Kamis, 15 April 2010

Perkembangan pemikiran J.Krishnamurti selama 50 tahun

Catatan Hudoyo Hupudio

Perkembangan pemikiran J.Krishnamurti selama 50 tahun

Rekan-rekan pembaca yg baik,

Baru saja saya menemukan sebuah posting yang menarik: yakni ucapan Krishnamurti di masa awal kehidupannya sebagai guru spiritual, setelah dia dilaporkan mengalami proses pencerahan--yang melibatkan kesakitan fisik--di sekitar th 1926-1928. (Pada tahun 1929 dia membubarkan Perkumpulan Bintang Timur, yang mempunyai anggota ribuan di seluruh dunia dan yang diketuainya; perkumpulan itu didirikan oleh Annie Besant dan Kolonel Olcott--para petinggi Teosofi di kala itu--sebagai wadah untuk menyambut penampilan Krishnamurti sebagai "Guru Dunia", yang dipercaya akan terjadi tidak lama lagi.)

Dalam posting ini terasa adanya suatu pemahaman dan nuansa tertentu. Pertama, dia menyatakan bahwa dia telah mencapai sesuatu yang dinamakannya "realitas". Kedua, dia berbicara tentang jalan, tentang disiplin, dan tentang tujuan, yakni "cinta kasih yang impersonal ...," yang disebutnya sebagai "pemenuhan yang sempurna" [perfect fulfillment]. Ketiga, terasa ada nuansa 'mengkhotbahi' dan 'menasehati' para pendengarnya dalam ucapan-ucapan Krishnamurti di masa awal itu. Tulisan ini terbit pada tahun 1930-an.

Sebagai bahan perbandingan, saya tampilkan salah satu renungannya yang terakhir, yang direkam pada tahun 1984 (50 tahun setelah tulisan yang pertama), sekitar dua tahun sebelum ia meninggal dunia. Pada waktu itu ia berusia 89 tahun.

Di sini dia tidak lagi berbicara tentang "jalan", "disiplin" dan "tujuan". Alih-alih dia malah berbicara tentang 'kematian'. Dia berbicara tentang 'apa adanya', di dalam dan di sekitar kita.

Banyak pencari jalan spiritual merasa sulit "memahami" Krishnamurti. Mereka tidak mendapatkan apa yang mereka dambakan, yang mereka inginkan dari ucapan-ucapannya. Bahkan banyak orang spiritual menolak sudut pandang Krishnamurti, karena terasa tidak nyaman; karena dia mau tidak mau mendorong mereka untuk menengok ke dalam liku-liku batin sendiri, dan melihat apa yang tidak ingin mereka lihat di situ. Ada yang mengatakan Krishnamurti seorang pesimis, seorang nihilis, yang ajarannya tidak bermanfaat apa-apa.

Tapi saya kok malah merasa lebih "cocok" dengan tulisannya yang terakhir dibandingkan tulisannya yang pertama. Menurut saya, tulisannya yang pertama memberikan iming-iming spiritual, sama seperti yang diberikan oleh agama-agama dan banyak guru spiritual lainnya; sedangkan tulisan yang kedua bersifat mengejutkan, menggemparkan batin, dan menggugah saya dari rasa puas diri (a sense of complacency) dengan spiritualitas yang saya anut selama ini, dan menimbulkan dalam diri saya suatu 'rasa mendesak' (a sense of urgency), mendesak untuk menggarap batin saya sekarang juga, pada saat ini juga.

(Ini persis sama dengan Buddha Gautama, yang tidak pernah bicara tentang Tuhan dan memberikan iming-iming, melainkan cuma mengajarkan tiga corak dasar eksistensi: tidak kekal, tidak membahagiakan, dan tanpa aku, dan mengajarkan pembebasan dari kelekatan pada semua itu.)

Intisari dari uraian Krishnamurti yang terasa negatif, mencekam, dan menggemparkan itu saya lihat justru pada kalimatnya yang terakhir, pada satu kalimat itu saja! Satu kalimat yang oleh agama-agama dan banyak guru spiritual lain diuraikan panjang lebar tanpa ada manfaatnya, alih-alih malah menjadi iming-iming spiritual baru. Silakan baca sendiri kalimat itu. Soalnya sekarang, mampukah kita melihat/ mengalami sendiri apa yang dikatakannya itu?

Salam,
Hudoyo

(PS: Secara konseptual, kedua tulisan ini menggambarkan perkembangan sudut pandang Krishnamurti dari 'jalan negatif' yang setengah-setengah kepada 'jalan negatif' yang penuh dan konsisten.)

=======================

1. KRISHNAMURTI (1930-an):

"Nah, realitas ini adalah sesuatu yang saya nyatakan telah saya capai. Bagi saya, ini bukan konsep teologis. Ini adalah pengalaman hidup saya, pasti, nyata, konkrit. Oleh karena itu, saya dapat berbicara tentang apa yang diperlukan untuk mencapainya; dan saya katakan, yang pertama adalah mengenali dengan tepat apa yang harus terjadi dengan keinginan agar kita mencapai kepenuhan, dan kemudian mendisiplinkan diri kita sehingga setiap saat kita mengamati keinginan-keinginan kita sendiri, dan menuntun mereka menuju cinta kasih impersonal yang merangkul- semua, yang harus menjadi pemenuhan mereka yang sejati. Bila Anda telah menegakkan disiplin keadaan-sadar [awareness] yang terus- menerus, kewaspadaan terus-menerus terhadap semua yang Anda pikirkan, rasakan dan lakukan, maka kehidupan bukan lagi sesuatu yang menindas, melelahkan, membingungkan, seperti yang dirasakan oleh kebanyakan dari kita, alih-alih, ia menjadi suatu rangkaian kesempatan-kesempatan menuju pemenuhan yang sempurna [perfect fulfillment].

Oleh karena itu, tujuan hidup bukanlah sesuatu yang berada jauh, untuk dicapai di masa depan yang jauh, melainkan harus direalisasikan saat demi saat di saat kini, yang adalah keabadian."

(J. Krishnamurti, Early Works, circa 1930) [garis bawah dari saya/hh]


==============================

2. KRISHNAMURTI (1984):

"Mengapa manusia mati dengan begitu sengsara, begitu tidak berbahagia, dirundung penyakit, usia lanjut, uzur, tubuh lapuk, jelek? Mengapa mereka tidak dapat mati secara wajar dan seindah daun ini? Apakah yang tidak beres dengan diri kita? Kendatipun ada banyak dokter, obat dan rumah sakit, operasi, serta segenap kepedihan hidup, dan juga kenikmatannya, tampaknya kita tidak mampu mati dengan bermartabat, dengan kesederhanaan, dan dengan seulas senyum.

Pada suatu kali, ketika berjalan di sebuah lorong, kami mendengar di belakang kami suatu kidung, merdu, berirama, dengan kekuatan bahasa Sansekerta kuno. Kami berhenti dan berpaling. Seorang anak sulung, bertelanjang dada, membawa sebuah poci tanah liat dengan api yang menyala di dalamnya. Ia membawanya di dalam sebuah wadah yang lebih besar, dan di belakangnya berjalan dua orang memikul tandu yang berisi mayat ayahnya, terbungkus kain putih, dan mereka semua melantunkan kidung. Kami tahu kidung itu, dan kami hampir-hampir ikut menyanyikannya. Mereka lewat dan kami mengikuti mereka. Mereka menelusuri jalan menurun sambil menyanyi, dan anak sulung itu mencucurkan air mata. Mereka membawa mayat ayahnya ke pantai, tempat mereka telah menyiapkan setumpukan tinggi kayu bakar. Mereka meletakkan mayat itu di atas onggokan kayu itu, dan mulai membakarnya. Semua itu begitu alamiah, begitu sederhana luar biasa: tiada bunga, tiada kereta jenazah, tiada kereta hitam dengan kuda hitam. Semuanya begitu hening dan begitu bermartabat. Dan kami memandang sehelai daun, dan ribuan daun di pohon. Musim dingin memisahkan daun itu dari induknya dan mencampakkannya di jalan; dan tak lama lagi daun itu akan layu dan mengering sepenuhnya, pergi, terbawa angin dan lenyap.

Sementara Anda mengajarkan kepada anak-anak matematika, menulis, membaca dan segala kesibukan menimbun pengetahuan, mereka juga harus diajar tentang martabat kematian, bukan sebagai sesuatu yang menyedihkan dan tidak membahagiakan, yang pada akhirnya harus kita hadapi, melainkan sebagai suatu bagian dari kehidupan sehari-hari--kehidupan sehari-hari yang memandang langit biru dan seekor belalang di atas sehelai daun. Itu adalah bagian dari belajar, seperti tumbuhnya gigi serta semua ketidaknyamanan penyakit-penyakit kanak-kanak. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa. Jika Anda melihat hakekat kematian, Anda tidak menjelaskan bahwa segala sesuatu akan mati, dari debu kembali ke debu, dan sebagainya, melainkan tanpa rasa takut Anda menjelaskannya kepada mereka dengan lembut dan membuat mereka merasa bahwa yang hidup dan yang mati adalah satu--bukan pada akhir kehidupan kita sesudah lima puluh, enam puluh atau sembilan puluh tahun, melainkan bahwa kematian adalah seperti daun itu. Lihatlah orang-orang tua, laki-laki dan perempuan, betapa mereka tampak renta, putus asa, tidak bahagia dan jelek. Tidakkah itu karena mereka tidak sungguh-sungguh memahami yang hidup dan yang mati? Mereka telah menghabiskan hidup mereka, mereka telah membuang-buang kehidupan mereka dengan konflik-konflik yang tak berkeputusan, yang hanya melatih dan menguatkan diri, sang 'aku', ego. Kita menghabiskan hari-hati kita dalam berbagai konflik dan ketidakbahagiaan itu, dengan sedikit suka cita dan kesenangan, minum, merokok, bergadang dan bekerja, bekerja, bekerja. Dan pada akhir kehidupan kita, kita menghadapi apa yang dinamakan 'kematian', lalu merasa takut terhadapnya. Kita berpendapat itu dapat dipahami, dapat dirasakan secara mendalam. Seorang anak dengan rasa ingin tahunya dapat dibantu untuk memahami bahwa kematian bukanlah sekadar rusaknya badan karena suatu penyakit, usia tua atau suatu kecelakaan yang tak diharapkan, melainkan bahwa akhir dari setiap hari adalah juga akhir dari diri kita setiap hari.

Tidak ada kebangkitan kembali [resurrection], itu adalah takhyul, kepercayaan dogmatik. Segala sesuatu di muka bumi ini, hidup, mati, muncul dan layu. Untuk menangkap seluruh gerak kehidupan ini dibutuhkan kecerdasan [intelligence], bukan kecerdasan pikiran, atau buku, atau pengetahuan, melainkan kecerdasan cinta dan welas asih beserta kepekaannya. Kita amat yakin, jika si pendidik memahami makna kematian dan martabatnya, kesederhanaan yang luar biasa dari kematian--memahaminya bukan secara intelektual, melainkan secara mendalam--maka ia mungkin akan dapat menyampaikan kepada para siswa, kepada anak, bahwa kematian, pengakhiran, tidak perlu dihindari, bukan sesuatu yang perlu ditakuti, oleh karena ia adalah bagian dari keseluruhan hidup kita, sehingga ketika siswa, anak itu tumbuh, ia tidak akan pernah takut akan pengakhiran. Jika seluruh manusia yang pernah hidup sebelum kita, generasi demi generasi di masa lampau, masih hidup di dunia ini, betapa mengerikannya itu. Permulaan bukanlah pengakhiran.

Dan kita ingin membantu--bukan, itu bukan kata yang tepat--kita ingin di dalam pendidikan membawa kematian ke dalam semacam realitas, aktualitas, bukan tentang seseorang yang mati, melainkan tentang masing-masing dari kita, betapa pun tua atau muda, yang pada akhirnya harus menghadapi hal itu. Itu bukan peristiwa yang menyedihkan, yang penuh air mata, kesepian, dan perpisahan. Kita begitu mudah membunuh, bukan hanya hewan untuk kita makan, tetapi juga pembunuhan yang tidak perlu untuk hiburan, yang disebut olah raga--membunuh rusa karena sekarang musim berburu rusa. Membunuh seekor rusa adalah seperti membunuh tetangga Anda. Anda membunuh binatang karena Anda kehilangan kontak dengan alam, dengan seluruh yang hidup di muka bumi ini. Anda membunuh dalam perang, demi begitu banyak ideologi yang romantik, nasionalistik, politis. Atas nama Tuhan Anda membunuh manusia. Kekerasan dan pembunuhan bergandengan tangan.

Selagi kita memandang daun yang mati dengan seluruh keindahan dan warnanya, mungkin kita akan memahami, menyadari dengan sangat dalam, bagaimana sebenarnya kematian kita sendiri, bukan pada akhirnya nanti, melainkan sejak awal sekali. Kematian bukanlah sesuatu yang mengerikan, sesuatu untuk dihindari, sesuatu untuk ditunda, melainkan sesuatu untuk diakrabi hari demi hari. Dan dari situ muncullah rasa kemahaluasan [immensity] yang luar biasa."

("Krishnamurti to Himself, His Last Journal", 1987, hal.132-4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar