-emosi yg anda sebutkan itu tidak enak.
lalu, mengapa anda takut, kecewa, marah dst itu?

[fiona] nah gejolak batin yang enak (nyaman, gembira, senang) kok ya ternyata dukkha, karena setelah beberapa saat saya langsung menyadari bahwa semua kesenangan itu semu.
apalagi jika saya berpikir bahwa kehidupan manusia itu akan menjadi tua, sakit & meninggal

[hudoyo] pertanyaannya sama saja: mengapa timbul emosi yang enak?

[fiona] semua emosi karena bereaksi terhadap faktor2 di luar diri, menanggapi

[hudoyo] bagaimana kalau anda tidak memikirkan itu?

[fiona] itu otomatis lho pak

[hudoyo] jadi, emosi itu reaksi batin? itukah yang menyebabkan dukkha?

[fiona] ya pak

[hudoyo] otomatis karena tidak disadari.

[fiona] benar juga sih pak

[hudoyo] @ika: anda tidak tertarik untuk mencoba retret mmd di singaraja?

[biasa] skrg sy tinggal di yogya pak...

[hudoyo] @fiona: segala sesuatu berubah, berakhir. Apakah fakta itu yang menyebabkan dukkha?

[fiona] ya betul pak

[hudoyo] @ika: oh, anda pindah ke yogya. belajar?

[biasa] tdk pak, sy sdh menikah dan hidup dg suami

[hudoyo] oh, ya, sudah punya momongan?

[biasa] blm pak...

[hudoyo] mbak ika pernah ngobrol soal meditasi dengan suami?

[hudoyo] @fiona: jadi kalau begitu, selama kita hidup, karena segala sesuatu berubah, kita tidak akan pernah bebas dari dukkha?

[fiona] segala sesuatu pasti berubah... saya tahu jika batin ini diam, tidak ada gejolak yg timbul krn perubahan itu
itulah yang disebut "bukan dukkha"
tapi itupun sementara

[hudoyo] fakta bahwa segala sesuatu berubah, apakah itu yang membuat kita menderita?
lupakan dulu 'bukan dukkha' itu.

[fiona] iya betul pak
segala yang berubah, itulah sumber penderitaan saya

[hudoyo] apa iya? apa anda tidak melompat?
anda melihat segala sesuatu berubah. mengapa anda menderita melihat itu?

[fiona] terutama kalo hal2 yang saya senangi, berubah menjadi yang tidak saya senangi

[biasa] sy sendiri msh awam dgn meditasi kok pak...

[hudoyo] @ika: di mendut, tidak jauh dari yogya, ada sebuah vihara tempat retret MMD 4x setahun. pernah berkunjung ke sana?

[biasa] belum pak.. :)

[hudoyo] @ika: sekali2 main ke borobudur, lalu mampir melihat2 ke vihara mendut.

[biasa] smoga ada kesempatan pak...

[hudoyo] @fiona: masalahnya msh belum terjawab: mengapa kalau melihat hal2 yang disenangi berubah menjadi tidak disenangi menyebabkan penderitaan?
mengapa kita menyenangi sesuatu & tidak menyenangi yang lain?

[fiona] berarti saya berharap tidak ada perubahan

[hudoyo] ya, anda berharap tidak ada perubahan. apakah harapan yang tidak tercapai itu penyebab penderitaan?

[fiona] ya pak

[hudoyo] mengapa ada harapan agar tidak ada perubahan?
apakah karena anda menyenangi sesuatu yang anda harapkan tidak berubah?

[fiona] ya tentu saja pak

[hudoyo] jadi bisakah dikatakan, bahwa saya melekat pada sesuatu (fakta atau cita-cita)?

[fiona] tentu saja
sudah pasti itu kemelekatan

[hudoyo] nah, bukankah kelekatan itu sebab dari penderitaan?
artinya, kalau anda tidak melekat, anda tidak menderita, sekalipun segala sesuatu berubah.

[fiona] tentu saja :)

[hudoyo] itulah Kebenaran Kedua yang diajarkan Sang Buddha: Sebab Musabab Penderitaan adalah Kelekatan!

[fiona] ya pak :)

[hudoyo] Dari situ, gampang saja: Kebenaran Ketiga, bila kelekatan berakhir, penderitaan juga berakhir.
...
Sekarang, bagaimana caranya supaya tidak melekat?

[fiona] tapi mungkinkah saat kita menjalani kehidupan sebagai umat awam, kita tidak memiliki kemelekatan thd apapun?
saya melekat bahkan dgn mobil saya lho pak, pdhl itu benda mati

[hudoyo] Mungkin atau tidak tergantung pada kita masing-masing.
Yang penting sadari saja: kemelekatan adalah sumber penderitaan.
Mau melekat, silakan, pasti ada konsekuensinya.
tidak mungkin orang melekat tanpa menderita.
Kembali pertanyaannya: seandainya Anda tidak ingin melekat, bagaimana caranya?

[fiona] ya, bagaimana caranya pak? apalagi dlm menjalani kehidupan sehari2 sbg orang biasa ini
saya terinspirasi dgn kehidupan K

[hudoyo] Ngomong-ngomong, hidup sebagai bhikkhu pun tidak berarti bebas dari kelekatan lho. :)
sebagai orang awam atau sebagai rahib (bhikkhu) sama saja.

[fiona] bhikkhu jaman skrg kemelekatannya banyak pak
kpd handphone, laptop, viharanya, rekening bank nya, dst

[hudoyo] hehe ... betul, iming-iming punya account pribadi di bank.
sama saja dengan kita-kita.

[fiona] maka jadi bhikhhu byk kamuflase, saya menyebutnya hipokrisi terbesar abad ini

[hudoyo] bukan hanya di abad ini, melainkan sepanjang masa.
kembali pertanyaannya: bagaimana caranya supaya tidak melekat?

[fiona] ya bagaimana pak?
saya terus terang ingin mencoba hidup seperti K

[hudoyo] coba direnungkan, bagaimana caranya supaya tidak melekat?

[fiona] saya benar2 ingin mencoba, saya sedang memikirkan caranya
kalo tidak melekat total, saya belum tahu caranya
tapi kalo tidak melekat sedikit2... ini yang saya lakukan
saya tidak menimbun barang2 pak, tidak baju/sepatu/buku/atau apapun

[hudoyo] apa ada yang disebut "tidak melekat sedikit2"?

[fiona] begitu barang saya agak banyak, saya berikan orang lain
saya hidup dgn apa yg saya butuhkan saja

[hudoyo] o ya, bagus itu :)

[fiona] itu yang say sebut tidak melekat sedikit2
tapi saya masih melekat dgn keluarga, kakak2 saya

[hudoyo] 'tidk melekat' itu soal sikap batin, bukan tergantung pada banyaknya barang yang dimiliki.

[fiona] ya benar itu pak, tetapi tetap saja masih ada kemelekatan

[hudoyo] jadi, bagaimana caranya menghilangkan kemelekatan itu? Apakah kemelekatan itu bisa dilawan?

[fiona] saya ingin tahu, bgmn agar tidak melekat total?

[hudoyo] "keinginan untuk tidak melekat", apakah itu tidak menjadi kemelekatan baru?

[fiona] kemelekatan hanya bisa hilang dgn dipahami bhw itu menimbulkan penderitaan
maka tidak bisa dilawan, dibenci, ingin dihilangkan

[hudoyo] bukan dipahami "bahwa itu menimbulkan penderitaan"
kalau begitu anda ingin melawan kemelekatan itu untuk mencapai cita-cita bebas dari penderitaan.

[fiona] jadi bagaimana pak?
tidak mau melawan... karena seperti pikiran ini, kalo dilawan ngga bisa berhenti malah menjadi2
kalo pikiran, disadari langsung melemah

[hudoyo] lihat saja kemelekatan itu seperti apa adanya, tanpa mengharapkan ia akan lenyap.

[fiona] apakah nantinya ia akan lenyap?

[hudoyo] tidak tahu.
tapi lihat kelekatan itu berubah objeknya terus-menerus.
semakin lama semakin halus.
itu saja yang disadari.

[fiona] ya pak

[hudoyo] apakah bisa lenyap atau tidak, itu pikiran lagi, yang menimbulkan kelekatan baru.

[fiona] seringkali saya merasa hidup ini melelahkan :)
dgn begitu banyaknya kemelekatan

[hudoyo] jadi, tidak ada jalan atau metode untuk melenyapkan kelekatan.

[fiona] ya pak, understood

[hudoyo] setiap jalan--seperti jalan mulia berunsur delapan dalam buddhisme--hanya akan menimbulkan kelekatan baru.
itulah sikap meditatif ... yang berbeda dari sikap orang beragama.

[Raharja] selamat malam semua

[hudoyo] met mlm, Mas Raharja.

[Raharja] topiknya tentang kemelakatan ya?

[hudoyo] tentang penderitaan.

[Meyliana] malam semuanya..

[Raharja] oh maaf saya baru masuk, jadi asal tebak

[hudoyo] met mlm mbak mey.

[Meyliana] romo.. penderitaan batin ketika pikiran bergerak..?

[hudoyo] tadi sudah dibahas: mengapa pikiran bergerak menyebabkan penderitaan?

[Meyliana] yap.. hehe.. baru nyimak romo..

[hudoyo] ada apa di dalam pikiran yang bergerak itu, sampai menimbulkan penderitaan?
bukankah karena ada aku, dan aku itu melekat?
bukankah kelekatan itulah sebab penderitaan?

[Meyliana] iya romo, kadang kalau udh melekat, menimbulkan rasa sakit di dalam atau mata yg pedih.. hehe..

[fiona] pak, 8 jalan mulia itu benarkah dibabarkan oleh Sang Buddha? Beliau tercerahkan, pasti memahami bahwa jalan apapun akan menimbulkan kelekatan... K bilang Truth is a pathless land

[hudoyo] aku atau pikiran itu SELALU melekat, sedikit atau banyak.

[fiona] Jadi saya kini meragukan.... mungkin saja 8 jalan mulia itu adalah buatan bhikkhu2 setelah jaman Sang Buddha... merupakan kesimpulan2

[Meyliana] iya, kadang merasa hidup di dalam pikiran.. mendengarkan pikiran yg berkomentar..

[hudoyo] saya tidak tahu lagi apa sebenarnya yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Sang Buddha pernah berkata kepada seorang bhikkhu senior (Anuradha): "Dari dulu sampai sekarang hanya inilah yang kuajarkan: Dukkha dan Lenyapnya Dukkha."

[fiona] ha ha... sama pak, saya juga jadi gak tahu lagi
karena ternyata semua dokumen tertulis ttg Sang Buddha itu ditulis beberapa ratus tahun setelah Sang Buddha wafat
jadi mestinya adalah hasil kesimpulan2 saja... pasti ada unsur spekulasinya

[hudoyo] Itulah. Lalu ketika itu ditulis, agama buddha sudah terpecah menjadi Mahayana dan Theravada.
Yang Theravada mengajarkan pluralisme dhamma-dhamma (Abhidhamma), yang Mahayana mengajarkan kekosongan (Sunyata).
Saya melihat, seolah-olah ada dialog antara Theravada & Mahayana dalam perjalanan sejarah keduanya.

[fiona] dialog bagaimana pak?

[hudoyo] Ya itu tadi, antara pluralisme dan mistisisme.
Yang sesungguhnya ada itu apa?
Kebenaran itu bukan lagi mempunyai satu corak, melainkan terletak di balik dialog tadi.

[Raharja] Mohon pamit, saya mau mengerjakan sesuatu, selamat malam semua.

[hudoyo] met malam, Mas Raharja.

[fiona] bearti masing2 memiliki versi kebenaran sendiri? lalu yang mana yang kebenaran sesungguhnya?

[hudoyo] kebenaran yang sesungguhnya tidak bisa dirumuskan oleh pikiran dengan kata-kata.
pikiran / aku harus diam agar kebenaran sesungguhnya bisa muncul.
Kembali kepada tadi: Sang Buddha hanya mengajarkan dukkha dan lenyapnya dukkha.
Bagi seorang praktisi vipassana, dua hal itu sebetulnya SATU.
Begitu orang melihat dukkha secara otentik (bukan hafalan), di situ sekaligus orang melihat sebab-musabab dukkha, dan sekaligus pula dukkha itu lenyap!

[Meyliana] ketika pikiran berhenti.. tdk ada perbedaan, tapi ketika pikiran udh mulai melekat, jadi gusar.. hehe.. itu yg sering saya alami romo, hidup di dalam pikiran..

[hudoyo] hidup di dalam pikiran tentu ada yang menyenangkan ... kalau tidak orang tidak mau hidup di situ.
hal-hal yang menyenangkan itu menutupi kenyataan dukkha yang sesungguhnya.

[Meyliana] apakah begitu romo..? tapi kok tdk ada rasa senang, yg ada mata yg sakit, kalau udh pikiran berkomentar buruk. hehe..

[hudoyo] yang menyenangkan itu adalah 'aku', yang merasa 'mengerti', merasa 'menguasai' dan 'mengendalikan' hidupnya.
karena ada pikiran.
yang anda alami itu mungkin situasi yang ekstrem saja.

[fiona] saya sering luluh lantak oleh karena pikiran... jadi lelah sendiri... bisakah hidup tanpa berpkir pak?

[hudoyo] dalam keadaan normal, berpikir itu memberi kepuasan kepada aku.

[fiona] bisakah survive? mempertahankan hidup tanpa berpikir?

[hudoyo] amati saja pikiran itu. anda mau lari dari situ.

[Sudrijanta] Ikutan nimbrung.

[hudoyo] met malam, romo sudri.

[Meyliana] malam romo sudri..

[Sudrijanta] Malem pak hud dan mbak mey dan semua.
Saya belajar menempatkan pikiran pada tempanya yang benar.

[fiona] met malam semuanya :)

[hudoyo] romo sudri, bisa dibabarkan lebih lanjut?

[Sudrijanta] Tempatnya yang benar bagi pikiran adalah untuk menggerakkan survival diri. Tapi pikiran tidak bisa membuat kita melampaui diri, mentransendir diri, atau apalah namanya.

[fiona] oh ya saya rasa saya mengerti...

[Meyliana] ..?

[Sudrijanta] Ketika pikiran sudah melenceng dari temptnya, di situ ada kekacauan.Bukankah begitu?

[Meyliana] yap..

[fiona] pikiran hanya bisa digunakan untuk melangsungkan hidup... tetapi tidak untuk mencapai pencerahan, begitu?

[hudoyo] @sudri: ya betul.
...
saya teringat akan kisah adam & hawa di taman firdaus.
ketika bersama allah adam & hawa tidak perlu berpikir.
tapi setelah makan buah dari pohon "pengetahuan yang baik & buruk" barulah mereka berpikir.

[Meyliana] ooo..hehe..

[hudoyo] muncul dualitas, dualisme, yang perlu untuk survive.
survive di luar taman firdaus.
tapi pengetahuan yang baik & buruk itu tidak bisa memberikan "kehidupan kekal".
ada satu pohon lagi di taman firdaus itu yang buahnya belum sempat dimakan oleh adam & hawa.
mereka keburu terusir dari taman firdaus.
namanya "pohon kehidupan yang kekal".
pohon itu sekarang dijaga oleh malaikat dengan pedang berapi.
nah, apa maknanya alegori itu ya, romo sudri? :)

[Sudrijanta] Barangkali ketika adam dan hawa sudah tuntas menanggalkan pikiran dualistik itu, mereka boleh makan buah di taman firdaus kembali ya.
Kita ini seperti adam dan hawa. Maunya mengejar keabadian, kepastian, keamanan, kekekalan, pencerahan, penyelamatan, dst.
Padahal segala sesuatu yang kita kenal ini tidak ada yang pasti.
Jadi malah terdepak keluar dari taman firdaus.

[fiona] romo sudri, melayani gereja di mana romo? di jakarta?

[Sudrijanta] saya tinggal di duren sawit.

[hudoyo] lihat tulisan2 romo sudri ttg meditasi di website gereja santa ana, klender.
...
Saya sedang asyik membaca tentang "pohon kehidupan yang kekal" di wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Tree_of_Life_(Judeo-Christian)

[Sudrijanta] Apa menariknya pak hud?

[hudoyo] ya itu tadi: ada satu pohon yang belum sempat dimakan oleh adam & hawa dan sekrang dijaga oleh malaikat dengan pedang berapi.
mitologi sangat tepat untuk mengkomunikasikan kebenaran2 transendental yang tidak bisa dipahami oleh pikiran secara sebab-akibat linier.

[fiona] di mana saya bisa baca tulisan2 romo? ada link nya?

[hudoyo] @fiona: cari website gereja santa ana, klender.

[Sudrijanta] MMD diserang lagi ya pak hud?

[hudoyo] wah, rame, romo. tapi untung ada orang kirim sms kepada bhante pannyavaro tentang mmd

[Sudrijanta] Iya, saya baca itu.

[hudoyo] jawaban bhante singkat: "Umat Buddha sering kaget ketika mendengar seorang master Zen berkata; "Kalau bertemu Buddha, bunuh Buddha."

[fiona] MMD diserang orang2 yang tidak mengerti, romo... mereka bicara di atas dasar ketidakmengertian... jadi semua itu menurut saya pepesan kosong

[hudoyo] "Apalagi yang pemula" - begitu secara spesifik dinyatakan oleh bhante.

[Meyliana] Romo hudoyo.. semangat ya romo...hehe..

[hudoyo] maka ramailah perbincangan di facebook & milis2 buddhis tentang itu.

[Sudrijanta] Tidak mengerti tapi merasa mengerti ya.

[hudoyo] tetapi tidak apa, biasanya keadaan seperti ini tidak berlangsung lama, paling lama seminggu.

[Sudrijanta] Itu tadi, pikiran mau menjangkau sesuatu yang tidak akan pernah bisa ditangkap dengan pikiran.Jadi bingung sendiri dan marah-marah ya.

[fiona] itulah... pusing juga menanggapi orang tidak mengerti, dijelaskan juga sulit kan

[hudoyo] hehe .. mngkin seperti perdebatan antara gereja formal dan penganut teologi apofatik (teologi negatif). :)

[Sudrijanta] Ya begitulah.

[Meyliana] salut ama romo hudoyo..biar diserang tapi tetap sabar..hehe

[hudoyo] yang merasa mempunyai vested interest (kepentingannya) yang terancam tentu marah2
yang merasa terancam itu menempatkan kebenarannya yang terdalam di dalam konsep-konsep pikiran yang diruntuhkan oleh mmd. :)

[Meyliana] yap..hehe..

[hudoyo] jadinya ya marah2.

[fiona] takut pulsa hp nya gak ada yang beliin lagi? ha ha :D

[hudoyo] padahal semua yang ada dalam mmd itu diajarkan sendiri oleh sang buddha.

[Meyliana] mbak fiona bs aja..hehe..

[fiona] abis pulsa hp nya pada mahal2 lho, bersaing dgn businessmen....

[Sudrijanta] Memang agama terkait erat dengan uang dan kekuasaan.
Tapi juga banyak sisipan kepentingan organisasi agama ya?

[hudoyo] menariknya tipitaka (kitab suci) buddhis itu, di dalamnya tercantum khotbah-khotbah mistikal yang MENGINGKARI DIRINYA SENDIRI.
bukan hanya khotbah mistikal, tetapi juga suatu pola sadar yang mengingkari dirinya dan bersifat universal: VIPASSANA.

[Meyliana] @ romo hudoyo : romo pernah ketmu n bicara dgn Bhante Uttamo? klu menurut bhante, bgma mengenai MMD..?

[fiona] berarti ada kontradiksi? di kitab yang mana, pak hud? pengen baca

[hudoyo] Dalam Mulapariyaya-sutta & Bahiya-sutta di satu pihak vs Maha-satipatthana-sutta di lain pihak. Sutta terakhir itu dipakai sebagai rujukan oleh hampir semua versi vipassana tradisional.
...
@mey: tidak pernah.
...
@sudri: sudah tentu, dalam perjalanan berabad-abad dihafalkan dan diturunkan dari mulut ke mulut, itu pasti terjadi.

[fiona] bukankah milis bhante uttamo yg juga keras thd MMD? Samaggiphala?

[Meyliana] oo, sy baru tau..
apa bhante juga keras terhadap MMD ya..? hehe jd bertanya..

[fiona] ndak tau, harus tanya ybs sendiri

[Meyliana] hehe..iya..

[hudoyo] @fiona: milis samaggiphala bersikap netral. Semua tulisan saya masuk ke sana, kecuali chat seperti ini.

[fiona] ooh oke pak

[hudoyo] Contoh konkrit: ada satu bagian yang katanya "ucapan Sang Buddha": "Hanya di dalam ajaran yang mengandung Jalan Mulia Berunsur Delapan (JMB8) terdapat kebebasan. Ajaran guru2 lain tidak mengandung JMB8, jadi di situ tidak ada kebebasan. ...
Hanya di dalam ajaranku terdapat JMB8, jadi hanya di situ terdapat kebebasan."
Saya sama sekali tidak percaya itu datang dari mulut Sang Buddha.
Pasti itu disisipkan oleh bhikkhu2 penghafal Tipitaka belakangan yang maksudnya sih ingin menjunjung tinggi Sang Guru, tapi keblinger.

[Meyliana] oo..
ternyata suta2 ada yg bukan dari mulut sang buddha..

[hudoyo] Ok deh, romo sudri & teman2, ini sdh setengah sebelas. saya sudah cukup capek. mohon pamit dulu.
trima kasih atas chatnya. sampai lain kali. silakan dilanjut chatnya. besok saya baca kembali.

[Meyliana] dulu SD, theravada, SMA aliran tao, jd baru mengenal lagi ajaran theravada..
...
ya.. malam romo hudoyo.. be happy..

[hudoyo] bye.

[Sudrijanta] Baik pak hud. Selamat istirahat...

[fiona] menurut saya spekulasinya sangat tinggi bhw sutta2 itu akurat, bhw khotbah Sang Buddha 100% spt itu, kan ditulis 100 thn setelah Sang Buddha wafat... yg nulis gak kenal

[Tambahan Hudoyo: Tipitaka Pali ditulis bukan 100 tahun, melainkan empat ratus tahun setelah Sang Buddha wafat.]

[fiona] saya juga mohon pamit...

[Meyliana] betul juga.. mungkin kalau dialiran tao lebih bingung lagi malah tdk ada kitab2nya..soale kalau ada pake bhs mandarin..

[fiona] met malam, romo sudri & teman2 lain... makasih byk

[Meyliana] oke mbak fiona..bye..
romo sudri, mau nanya..

[Sudrijanta] Ok mbak fiona...
@Mey: Nanya apa ya...

[Meyliana] romo, udh pernah ngajak teman yg beragama kristen pantekosta untuk meditasi..?
kalau udh cara pertama ngajaknya bgmana..? hehe .. soale ada tmn yg mau diajak..

[Sudrijanta] Teman itu tertarik dengan meditasi kah?

[Meyliana] katanya dulu udh pernah coba tapi nda dapat hasil apa2, malahan dia bilang kalau meditasi itu termasuk ajaran yg sesat.. dia percaya pada pendeta yg dulunya adalah dukun.., yg ada bukunya itu lho romo..?
sampe2 buku berseri itu dia koleksi.
tapi dia ada pernah bilang kalau hidup ini menderita dlm arti harus menghadapi kebosanan dan pikiran dualistik.

[Sudrijanta] Memang istilah meditasi sudah jadi kata yang kotor.
Kalau saya biasanya bicara mulai dari hal-hal konkrit yang kita rasakan atau pikirkan. Misalnya soal kegelisahan, konflik, takut, senang, dst.

[Meyliana] lalu..?

[Sudrijanta] Ketika itu diurai secara meditatif orang bisa tertarik.
Ada seorang ibu (56 th) mengalami kesedihan. Lalu saya ajak mengurai bersama apa itu kesedihan dan akhirnya sampai pada titik kesadaran bahwa kesedihan itu bukan milik anda, bukan milik saya.
Seketika itu juga orang itu sembuh dari rasa sedih yang diderita berhari-hari.

[Meyliana] yap. mengerti romo..hehe..trims romo..
tapi berat juga romo, teman sy udh benar2 percaya dgn jalan tuhan yg tertera di alkitab..

[Sudrijanta] Apakah topik kepercayaan itu sendiri tidakbisa dijadikan bahan penyelidikan bersama?
Wah itu topik menantang.
Saya minta pamit ya. Mau cari makan untuk mengganjal perut. Hehe.. Trimakasih untuk dialognya. Bye..

[Meyliana] sy ini termasuk orang yg lelet romo, hehe.. jd ya.. kurang begitu pandai untuk berdiskusi.. jadi bingung kalau diajak berdiskusi

22:48 [Meyliana] ok.. malam romo sudri..be happy..

Wejangan Meditasi Sri Panyavaro

HANYA MENYADARI SAJA, TIDAK MEMADAMKAN

Dr. Hudoyo, pembimbing meditasi,
Para Ibu, Bapak, Saudara peserta meditasi pada akhir tahun 2008 ini,
Sebagai Kepala Vihara Mendut, saya mengucapkan selamat datang kepada para peserta. Bagi para peserta yang sudah beberapa kali mengikuti meditasi di vihara ini, tentu ini selamat datang untuk yang kesekian kalinya. Bagi Ibu, Bapak & Saudara yang baru pertama kali mengikuti meditasi ini, tentu selamat datang yang pertama bagi Ibu, Bapak, Saudara. Selamat datang di Vihara Mendut untuk mengenal meditasi dan sekaligus melatih meditasi.
Para Ibu, Bapak, Saudara,
Semua orang tentu menginginkan hidup bahagia. Kebahagiaan menjadi obsesi, menjadi tujuan hampir semua orang, apa pun agama, kepercayaan, tradisi, atau adat-istiadat mereka. Kemudian, tiap-tiap orang berusaha untuk membuat rincian, meskipun mungkin tidak mendetail, gambaran tentang apakah bahagia yang mereka inginkan? Seperti apakah kebahagiaan itu?
Ibu, Bapak & Saudara,
Cita-cita atau harapan kebahagiaan itu kemudian diusahakan untuk dicapainya. Lalu, harapan atau keinginan untuk bahagia itu menumbuhkan keinginan-keinginan lain yang sangat banyak. Mengapa keinginan-keinginan lain tumbuh sangat banyak? Keinginan-keinginan itu tumbuh seiring dengan tumbuhnya segala usaha yang dilakukan untuk mencapai hidup bahagia.
Apa yang menjadi fenomena, apa yang menjadi gejala kemudian? Sesungguhnya, yang terjadi kemudian adalah ketidakbahagiaan. Mengapa? Karena keinginan atau harapan untuk bahagia itu justru membuahkan penderitaan. Harapan menimbulkan kegelisahan, harapan menimbulkan kekhawatiran, harapan membuat seseorang, kita semua, waswas, dan kalau tidak terpenuhi, kecewa.
“Tetapi, Bhante,” ada yang menanyakan, “kalau keinginan atau harapan itu terpenuhi, bukankah kita bahagia?”—Ya, kita bahagia sebentar, karena tidak ada bahagia yang abadi. Dan kalau bahagia sebentar itu lenyap, maka timbullah ketagihan, kecanduan, keinginan yang lebih berkobar-kobar.
Sesungguhnya, Ibu, Bapak & Saudara, kebahagiaan yang benar, dan “kebahagiaan” ini harus ditulis dengan tanda petik, tidak dicapai dengan keinginan. Kebahagiaan yang benar justru akan tumbuh—begitulah bahasa yang boleh kita pakai—kalau keinginan dikurangi. Bukan dengan menambah keinginan lalu tercapai, itulah kebahagiaan. Bukan! Tetapi dengan berkurangnya keinginan, lenyapnya keinginan, justru itulah kebahagiaan yang benar.
“Apakah mungkin, Bhante, melenyapkan keinginan, membuang keinginan selama kita hidup di masyarakat, baik sebagai bhikkhu, rohaniwan ataupun sebagai perumah tangga?”—Memang sulit, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita hanya selektif, menyeleksi keinginan. Mengapa? Karena kalau keinginan bertambah, maka masalah pun bertambah. Kalau masalah bertambah, penderitaan juga bertambah. Ini bukan dalil agama, Ibu, Bapak & Saudara, ini adalah hukum alam. Kalau Ibu, Bapak & Saudara menambah keinginan, menambah harapan, maka waswas bertambah, gelisah bertambah, kekhawatiran bertambah, kekecewaan bertambah, penderitaan bertambah. Tetapi kalau keinginan dikurangi, maka masalah juga akan berkurang. Kalau masalah berkurang, ketegangan juga berkurang. kekhawatiran berkurang, penderitaan berkurang.
Tetapi, Ibu, Bapak & Saudara, selama Ibu, Bapak & Saudara tujuh hari mengikuti meditasi di vihara ini—meditasi yang kita kenal dengan nama Meditasi Mengenal Diri, atau boleh juga disebut meditasi Vipassana, atau hanya meditasi saja, karena nama tidaklah penting—Ibu, Bapak & Saudara bisa berlatih dan mengalami, untuk membuang hampir semua keinginan. Tidak perlu memikirkan besok masak apa, apa yang harus disiapkan, apa yang harus dikerjakan, karena semua sudah disiapkan oleh vihara ini, sederhana sudah tentu, sesuai dengan kemampuan kami, untuk membantu agar Ibu, Bapak & Saudara mempunyai latihan dan mengalami kondisi atau dimensi membuang keinginan secara maksimal. Tentu masih ada keinginan, tetapi keinginan itu keinginan yang fungsional, seperti ingin ke belakang, ingin melangkahkan kaki, makan pagi sebagai kebutuhan untuk kelangsungan fisik kehidupan ini, makan siang, berbaring—keinginan-keinginan fungsional yang sangat terbatas. Keinginan yang lain ditiadakan.
Tetapi apakah mudah? Tidak. Meskipun Ibu, Bapak & Saudara, dan kita sudah bersepakat, bahwa selama tujuh hari ini kita tidak ingin mempunyai keinginan apa-apa; keinginan yang ada hanya sesedikit mungkin, keinginan-keinginan fungsional sehari-hari. Meskipun sudah disepakati seperti itu, keinginan itu tetap muncul saja, mengganggu pemikiran kita. Bahkan mungkin semakin hebat, semakin hebat; apalagi bagi Ibu, Bapak & Saudara yang belum pernah melatih meditasi, dan kali ini adalah kali yang pertama, dengan waktu yang cukup panjang, tidak hanya Jumat, Sabtu, Minggu, melainkan satu minggu.
Lalu, bagaimana cara kita untuk membuang keinginan itu? Cara membuang keinginan bukan dengan sederhana berucap, “Aku tidak ingin punya keinginan.” Dalam bahasa kasar, “Lho, mengapa masih muncul saja keinginan? Bukankah aku sudah sepakat untuk tidak mau punya keinginan?”—Biar, Ibu, Bapak & Saudara, biar. Tidak usah marah, tidak usah merasa tidak berhasil. Tidak usah menyalahkan diri sendiri, mengapa keinginanku masih saja berkobar-kobar, tidak bisa dibuang; dikurangi saja tidak bisa. Tidak usah marah, tidak usah menyalahkan diri sendiri, tidak usah kecewa. Keinginan yang muncul itu juga tidak usah dipadamkan. Dalam bahasa sehari-hari, “Lho, mengapa tidak dipadamkan? Tadi di depan dijelaskan, keinginan harus dikurangi, dibuang sampai maksimal. Sekarang kalau keinginan muncul mengapa tidak boleh dipadamkan?”—Kalau Ibu, Bapak & Saudara berusaha untuk memadamkan keinginan itu, maka ributlah pikiran ini. Keinginan yang muncul dilawan dengan keinginan untuk tidak mau punya keinginan. Maka keinginan perang melawan keinginan. Pusinglah, ramailah pikiran kita.
Meditasi hanya mengamat-amati saja, menyadari kalau keinginan muncul, keinginan ini keinginan itu, ingatan ini ingatan itu, mau seperti ini mau seperti itu. Tugas kita bermeditasi hanya menyadari saja; tidak memadamkan, tidak menggempur, tidak menganalisis dari mana datangnya, tidak merentang-rentang apakah ini wahyu, apakah ini vision, tidak. Kita hanya menyadari saja, menyadari dengan pasif, menyadari dengan pasif. Nanti keinginan-keinginan itu padam sendiri. Padam bukan dengan keinginan untuk dipadamkan, hanya disadari, disadari, disadari saja.
Itulah secara garis besar latihan Ibu, Bapak & Saudara selama seminggu ini. Tidak perlu doa, tidak perlu meminta-minta, tidak perlu mengharap berkah dari siapa pun, tidak ada ritual-ritual, upacara-upacara yang harus ditaati. Tetapi sadarilah pikiran, perasaan, jasmani; jasmani, perasaan, pikiran. Guru-guru meditasi sering menjelaskan, mukjizat itu bukannya kalau kita bisa terbang, mukjizat itu bukannya kalau kita bisa melihat makhluk-makhluk halus, mukjizat itu bukan pula pada saat kita duduk bermeditasi mengalami yang aneh-aneh; tetapi mukjizat itu pada waktu kita berjalan kita menyadari langkah kaki kita yang menempel di bumi ini; itulah mukjizat, kalau hal itu boleh disebut mukjizat. Mukjizat bukannya mampu membaca pikiran orang, melihat makhluk halus, pergi ke alam lain, melainkan mampu menyadari timbulnya pikiran sendiri apa pun juga, mampu menyadari timbulnya perasaan sendiri apa pun juga.
Oleh karena itu, di dalam meditasi ini semua menjadi objek: pikiran yang disebut baik, tidak baik, pikiran bagus, pikiran luhur, pikiran bersalah, pikiran jorok, ingatan masa lalu, kenangan yang pahit, kenangan yang manis, khayalan, rencana segala macam, semuanya mempunyai fungsi yang sama: diperhatikan. Pikiran yang baik juga diperhatikan, pikiran yang buruk juga diperhatikan.
Dan tidak usah dinilai: ini baik, ini buruk. Perasaan senang yang timbul juga diperhatikan, perasaan tidak senang yang timbul juga diperhatikan; perasaan sedih diperhatikan, perasaan gembira juga diperhatikan, tidak dicegah, tidak dibesar-besarkan. Dan tidak usah diberi nama: “O, ini senang; o, ini tidak senang.” Untuk menjelaskan, memang, saya menggunakan kalimat: “Perasaan senang diperhatikan, perasaan tidak senang diperhatikan.” Tetapi di dalam praktik, sadari saja. Tidak usah diberi label, diberi nama: “O, ini senang, ini tidak senang.” Karena kalau kita memberikan nama, nanti kekuatan senang menjadi lebih besar, kekuatan tidak senang menjadi lebih besar. Kita lebih serakah pada yang menyenangkan, kita lebih benci pada yang tidak menyenangkan, karena konsep senang dan tidak senang dipertajam dalam meditasi dengan memberikan label, “O, ini senang, ini tidak senang.”
Jadi, kalau ada perasaan yang mengganggu, disadari saja, “O, perasaan begini,” sudah cukup. “O, pikiran muncul; o, pikiran muncul,” cukup. Di dalam penjelasan-penjelasan bahkan dikatakan, dalam meditasi yang sering dikenal dengan sebutan vipassana ini, pada tingkat-tingkat tertentu di dalam teori dikatakan akan timbullah yang disebut nyana, pengetahuan bukan dari hasil pemikiran intelektual, bukan dari hasil berfikir, tetapi hasil meditasi. Pengetahuan hasil meditasi itu pun juga kotoran batin yang halus, vipassana-upakilesa. Jadi, apa fungsi kita? Fungsi kita hanya menyadari saja, menyadari, pasif, menyadari, pasif. Tidak menjadi kebanggaan, tidak menjadikannya sesuatu yang sangat luar biasa. karena kalau dikelompokkan pengetahuan yang muncul dari meditasi itu juga kelompok kotoran batin yang halus. Jadi diperhatikan saja.
Dengan memperhatikan, memperhatikan, memperhatikan, maka keinginan itu akan padam, padam, padam. Padamnya keinginan itulah lenyapnya penderitaan. Istilah ‘lenyapnya penderitaan’ lebih tepat kalau ingin digunakan, daripada menggunakan “kebahagiaan”. Lenyapnya penderitaan itulah “kebahagiaan yang benar” dalam tanda petik. Daripada menggunakan istilah “kebahagiaan”, ‘lenyapnya penderitaan’ menjadi kalimat yang lebih tepat untuk menamakan padamnya keinginan.
Ibu, Bapak & Saudara,
Gunakanlah waktu tujuh hari ini untuk mengamati jasmani, langkah kaki, nafas, perasaan yang timbul, pikiran, termasuk ingatan, kenangan. Tidak usah tegang, tetapi tidak malas. Dalam bahasa Jawa dikatakan jangan ndlenger. Dalam bahasa gaul, banyak anak-anak muda yang ikut meditasi, mereka mempunyai istilah, “O, kalau kita ingin ikut vipassana, ingin ikut MMD ini, harus ‘sersan’,” katanya. Apa itu ‘sersan’? Serius tapi santai. Kalau serius saja, maka nanti keinginan akan muncul, keinginan “Saya ingin bermeditasi sungguh-sungguh, saya ingin membuang keinginan sungguh-sungguh,” apalagi kalau, “Saya ingin mendapatkan pengalaman yang aneh-aneh.” Serius. Ya, keinginan justru berkembang, bertambah, bukan berkurang. Tetapi kalau santai, tidak menghadirkan kesadaran, santai saja, banyak tidur—kalau nanti tidur di ruang tidur tidak enak, ya duduk di tempat meditasi tetapi tidur—ya, itu terlalu santai. Meditasi menghadirkan kesadaran dengan wajar; menghadirkan kesadaran itu yang oleh anak-anak muda di katakan serius, tetapi wajar, wajar itulah santai. Serius tapi santai, santai tapi kesadaran harus hadir.
Ibu, Bapak & Saudara,
Semogalah selama tujuh hari, Dr. Hudoyo akan mendampingi, memberikan bimbingan, Ibu, Bapak & Saudara akan mendapatkan kemajuan. Kalau saya menyebutkan ‘kemajuan’ di sini, kemajuan itu adalah mampu melihat pikiran, mampu melihat perasaan, mampu melihat gerak-gerik jasmani; melihat dengan kesadaran. Paling tidak kita mengalami berkurangnya keinginan. Pada saat keinginan berkurang, pada saat itulah mulai bebas dari penderitaan.
Dan nanti setelah selesai meditasi ini, Ibu, Bapak & Saudara pulang ke rumah, Ibu, Bapak & Saudara bisa menggunakan pengalaman selama tujuh hari ini untuk menghadirkan kesadaran dalam keseharian. Karena tidak ada gunanya mengikuti retret kalau kesadaran dalam keseharian tidak dihadirkan.
Apalagi di antara saudara-saudara kita ada yang bangga, “O, saya sudah ikut retret sepuluh kali, Anda baru berapa kali, baru dua kali?”—Tidak menjadi ukuran, sepuluh kali atau dua puluh kali ikut retret, tidak menjadi ukuran sejauh mana penderitaan berkurang, kebebasan bisa dialami. Tetapi menghadirkan kesadaran itulah yang penting, di vihara ini maupun dalam kehidupan Ibu, Bapak & Saudara sehari-hari.
Semogalah latihan ini bermanfaat. Terima kasih.
*****
Wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada penutupan Retret MMD Seminggu di Vihara Mendut, 1 Januari 2009
KESADARAN ITU MEMBEBASKAN
Para Ibu, Bapak & Saudara peserta meditasi,
Hari ini adalah akhir latihan meditasi yang Ibu, Bapak & Saudara ikuti di Vihara Mendut dengan bimbingan Dr. Hudoyo. Banyak orang sering mempunyai anggapan bahwa penderitaan dan kebahagiaan itu berada di luar diri kita. Kemudian kita berusaha keras untuk mencari kebahagiaan, sehingga mengalaminya. Dalam hal penderitaan, banyak orang menganggap bahwa penderitaan yang berasal dari luar itu masuk menghantam diri kita dan membuat kita menderita.
Sebetulnya, Ibu, Bapak & Saudara, kebahagiaan dan penderitaan itu tidak berada di luar diri kita. Kalau kita mencari di luar, memilah-milah, melihat di segala sudut di luar diri kita, kita tidak akan menemukan kebahagiaan atau penderitaan. Di manakah sesungguhnya penderitaan dan kebahagiaan itu berada? Penderitaan dan kebahagiaan itu kita alami di dalam diri kita ini; maka penderitaan dan kebahagiaan itu sebetulnya tepat, persis, berada di dalam diri kita sendiri. Bukan dicari di luar dan juga tidak datang dari luar lalu masuk ke dalam diri kita.
Penderitaan terjadi, kebahagiaan dialami, tidak lain karena pikiran kita memberikan reaksi, tanggapan, terhadap segala sesuatu. Kalau pikiran itu menanggapi dan memberikan reaksi terhadap segala sesuatu yang tidak sesuai dengan selera kita, timbullah rasa tidak senang, timbullah penderitaan, ketegangan, dan sebagainya. Di mana hal itu dirasakan? Tidak di luar, tetapi di dalam diri ini. Kalau pikiran memberikan reaksi, tanggapan, terhadap segala sesuatu yang ditangkap oleh pancaindera maupun terhadap kenangan atau ingatnan-iangatan pikiran itu sendiri—kalau reaksi atau tanggapan itu—sesuai dengan selera kita, berarti menyenangkan, maka timbullah yang disebut bahagia, rasa nyaman, puas.
Tetapi, apakah yang sering kita alami dan kita namakan kebahagiaan itu kekal? Sama sekali tidak; sebentar kesenangan atau kebahagiaan itu lenyap. Demikian juga penderitaan. Kalau kita mengamat-amati—dengan kalimat lain, kalau kita menyadari—saat penderitaan muncul atau saat kebahagiaan muncul, menyadari saja, maka padamlah penderitaan itu, padam. Dan padamlah juga kebahagiaan yang hanya sebentar itu, padam. Pada saat penderitaan padam, pada saat kebahagiaan atau kesenangan padam, timbullah rasa bahagia yang lebih halus, atau ada yang menjelaskan dengan kalimat: timbullah kesunyian yang mendalam. Kebahagiaan yang lebih halus atau kesunyian yang mendalam timbul karena kesadaran memperhatikan penderitaan atau kebahagiaan, kemudian fenomena mental itu lenyap, berganti dengan kebahagiaan yang mendalam, berganti dengan kesunyian yang mendalam, atau ketenangan yang lembut—demikianlah berbagai istilah digunakan. Itu pun juga tidak boleh luput dari kesadaran kita; sadari saja!
"Apakah kita tidak menikmatinya, Bhante?"—Kalau kita menikmati, maka apa yang dikatakan kebahagiaan yang halus, kesunyian yang mencekam, ketenangan yang mendalam itu akan menjadi kelengketan baru, akan menjadi ketagihan kembali. Kalau fenomena mental yang disebut mendalam atau lembut itu tidak segera disadari, akan menyelinaplah pikiran ingin menikmati yang halus-halus itu kembali. Oleh karena itu, sadarilah.
Ibu, Bapak & Saudara,
Menjelang Tahun Baru, ada sebagian saudara kita yang mempunyai kebiasaan, beberapa menit menjelang pukul 24.00 dia merenungkan hal-hal setahun yang sudah lewat sampai menangis. Dadanya merasa sesak, air matanya bercucuran. Kemudian dia berdoa, sampai beberapa menit melewati pukul 24.00 atau pukul 00.00. Setelah itu dia merasa puas, lega. Pada suatu kesempatan menjelang Tahun Baru, orang ini tertidur, dan terbangun sudah pukul satu malam. Dia tidak sempat melakukan ritual menangis menjelang tutup tahun, juga tidak sempat berdoa sampai melewati tengah malam. Dia kecewa, dia susah, sangat tertekan, tidak bahagia. Bagaimana mengatasi hal ini?
Satu cara mungkin dia menghibur dirinya dengan mengatakan, "Ini toh bukan ajaran agamaku, menangis menjelang tutup tahun dan berdoa sampai lewat tengah malam bukan kewajiban agama. Jadi aku tidak perlu menyesal, tidak perlu bersedih.” Bisa juga diatasi dengan pandangan filosofis, "Yah, kalau malam hari ini lupa menangis dan lupa berdoa, bukan berarti kehidupan saya setahun yang akan datang ditentukan oleh tangisan dan doa awal tahun. Saya tidak menangis, tidak berdoa, tidak melakukan ritual itu, karena tertidur. Bukan berarti kehidupan saya setahun kemudian buruk.” Itu pandangan filosofis. Tetapi diatasi dengan dalil agama, diatasi dengan pandangan filosofis, dia tetap saja merasa kecewa; ada sesuatu yang mengganjal rasanya. Karena, dia melewatkan akhir tahun ini dengan tidak menangis dan tidak berdoa. Dia sulit menghilangkan kekecewaan, penderitaan, dan ganjalan itu. Mengapa? Karena kebiasaan itu sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun dan memberikan kenikmatan; menangis akhir tahun memberikan kenikmatan, berdoa akhir tahun juga memberikan kepuasan, dan tahun ini dia tidak melakukannya, maka menjadi penderitaan, ketegangan, ganjalan, dan sebagainya.
Sebenarnya cara yang baik untuk mengatasi hal-hal yang mengganggu pikiran dia itu adalah dengan menyadari pada saat timbul pikiran, "Aku kok tidak menangis," disadarilah. Tidak usah dilawan dengan dalil agama, tidak usah dicarikan alasan filosofis, dengan disadari, maka hal itu akan hilang sendiri. Ketegangan itu akan berhenti, ganjalan itu akan berhenti. Tetapi, nanti bisa muncul kembali karena kadar kelekatan, kelengketan itu cukup kuat, ritual itu sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun, dan kesempatan itu hanya terjadi sekali saja pada akhir tahun, sedangkan tahun ini dia lupa. Kalau penyesalan itu muncul kembali, kemudian diikuti dengan penderitaan, dengan ketegangan, maka sadari kembali. Dalam bahasa daerah disebut: 'eling’ kembali. Saat kita sadar, saat kita eling, itu akan berhenti. Itulah, Ibu, Bapak & Saudara, pengalaman yang Ibu, Bapak & Saudara dapatkan selama Ibu, Bapak & Saudara bermeditasi secara intensif di Vihara Mendut ini.
Perkenankan saya untuk memberikan tambahan cerita. Beberapa waktu yang lalu, beberapa kali saya diundang dalam pertemuan lintas agama yang juga dihadiri tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat yang datang dari Poso, dari Ambon, dari daerah yang dilanda konflik dalam waktu yang panjang. Di antara mereka yang hadir di Yogyakarta dari daerah-daerah konflik itu, ada keluarga atau famili mereka yang menjadi korban, meninggal dunia. Dan tidak hanya satu-dua orang. Apa yang menjadi persoalan? Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyembuhkan luka batin; mereka menggunakan istilah 'luka batin' karena kepedihan, kesedihan, penderitaan yang kemudian muncul menjadi kebencian, dendam, sulit untuk diatasi. Ajaran agama dikemukakan; di dalam pandangan Buddhis, "Terima saja. Apa yang terjadi adalah akibat dari karma, perbuatan Anda sendiri yang lampau." Saudara-saudara kiami yang lain mengatakan, "Terima saja, itu sudah takdir Tuhan." Tetapi dengan jujur mereka mengatakan, "Saya mengerti penjelasan itu, tetapi sangat sulit saya mengatasi luka batin yang menekan batin saya." Bahkan di antara mereka ada yang mengatakan, "Anda dengan mudah bisa mengucapkan pandangan-pandangan yang arif, yang bijak, karena Anda tidak mengalami sendiri, bagaimana kalau suami Anda, atau anak Anda, atau orang tua Anda di bunuh. Dan ada yang tidak hanya satu, tetapi lebih dari satu anggota keluarga kita yang dibunuh. Kita masih bisa melihat, bertemu dengan pembunuh-pembunuhnya; sulit mengatasi luka batin itu.”
Pada kesempatan itu, saya pun menyampaikan kepada mereka cara kesadaran. Luka batin itu, yang memedihkan, menyedihkan, yang mungkin sangat mendalam, yang menimbulkan kebencian, dendam, cobalah tidak usah diatasi dengan bermacam-macam dalil atau alasan. Batin Anda tidak perlu dihibur dengan berbagai alasan. Karena nanti batin Anda akan menolak terus, menolak, menolak; menolak alasan atau hiburan yang datang untuk memadamkan kepedihan dan luka batin itu. Akan terjadi perdebatan yang hebat antara batin yang pedih dan terluka dengan alasan atau hiburan yang kita munculkan. Oleh karena itu, sadari saja. Sadari kalau memori itu muncul, kalau kebencian itu muncul, sadari. Kalau keinginan untuk membalas itu muncul, sadari. Kalau rasa pedih tiba-tiba muncul tanpa alasan, sadari. Dia akan padam. Harapan saya semoga mereka bisa memahami, dan kemudian melakukan; karena tidak banyak di antara mereka yang pernah bermeditasi. Kalau Ibu, Bapak & Saudara pernah bermeditasi, meskipun tidak lama, atau tidak sering mengikuti retret meditasi seperti ini, Ibu, Bapak & Saudara akan mengerti, apakah yang disebut dengan kesadaran itu, apakah yang disebut dengan eling itu: sangat berguna. Saya memilih istilah 'sangat berguna' dibandingkan dengan istilah 'sangat mulia', 'sangat berharga'—sangat berguna—untuk membebaskan segala macam beban pikiran atau beban mental kita.
Perkenankan saya memberikan tambahan cerita; Ibu, Bapak & Saudara sehari-hari juga mendapatkan beban mental dari keseharian yang sederhana dan mungkin juga berat. Kita mungkin tiba-tiba teringat bahwa dua-tiga hari kemudian akan menghadapi suatu masalah yang berat, maka timbullah beban mental. Dan itu sampai membuat seseorang pucat, bersedih, ketakutan. Kalau Ibu, Bapak & Saudara pernah bermeditasi mengerti kesadaran, sadarilah, elinglah, maka beban mental itu akan padam, sesaat. Kalau nanti muncul kembali, sadari kembali. Kalau Ibu, Bapak & Saudara sering menghadirkan kesadaran, maka kesadaran itu juga akan sering hadir, menyadari pikiran, perasaan yang timbul.
Ibu, Bapak & Saudara,
Pada saat kesadaran itu absen, pikiran yang membebani mental kita itu sangat menekan, membuat kita merasa seperti tidak ada lagi jalan untuk terbebas; mengeluh, bahkan ada yang menangis meraung-raung bergulung-gulung. Tetapi begitu kita sadar, maka berhentilah tekanan-tekanan mental yang begitu berat. Kita juga harus menyadari kenikmatan, kesenangan, kepuasan yang muncul; tidak hanya kesedihan, tidak hanya kemarahan, tidak hanya keinginan-keinginan yang buruk; karena kesenangan, kepuasan, kenikmatan yang muncul itu kalau tidak disadari akan menimbulkan ketagihan.
Ibu, Bapak & Saudara,
Saya akan menguraikan sedikit lagi sebagai bagian akhir uraian pagi hari ini. Hal yang paling penting bagi kita sebetulnya adalah menyadari—meskipun tidak mampu terus-menerus—sebanyak mungkin terhadap munculnya pikiran keakuan. Kadang-kadang timbul pikiran, "O, aku lebih baik dari dia," dalam berbagai hal: pengetahuan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. Itu adalah keakuan, yang kalau tidak disadari, tentu keakuan itu akan berkembang, menimbulkan kecongkakan, menimbulkan kesombongan, dan menimbulkan tindakan-tindakan yang bisa merugikan orang lain. Pikiran keakuan yang lain adalah, "O, aku masih sama dengan dia, tidak lebih tinggi, tidak lebih rendah." "Apakah ini juga keakuan, Bhante?"—Ya, ini adalah keakuan juga, dan pikiran keakuan itu kalau tidak disadari, maka akan berkembang, membuat seseorang kemudian berpikir, "Karena saya masih sama, maka saya harus melakukan sesuatu sehingga bisa melebihi dia." Atau pikiran yang lain timbul, “Karena saya sama, maka saya tidak lebih jelek dari dia." Pikiran keakuan lain lagi yang timbul adalah, "O, saya masih lebih rendah dari dia, saya lebih bodoh, saya lebih tidak mengerti, meditasi saya lebih jelek." Ini pun keakuan. Kalau keakuan ini tidak diatasi, akan membuat beban mental yang lain.
"Lalu bagaimana, Bhante, mengatasinya? Apakah dengan pandangan-pandangan filosofis, bahwa merasa lebih rendah juga berbahaya, merasa sama juga ada risikonya, merasa lebih tinggi juga membahayakan yang lain?”—Tidak. Ibu, Bapak & Saudara yang mengerti kesadaran, pernah melatih meditasi dan tetap melatih meditasi, sadari saja keakuan itu, maka keakuan itu akan padam. Aku yang merasa lebih, aku yang merasa sama, atau aku yang merasa kurang dari yang lain, sadari saja!
"Tetapi apakah kita tidak boleh melakukan sesuatu, Bhante?"—Mengapa tidak boleh? Lakukanlah hal-hal yang baik, karena Anda tidak sepanjang masa tinggal di vihara, retret, Anda berada di masyarakat. Lakukanlah hal-hal yang baik tanpa membandingkan antara aku dengan yang lain: "O, aku lebih rendah, aku lebih kurang, aku harus berbuat lebih dari dia." "O, aku sama dengan dia, aku harus melanjutkan yang sama ini supaya tidak melorot, atau menambah supaya lebih tinggi." "O, aku lebih tinggi dari dia, aku sudah cukup, dan aku harus mempertahankan kondisi yang lebih tinggi ini supaya tidak melorot."
Dalam kehidupan biasa memacu diri dengan cara membandingkan dirinya terhadap orang lain mungkin ada baiknya, tetapi dalam perkembangan membebaskan pikiran kita dari penderitaan, pandangan seperti itu tidak bermanfaat. Lakukanlah hal-hal yang baik tanpa membandingkan antara aku dengan yang lain.
Ibu, Bapak & Saudara,
Oleh karena itu, bolehlah saya memesankan: meditasi tidak berhenti pada hari ini; lanjutkan dalam keseharian Ibu, Bapak & Saudara. Hadirkan kesadaran untuk menyadari pikiran apa pun, perasaan apa pun yang menjadi beban mental, tekanan batin, luka batin, ataupun kepuasan, kebahagiaan, kenikmatan; sadari, sadari. Dengan menyadari kita akan membebaskan mental kita, batin kita, dari beban; mungkin hanya sesaat, tetapi itulah kebebasan. Anjuran saya juga, duduklah bermeditasi sehari paling tidak satu kali, setengah jam atau satu jam. Memang kesadaran itu bisa hadir pada saat kita duduk, pada saat kita berdiri, berjalan atau berbaring, tetapi para guru meditasi menjelaskan bahwa dalam posisi duduk maka hadirnya kesadaran menjadi lebih kuat, lebih tajam.
Ibu, Bapak & Saudara,
Guru Agung Buddha Gotama juga mengatakan "Ajaran yang Kuajarkan ini seperti rakit. Kalau rakit itu tidak digunakan menyeberang di sungai, hanya dipegang atau dijunjung di atas kepala saja, tentu tidak bermanfaat. Sering Dhamma yang diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gotama itu oleh umat Buddha dijadikan bukan sebagai rakit, tetapi hanya dipegang di atas kepala, sehingga ajaran itu kemudian sering menimbulkan perdebatan. "Perdebatan dengan siapa, Bhante? Dengan orang lain?" Yang lebih sering, berdebat dengan dirinya sendiri. "Ajaran mengajarkan begini, tetapi diriku mengapa masih seperti ini, aku masih belum maju, belum bisa melaksanakan ajaran. Ajaran mengajarkan seperti ini, tetapi aku bersikap begini. Hal ini tidak termasuk yang dibolehkan atau yang dilarang? Tetapi melanggar sedikit, boleh, ‘kan?” Begitulah, timbul perdebatan—mungkin dengan istilah lain: pertikaian—timbul pertikaian antara ajaran yang diketahui, dimengerti, diyakini, dengan kondisi batinnya, dengan perilakunya yang masih belum cocok. Perdebatan atau pertikaian ini menimbulkan ketegangan, rasa bersalah, merasa menjadi umat yang belum mampu mengikuti ajaran, bahkan sering juga timbul pemikiran: "Apakah meditasiku ini sudah benar?" Dan hal-hal itu kemudian menjadi masalah dalam pikirannya sendiri. Sulit dihilangkan. Nah, perdebatan-perdebatan, pertikaian-pertikaian di dalam pikiran kita sendiri itu harus berhenti dengan kesadaran. Pada saat kesadaran hadir, pada saat itu kita mulai menggunakan rakit itu, tidak meletakkan rakit hanya di atas kepala; karena pada saat kesadaran hadir, pada saat kita eling, perdebatan atau pertikaian di dalam pikiran antara ajaran dengan kondisi dirinya, keragu-raguan, dan sebagainya, menjadi padam. Itulah kebebasan, meskipun hanya sesaat.
Kalau boleh dinamakan 'tujuan', tujuan kita bermeditasi adalah kebebasan; kebebasan dari kelekatan, dari kelengketan terhadap apa pun. Dan kalau Anda menghadirkan kesadaran, Anda mengalami kebebasan itu. Bukan sesuatu yang nun jauh di sana, dan harus dicapai setelah kita dilahirkan berulang-ulang, melainkan sekarang juga. Pada saat kesadaran hadir, Anda mengalami kebebasan. Kesadaran itu membebaskan.
Semogalah latihan Ibu, Bapak & Saudara memberikan manfaat, sekarang dan juga untuk kemudian. Terima kasih.

MMD - Meditasi Mengenal Diri

APAKAH MEDITASI MENGENAL DIRI (MMD) ITU?
Oleh: Hudoyo Hupudio
Pendahuluan
Kata ‘meditasi’ mengandung banyak makna bagi para pemakai kata itu dan bagi para pendengarnya. Ada banyak tujuan orang bermeditasi; dengan demikian, ada banyak pula cara atau teknik meditasi. Ada meditasi yang bertujuan untuk mencapai hal-hal yang bersifat duniawi—seperti kesaktian, kesembuhan, melihat alam gaib, dan sebagainya—dan ada pula meditasi yang mempunyai tujuan spiritual, seperti mencapai atau menyatu dengan prinsip yang dianggap “tertinggi”, seperti Tuhan, Nirvana, Moksha, Alam Semesta, dan sebaginya. Pada umumnya, meditasi menyangkut pemusatan perhatian (konsentrasi) pada suatu objek tertentu—seperti: nafas, visualisasi, kata-kata/mantra, dan sebagainya— untuk waktu yang lama, dengan harapan pada akhirnya mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Dengan demikian, sifat umum dari kebanyakan jenis meditasi adalah suatu pencapaian, yang tentu saja dipahami akan tercapai di masa depan.
Ada satu jenis meditasi yang berbeda dengan kebanyakan meditasi lain. Meditasi ini diajarkan oleh Buddha Gotama, lebih dari 2500 tahun lalu, disebut meditasi vipassana. Meditasi ini berangkat dari fakta eksistensial yang diajarkan oleh Sang Buddha, yakni bahwa segala sesuatu dalam kehidupan atau eksistensi ini tidak kekal, terus-menerus berubah, dan tidak memuaskan; fakta ini menyebabkan penderitaan bagi orang yang tidak memahaminya: ia melekat erat pada jasmani dan batinnya, dan mencari kebahagiaan serta keabadian yang tidak pernah diketahui dan dirasakannya. Sang Buddha juga mengajarkan, bahwa penyebab atau sumber dari penderitaan eksistensial itu ialah oleh karena manusia tidak memahami aku/dirinya, terutama pikiran dan keinginannya, yang selalu mencari kebahagiaan dan keabadian (Anatta-lakkhana-sutta, Samyutta Nikaya, 22.59). Untuk mencapai kebahagiaan dan keabadian itu manusia selalu terlibat dalam konflik dalam dirinya sendiri maupun dengan orang lain di sekitarnya; ia terlibat konflik antara apa yang ada sekarang dengan apa yang dicita-citakan di masa depan dalam pikirannya.
Sang Buddha mengajarkan, bahwa dengan meditasi vipassana—yakni mengamati secara pasif setiap gerak-gerik jasmani dan batin (pikiran, perasaan, emosi, keinginan, harapan, keputusasaan, kesenangan, penderitaan, dan sebagainya)—manusia dapat memperoleh pencerahan akan hakikat sesungguhnya dari kehidupan/eksistensi yang tidak kekal dan tidak memuaskan ini. Dengan tercapainya pencerahan itu, manusia terbebas dari kelekatan pada jasmani dan batinnya; dengan demikian, terbebas dari penderitaan (dukkha). Namun pembebasan dari penderitaan ini tidak mungkin tercapai dengan suatu usaha yang aktif dari aku/diri ini untuk mencapainya, oleh karena justru aku/diri inilah sumber atau penyebab dari penderitaannya—aku/diri tidak mungkin dapat melenyapkan aku/diri.
Justru sifat-sifat khusus dari meditasi vipassana adalah kebalikan dari kehidupan sehari-hari: pasif, berhenti, diam, lepas, berada pada saat kini. Seperti kata Sang Buddha kepada Angulimala, si perampok dan pembunuh: “Aku sudah lama berhenti. Kamulah yang masih terus berlari. Berhentilah!” Berada pada saat kini terus-menerus, yang di situ aku/diri dan pikiran ini berhenti, itulah pintu menuju pembebasan, menurut Sang Buddha. (Mulapariyaya-sutta, Majjhima Nikaya, 1 dan Bahiya-sutta, Udana, 1.10).
Namun, patut disayangkan bahwa, dengan perjalanan waktu, dalam banyak praktik meditasi vipassana yang diajarkan di dunia pada dewasa ini, prinsip-prinsip meditasi vipassana yang diajarkan oleh Sang Buddha telah bergeser: dari pelepasan menjadi pencapaian, dari kepasifan menjadi berupaya dan aktif berkonsentrasi. Bagi banyak praktisi vipassana, mungkin pada awalnya pergeseran ini tidak dirasakan; namun, bagi sementara praktisi vipassana lain, mereka mengalami kesulitan untuk benar-benar memahami gerak-gerik jasmani dan batin ini secara pasif apabila mereka diharuskan berusaha, apalagi dengan berkonsentrasi, untuk mencapainya. Bagi para praktisi yang tersebut belakangan inilah, sejak beberapa tahun terakhir, telah dikembangkan Meditasi Mengenal Diri (MMD), yakni suatu jenis meditasi vipassana yang diyakini telah dikembalikan kepada sifat-sifat khusus meditasi vipassana yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Meditasi Mengenal Diri (MMD)
Pemahaman bahwa praktik meditasi vipassana yang banyak diajarkan pada dewasa ini telah bergeser jauh dari apa yang sesungguhnya dimaksud oleh Sang Buddha diilhami oleh praktik meditasi yang diajarkan J. Krishnamurti pada abad ke-20. J. Krishnamurti mengritik kebanyakan teknik meditasi yang semuanya mengutamakan konsentrasi, usaha dan teknik meditasi. Dalam hal ini termasuk pula banyak teknik vipassana Buddhis.
Bagi J. Krishnamurti, teknik meditasi apa pun sama sekali tidak membebaskan, tidak mentransformasikan batin manusia; alih-alih, malah membuat batin lebih dalam terjerat dalam keterkondisian dan keterbatasannya. Teknik konsentrasi apa pun hanya membawa praktisinya ke dalam suatu keadaan pemusatan batin yang kuat, yang mungkin memberikan suatu rasa nikmat dan bahagia yang intens, sehingga mudah disangka sebagai kebebasan, tetapi sesungguhnya menjerat batin dalam keterkondisian dan ketidakbebasan yang lebih halus.
Meditasi Mengenal Diri (MMD) adalah versi meditasi vipassana yang selama beberapa tahun terakhir telah dikembangkan dari vipassana yang diajarkan secara “tradisional”. Dalam MMD, meditasi vipassana “tradisional” telah banyak dimodifikasi berdasarkan ajaran J. Krishnamurti tentang sadar/eling secara pasif atau sadar/eling tanpa memilih, yang sesungguhnya adalah kembali pada sifat-sifat praktik meditasi vipassana murni ajaran Sang Buddha sendiri. Dengan demikian, ada beberapa perbedaan penting antara meditasi vipassana versi MMD dan meditasi vipassana “tradisional”:
(1) Tujuan meditasi vipassana
Bila seorang praktisi vipassana “tradisional” ditanya, apakah tujuan meditasi vipassana, biasanya jawabannya adalah: untuk melenyapkan keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha), sehingga tercapai pembebasan dari kelekatan pada jasmani dan batin (nama-rupa); pembebasan itu disebut ‘Nibbana/Nirvana’. Dengan demikian, tujuan vipassana “tradisional” bersumber dari doktrin agama Buddha. Tujuan meditasi vipassana ini dipahami akan tercapai pada suatu saat di masa depan.
Apakah tujuan MMD? Tujuan MMD mengandung sebuah paradoks. Di satu sisi, tujuan MMD adalah berakhirnya aku/diri secara radikal, yang berarti berakhirnya penderitaan (dukkha) sepenuhnya—secara teoretis, tentu saja hal ini akan tercapai di masa depan. Di sisi lain, secara praksis aktual, tujuan MMD ini tidak dilihat sebagai berada di masa depan, melainkan harus terjadi pada saat kini, sebagai suatu transformasi batin yang hanya bisa didekati melalui saat ini. Dalam praksis aktual, tujuan MMD adalah sadar/eling sedalam-dalamnya dan terus-menerus terhadap gerak-gerik jasmani dan batin ini pada saat munculnya, dari saat ke saat, sekarang dan di sini.
Dengan demikian, secara teoretis, tujuan MMD tidak berbeda dengan tujuan meditasi vipassana “tradisional”; namun secara praksis aktual, ternyata terdapat perbedaan mendasar di antara kedua jenis meditasi vipassana itu.
Pengertian ‘tujuan’ selalu mengacu pada suatu keadaan yang ingin dicapai di masa depan; tetapi, seperti dikatakan di atas, secara paradoksal tujuan MMD adalah berada pada saat kini terus-menerus. Dengan demikian, di dalam MMD tidak relevan lagi orang bicara tentang suatu ‘tujuan’ di masa depan, di dalam MMD tidak ada ‘tujuan’.
Selain itu, ‘tujuan’ MMD adalah identik/sama dengan ‘metode’-nya, yakni berada pada saat kini terus-menerus, yang adalah ‘non-metode’ (lihat bawah).
Paradoks tujuan MMD ini tidak terdapat dalam pengajaran vipassana “tradisional” kepada para praktisinya. Tujuan vipassana “tradisional”, yakni nibbana, diletakkan di masa depan, bahkan sering kali ditampilkan bahwa tujuan itu hanya bisa dicapai di masa depan yang jauh, tidak dalam kehidupan sekarang.
Paradoks dari sebuah tujuan/keadaan transendental sebagaimana diuraikan di atas juga terlihat dalam kitab-kitab Mahaprajnaparamita dari Buddhisme Mahayana, seperti Sutra Intan, Sutra Hati, dan sebagainya.
Sekali lagi, tujuan MMD adalah berada pada saat kini terus-menerus; di dalam MMD orang tidak memandang ke masa depan. Bila orang bisa berada dalam keadaan itu terus-menerus, di situlah terdapat kemungkinan—itulah pintu—menuju berakhirnya konflik dan penderitaan eksistensial manusia; inilah yang dicari oleh umat manusia sepanjang zaman.
Apa dan bagaimana berakhirnya konflik dan penderitaan eksistensial manusia itu tidak dibahas dan tidak dikonseptualisasikan dalam praktik MMD, karena hal itu akan merupakan diskursus pikiran lagi, yang mau tidak mau akan menjadi satu lagi doktrin di antara sekian banyak doktrin spiritual yang ada, dan hanya merintangi orang untuk berada pada saat kini terus-menerus, melihat apa adanya (yathabhutam nyanadassanam) tanpa dicampuri oleh konsep-konsep ciptaan pikiran.
Tujuan MMD bukan hanya melenyapkan keadaan-keadaan batin yang negatif, seperti lobha, dosa, dan moha seperti di dalam vipassana “tradisional”, tetapi juga memahami keadaan-keadaan batin yang positif, seperti cinta (metta), welas asih (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha). Ketika semua keadaan batin yang negatif maupun positif itu dipahami/disadari, maka pemeditasi tidak akan menolak keadaan batin yang negatif dan/atau melekat pada keadaan batin yang positif.
(2) Teknik/metode meditasi vipassana
Adanya perbedaan dalam tujuan meditasi di antara meditasi vipassana “tradisional” dan MMD menyebabkan perbedaan yang mendasar dalam praktik di antara kedua versi vipassana itu. Dalam kebanyakan meditasi vipassana “tradisional” diajarkan berbagai teknik yang harus dijalankan oleh pemeditasi kalau ia ingin mencapai hasil yang diinginkan. Misalnya, dalam meditasi vipassana versi Mahasi Sayadaw, ditekankan teknik-teknik berikut:
* berkonsentrasi untuk waktu lama pada sebuah “objek utama”;
* mencatat/memberi label segala sesuatu yang teramati dalam meditasi (setidak-tidaknya pada “tahap awal” praktik);
* melakukan meditasi duduk dan meditasi jalan berganti-ganti dalam sesi meditasi formal;
* memperlambat sedapat mungkin semua gerakan tubuh agar dapat diamati secara kuat.
Semua itu dilakukan, dan didasari usaha (viriya) yang maksimal, dengan tujuan agar konsentrasi berkembang secara maksimal pula, sehingga tercapai berbagai pencerahan (nyana) yang teorinya telah diketahui lebih dahulu, dan akhirnya tercapai pembebasan (nibbana).
Di lain pihak, di dalam MMD:
* tidak ada konsentrasi pada ‘objek utama’ apa pun—karena sadar/eling yang berkembang secara pasif akan mengembangkan pula perhatian (sati) yang kuat, tetapi bukan konsentrasi. Alih-alih berkonsentrasi secara sempit pada satu objek, perhatian dibiarkan terbuka seluas-luasnya secara alamiah meliputi seluruh indera, sehingga dapat menyadari rangsangan yang masuk melalui seluruh indera, termasuk batin (pintu masuknya ingatan dari masa lampau);
* segala fenomena yang muncul dalam badan dan batin sekadar disadari secara pasif, tanpa usaha mencatat/memberi label, yang tiada lain adalah gerak pikiran lagi;
* keadaan batin sadar/eling itu bisa dikembangkan dalam keadaan atau kegiatan apa pun: duduk, berdiri, berjalan, berbaring, tanpa membedakan dan memisahkan antara kegiatan meditasi formal dengan kegiatan sehari-hari—dengan demikian keadaan batin meditatif itu berkembang secara alamiah menjadi keadaan batin sepanjang waktu ketika pikiran/aku tidak dibutuhkan;
* gerakan tubuh tidak perlu diperlambat secara sengaja dan artifisial—apabila perhatian menjadi kuat, maka gerakan tubuh akan melambat dengan sendirinya, sekalipun melambatnya gerakan tubuh itu tidak dikembangkan dengan sengaja sebagai suatu teknik meditasi.
Secara singkat, di dalam MMD tidak ada teknik meditasi apa pun, termasuk tidak ada konsentrasi terus-menerus pada satu objek. Selain itu, di dalam MMD tidak ada usaha (viriya) sama sekali—untuk berada pada saat kini tidak dibutuhkan usaha apa pun.
Pengerahan usaha justru akan menghalangi pikiran dan aku/diri untuk berhenti secara alamiah, menghalangi pembebasan. Ini terlihat jelas dalam pengalaman Bhikkhu Ananda (saudara sepupu Sang Buddha) menjelang Konsili I Sangha, tidak lama setelah Sang Buddha wafat. Konsili itu hanya boleh dihadiri oleh para arahat, sehingga beliau—yang pada waktu itu masih belum bebas sepenuhnya—berusaha keras untuk mencapai kearahatan dalam waktu semalam. Ternyata justru usaha keras itu menghalangi tercapainya pembebasan. Justru pada saat beliau menghentikan sama sekali usahanya, ketika malam menjelang fajar, muncullah pembebasan terakhir dalam batinnya. (Vinaya Pitaka, Culavagga, Khandaka, 11)
Karena tidak ada teknik meditasi apa pun, dan tidak ada usaha untuk mencapai apa pun, maka pemeditasi bebas dari beban meditasi, sehingga sadar/eling pada saat kini, terus-menerus, tanpa mengharapkan apa pun di masa depan, merupakan keadaan diam, istirahat, dan berhenti secara sempurna.
(3) Rujukan dari kitab suci
Hampir semua teknik vipassana “tradisional” menggunakan Mahasatipatthana-sutta (Digha Nikaya, 22) yang terkenal sebagai rujukannya. Sutta itu penuh dengan doktrin agama Buddha, sehingga pemeditasi sukar membedakan mana yang doktrin dan mana yang pengalaman pribadi dalam meditasi pada waktu ia menerapkannya dalam praktik. Kontemplasi terhadap keempat kelompok dhamma (fenomena jasmani dan batin) yang diajarkan dalam Mahasatipatthana-sutta itu tidak lebih daripada kegiatan analisis intelektual semata-mata dan bukan keadaan sadar/eling aktual yang secara pasif menyadari fenomena yang muncul pada saat sekarang dan di sini. Mendiang Ajahn Buddhadasa Mahathera menyebut Mahasatipatthana-sutta sebagai tidak lebih dari sebuah “daftar berkepanjangan dari objek-objek meditasi Buddhis”—alih-alih menggunakan sutta itu sebagai rujukan untuk mengajarkan meditasi vipassana menuju pembebasan/nibbana, beliau menggunakan Anapanasati-sutta (Majjhima Nikaya, 118).
Di lain pihak, MMD menggunakan Bahiya-sutta, yang di situ Sang Buddha memberikan tuntunan vipassana yang langsung dan singkat kepada Bahiya (Bahiya-sutta, Udana 1.10). Bahiya adalah seorang petapa, bukan bhikkhu siswa Sang Buddha, dan selama hidupnya tidak pernah mendengar doktrin Buddhisme sama sekali. Namun Sang Buddha tidak mengajarkan “doktrin Buddhisme” apa pun kepada Bahiya; alih-alih Sang Buddha mengajarkan vipassana secara murni tanpa dilandasi doktrin apa pun; dan pada saat itu juga, ketika khotbah Sang Buddha selesai, Bahiya mencapai pencerahan terakhir. Tuntunan vipassana yang sama diajarkan pula oleh Sang Buddha kepada Malunkuyaputta, seorang bhikkhu tua; dan akhirnya Bhikkhu Malunkyaputta pun mencapai pencerahan terakhir setelah berlatih beberapa lama (Malunkyaputta-sutta, Samyutta Nikaya, 35.95).
Oleh karena tuntunan vipassana Sang Buddha kepada Bahiya bersifat bebas dari doktrin Buddhisme, maka tuntunan itu cocok untuk digunakan sebagai rujukan mengajarkan MMD kepada para peminat MMD yang non-Buddhis maupun kepada umat Buddha sendiri.
(4) Ritualisme
Oleh karena kebanyakan teknik vipassana “tradisional” diajarkan dalam konteks agama Buddha dan diselenggarakan di sebuah vihara, maka mau tidak mau dalam praktiknya masih terdapat ritualisme. Suatu kekecualian dalam hal ini adalah di dalam retret vipassana versi S.N. Goenka, yang di lokasinya tidak terdapat simbol-simbol keagamaan sedikit pun, sehingga pemeditasi tidak terdorong melakukan ritual apa pun dalam praktik retretnya. Kelekatan pada ritualisme itu sendiri sebenarnya merupakan salah satu belenggu yang harus patah sebelum orang mencapai pembebasan.
Di dalam MMD, sekalipun retret dilakukan di dalam Dharmasala (Ruang Kebaktian) sebuah vihara, selama retret berlangsung peserta sangat dianjurkan untuk tidak melakukan ritual agama Buddha apa pun, seperti bersujud (namaskara) kepada arca Buddha (buddharupam) yang ada di sana, membaca paritta, dan sebagainya.
Sedangkan bagi peserta retret MMD yang beragama Islam, mereka tetap dibenarkan melakukan ibadah sholat yang wajib menurut ajaran agamanya.
Retret MMD
Retret MMD telah diselenggarakan sejak tahun 2000 di berbagai vihara dan tempat lain di Indonesia. Pada dewasa ini, secara teratur retret MMD diadakan di:
o Jawa Barat – di Cipanas dan Vihara Siripada (Bumi Serpong Damai)
o Jawa Tengah – Vihara Mendut (Magelang)
o Bali – Brahmavihara-arama (Kabupaten Buleleng)

Secara insidentil retret MMD diadakan juga di:
o Kalimantan Timur – Vihara Muladharma (Samarinda)
o Jawa Tengah – Vihara Dhamma Sundara (Solo)
o Sumatera Utara

Kepada para peminat MMD ditawarkan dua jenis retret MMD: Retret MMD Akhir Pekan, dan Retret MMD Seminggu. Jadwal retret-retret MMD selama setahun berjalan, lengkap dengan alamat (nomor HP dan email) tempat pendaftaran di masing-masing lokasi di atas, dapat dilihat pada situs web MMD, http://meditasi-mengenal-diri.org. Informasi lebih lanjut dan diskusi mengenai MMD dapat diikuti di Forum Diskusi MMD, http://meditasi-mengenal-diri.ning.com.
Semua retret MMD diberikan tanpa dipungut biaya, kecuali sumbangan sukarela yang diserahkan kepada vihara pada akhir retret sesuai kemampuan peserta masing-masing.
Pada dewasa ini, MMD hanya diajarkan oleh Dr. Hudoyo Hupudio, MPH, 65 tahun. Tetapi di kemudian hari diharapkan akan tampil para penerus yang kompeten untuk berbagi pengalaman dan mengajarkan prinsip-prinsip MMD demi pencerahan orang banyak.
1 Januari 2009,
Hudoyo Hupudio

Kalama Sutta

KALAMA-SUTTA [Re: PESAN SINGKAT YM SRI PANNYAVARO MAHATHERA]
• Posted by Hudoyo Hupudio on August 1, 2009 at 11:30am
• Send Message View Hudoyo Hupudio's blog

--- In Theravada-l@yahoogroups.com, willie japaries wrote:
>
> Dear Romo & TS Hudoyo,
> Thx for quick and kind reply.
>
> Menurut hemat saya, Dhamma yg perlu kita junjung tinggi adalah yg setelah kita baca atau dengar dan kita pahami, isinya bermanfaat, tidak tercela (tidak bertentangan dgn norma di masyarakat), hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana (orang tua, tokoh masyarakat dari agama apapun); lebih lanjut jika dilaksanakan dan dipraktekkan akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan (tentu bagi si pelaku maupun lingkungannya), maka Dhamma itulah yg patut dan harus kita jalankan.
>
> Demikianlah yg saya pahami dari yg saya dengar dari ceramah maupun sy baca di AN, III,65, "Kepada Suku Kalama", atau yg lebih dikenal dgn Kalama Sutta.
> Jadi, Dhamma tsb. mencakup semua ajaran agama, tradisi, keyakinan, juga iptek, sejauh memenuhi kriteria tersebut, patut kita jalankan.
>
> Demikian pendapat saya, semoga dapat turut membawa kebahagiaan bagi semuanya,
> WJ

==================================================

Romo Japaries yg baik,

Terima kasih telah mengingatkan saya pada Kalama-sutta. Marilah saya terjemahkan & kutipkan seteliti mungkin bagian sutta itu yang relevan, dengan menghapus sisipan-sisipan dalam tanda kurung yang Romo berikan terhadap teks aslinya:


"Marilah, kaum Kalama; jangan berpegang pada berita, pada legenda, pada tradisi, pada KITAB SUCI (ma pitaka sampadanena), pada pertimbangan logis, pada kesimpulan, pada analogi, pada kekonsistenan dengan aturan-aturanmu, pada peluang, atau pada pendapat 'PETAPA (samano) INI GURU KAMI'.

Bila kamu TAHU SENDIRI bahwa 'sifat-sifat mental ini tidak baik, patut dicela, dikecam oleh orang arif, bila dilaksanakan menghasilkan kerugian dan penderitaan', maka tinggalkan itu.

Bila kamu TAHU SENDIRI bahwa 'sifat-sifat mental ini baik, tanpa cela, dipuji oleh orang arif, bila dilaksanakan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan', maka ikutilah itu." [Kalama-sutta, AN 3.65, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Thanissaro Bhikkhu]


Catatam:
(1) Romo tidak mengikutsertakan PERINGATAN yang diberikan oleh Sang Buddha sebelum bagian yang Romo kutip. JUSTRU PERINGATAN INILAH YANG SANGAT PENTING! Peringatan ini menepis banyak pertimbangan yang sering dipakai oleh masyarakat untuk menentukan sesuatu itu benar atau tidak. Mengabaikan peringatan ini justru menghilangkan makna penting dari Kalama-sutta itu seluruhnya! Semoga Romo tidak melupakan itu ketika memberikan Dhammadesana di kebaktian-kebaktian di vihara.

(2) Romo menerjemahkan: "Dhamma yg perlu kita junjung tinggi adalah yg setelah kita BACA atau DENGAR dan kita PAHAMI ..." Dalam terjemahan itu terkesan bahwa kita cukup membaca/mendengar sebuah ajaran (Dhamma), lalu memahami (tentu setelah merenungkannya) untuk menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Ini tampak bertentangan dengan peringatan Sang Buddha sebelumnya: "... jangan berpegang pada berita, pada legenda, pada tradisi, pada kitab suci, pada PERTIMBANGAN LOGIS, pada KESIMPULAN, pada ANALOGI, pada KEKONSISTENAN DENGAN ATURAN-ATURANMU, pada PELUANG, atau pada PENDAPAT 'PETAPA INI GURU KAMI'." Jelas Sang Buddha menyatakan agar kita tidak berpegang pada hasil kesimpulan pemikiran/perenungan kita sendiri. Mengapa? Karena pemikiran seorang puthujjana—seperti Romo dan saya--SELALU terdistorsi oleh ‘avijja’ dan ‘asava’. Tidak ada pemikiran puthujjana yang seratus persen benar/objektif.

Saya menerjemahkan: "Bila KAMU TAHU SENDIRI bahwa 'SIFAT-SIFAT MENTAL INI 'tidak baik, patut dicela, dikecam oleh orang arif, bila dilaksanakan menghasilkan kerugian dan penderitaan', maka tinggalkan itu."

Di sini saya memahami "kamu tahu sendiri" bukanlah hasil "membaca/mendengar, meerenungkan, dan menyimpulkan," dengan demikian tidak bertentangan dengan peringatan yang diberikan oleh Sang Buddha sebelumnya. "Kamu tahu sendiri" menurut hemat saya adalah hasil PENGALAMAN BATIN (yang dicapai dalam meditasi vipassana), bukan hasl pemikiran dan penyimpulan.

Catatan kecil: Romo menulis ‘dhamma’ dengan inisial kapital “Dhamma”, yang berarti “ajaran”. Boleh-boleh saja menafsirkan ‘dhamma’ sebagai “ajaran”. Tetapi saya menafsirkan ‘dhamma’ sebagai ‘sifat-sifat mental’ (mengikuti Thanissaro Bhikkhu). Sifat-sifat mental itulah yang kalau dilaksanakan, bila baik, akan mendatangkan kesejahteraan & sukacita, dan bila buruk, akan mendatangkan kerugian & penderitaan. Sedangkan sebuah buku yang berisi sebuah ajaran (Dhamma) tidak bisa menghasilkan apa-apa tanpa lebih dulu memperngaruhi sifat-sifat mental seseorang.—Yah, ini soal kecil. Sekarang soal yang jauh lebih penting.

(3) Romo memberikan beberapa sisipan pada teks aslinya, yang tentu saja merupakan penafsiran Romo pribadi atas makna teks itu. Dua di antara sisipan itu adalah:
(1) tidak tercela (tidak bertentangan dgn norma di masyarakat);
(2) dipuji oleh para bijaksana (orang tua, tokoh masyarakat dari agama apapun)

Maaf, ya, saya tidak setuju sama sekali dengan penafsiran Romo itu, dan mempunyai penafsiran saya sendiri yang berbeda. Mengapa? Oleh karena, kalau saya ikuti penafsiran Romo, maka jiwa Kalama-sutta itu menjadi terbalik, berbalik menganjurkan orang untuk mengikuti "norma masyarakat" dan mengikuti apa kata “orang-orang yang dituakan dalam masyarakat” (orang tua, tokoh masyarakat). Itu justru bertentangan dengan peringatan Sang Buddha di atas: "... jangan berpegang pada BERITA, pada LEGENDA, pada TRADISI, pada KITAB SUCI, ...", yang pada hakikatnya menyerukan agar orang berdiri sendiri dalam menentukan apa yang baik dan yang buruk. Justru Sang Buddha dalam khotbah kepada kaum Kalama bermaksud untuk mencegah orang dari mengekor pada legenda, tradisi dan bahkan kitab suci (Pitaka)!

Contoh konkrit: para orang tua dan tokoh masyarakat selalu menasehati agar anak-anak sering pergi ke Vihara, setiap Minggu. Itu adalah kearifan umum, kearifan masyarakat. Tapi ada orang yang merasa tidak perlu pergi ke vihara mengikuti kebaktian setiap Minggu. Apakah orang-orang ini "kurang baik" dibandingkan orang-orang yang pergi ke vihara setiap Minggu? Menurut saya, belum tentu. Mungkin saja orang-orang ini sudah tidak memerlukan lagi pergi ke vihara setiap Minggu, karena ia sudah bermeditasi vipassana setiap hari di rumah; atau mungkin saja orang-orang ini sudah merasa gerah dengan tradisi kebaktian Minggu, atau gerah dengan pergunjingan dan konflik pribadi yang banyak di dengarnya di kalangan umat vihara; berbagai alasan yang absah dikemukakan oleh mereka yang tidak pergi ke vihara, terlepas dari kemalasan atau ketakpedulian. Menurut saya, orang yang pergi ke vihara tidak bisa dikatakan lebih baik daripada orang yang tidak pergi ke vihara. Kebaikan seseorang tidak ditentukan oleh pergi/tidaknya ke vihara, melainkan oleh sadar/tidaknya orang tsb terhadap gerak-gerik pikirannya sendiri dalam kehidupannya sehari-hari.

Contoh kedua: berkaitan dengan kitab suci Tipitaka Pali. Sebagian umat Buddha percaya bahwa Abhidhamma Pitaka adalah ajaran Sang Buddha; sebagian umat Buddha yang lain tidak percaya bahwa Abhidhamma keluar dari mulut Sang Buddha. Manakah yang benar? Mungkin tidak bisa dipastikan lagi mana yang benar, tetapi bagaimana kita harus menyikapinya?

Sang Buddha sudah memberi peringatan: "... jangan berpegang pada legenda, tradisi, kitab suci ..." Maka saya selaku Pandita, kalau ditanya umat, akan menyampaikan lebih dulu peringatan yang datang dari mulut Sang Guru Agung sendiri, lalu menyampaikan adanya dua pendapat di kalangan umat Buddha, lalu menyilakan masing-masing orang untuk membuktikan sendiri berdasarkan petunjuk Sang Buddha dalam sutta yang sama: "Bila KAMU TAHU SENDIRI bahwa ‘sifat-sifat mental ini 'tidak baik, patut dicela, dikecam oleh orang arif, bila dilaksanakan menghasilkan kerugian dan penderitaan', maka tinggalkan itu. ... Bila KAMU TAHU SENDIRI bahwa 'sifat-sifat mental ini baik, tanpa cela, dipuji oleh orang arif, bila dilaksanakan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan', maka ikutilah itu." Mungkin saja ada umat yang merasa mendapat manfaat dari Abhidhamma Pitaka, maka ikuti itu. Sebaliknya, mungkin saja ada umat yang tidak mendapat manfaat apa-apa dari Abhidhamma Pitaka, malah terhambat meditasi vipassana-nya dengan segala pengetahuan hafalan dari Abhidhamma Pitaka, maka tinggalkan itu.

Di antara kriteria yang diberikan oleh Sang Buddha untuk menentukan baik dan tidak baiknya suatu sifat mental, ada dua hal yang perlu dikaji lebih mendalam, yakni:
1) patut dicela (savajja) atau tanpa cela (anavajja);
2) dikecam oleh orang arif (vinnu-garahita) atau dipuji oleh orang arif (vinnu-ppasattha).

Tentang kriteria #1, kata 'savajja' dan 'anavajja' tidak mengacu pada sumber tertentu yang diberi wewenang untuk mencela atau tidak mencela. Bila Romo berpandangan bahwa yang menentukan adalah "norma masyarakat" (yang hanya membuat orang kembali patuh & mengekor kepada masyarakat), maka saya berpendapat bahwa hal itu terpulang kepada masing-masing individu untuk menentukannya, berdasarkan pertimbangan dari kriteria lain yang diberikan oleh Sang Buddha dalam sutta ini. Jadi, ‘patut dicela/tanpa cela’ tidak boleh dipisahkan dari prinsip mandiri yang melandasi seluruh ajaran Buddha Dhamma. Kita bahkan harus mengesampingkan “norma masyarakat” dalam menentukan mana yang baik dan yang tidak baik.

Tentang kriteria #2, terdapat kesulitan untuk menentukan siapa 'orang arif' (vinnu) yang perlu didengarkan suaranya. Kalau Romo menyebutkan "orang tua", apakah semua orang tua itu arif? Jelas tidak! Kalau Romo menyebutkan "tokoh masyarakat (dalam agama apa pun)", lebih runyam lagi menentukan mana yang betul-betul "arif". Di kalangan Sangha, apakah semua bhikkhu itu arif? Apakah semua Pandita itu arif? Teorinya ya, tapi kenyataannya kadang-kadang jauh dari harapan. Dalam hal ini, sekali lagi saya selaku Pandita akan menyarankan kepada umat: "Pakailah pertimbanganmu sendiri. Di sinilah setiap orang harus BERTANGGUNG-JAWAB sendiri, dan tidak mengekor kepada orang lain. Bila Anda mengembangkan vipassana, maka Anda sendiri akan menjadi ‘orang arif’, sehingga Anda tidak perlu lagi mencari ‘orang arif’ di luar batin Anda sendiri. Itulah yang dimaksud Sang Buddha dengan: ‘Bila KAMU TAHU SENDIRI bahwa sifat-sifat mental ini dicela/dipuji oleh orang arif …."

Nah, demikianlah menurut hemat saya, di dalam Kalama-sutta Sang Buddha mengajarkan agar setiap orang mandiri untuk menentukan mana yang baik untuk diikuti, dan mana yang buruk untuk dihindari, tanpa bergantung pada legenda, tradisi, bahkan pada kitab suci dan guru sendiri, dan juga tidak bergantung pada pemikiran/perenungan, betapa pun logisnya. Ini berarti bahwa kita BERTANGGUNG-JAWAB untuk mengembangkan kesadaran (melalui meditasi vipassana) untuk bisa ‘TAHU SENDIRI’ mana yang baik dan mana yang tidak baik secara intuitif, bukan dengan pemikiran/perenungan. Dalam hal ini, kalau perlu kadang-kadang kita harus bertentangan dengan tradisi, dengan kitab suci atau dengan guru sendiri. Itulah kebebasan sejati, bukan hanya kebebasan dari hal-hal lahiriah, melainkan juga dari hal-hal batiniah yang didorong oleh pikiran dan si aku.

Jiwa Kalama-sutta seperti ini konsisten dengan sifat ajaran Sang Buddha secara keseluruhan, yakni anjuran agar orang bergantung pada pencerahan batin sendiri, bukan pada pencerahan orang lain:

“atta-dipa atta-sarana, anannya-sarana, dhamma-dipa dhamma sarana.”
(“Jadilah pelita bagi dirimu sendiri, berlindunglah pada dirimu sendiri, bukan pada orang lain; jadikan kebenaran sebagai pelita, berlindunglah pada kebenaran.”)

PS: “diri sendiri” (atta) maksudnya pencerahan dalam batin sendiri, bukan pemikiran/perenungan; “kebenaran” (dhamma) berarti pencerahan dalam batin sendiri, bukan ajaran orang lain/Buddha, bukan buku-buku Dhamma.

Salam,
Hudoyo
Situs Web MMD: http://meditasi-mengenal-diri.org
Forum Diskusi MMD: http://meditasi-mengenal-diri.ning.com