Kamis, 15 April 2010

Kisah Bernadette Roberts: Bebas tanpa melalui vipassana/Buddha Dhamma

Catatan Hudoyo Hupudio: Kisah Bernadette Roberts: Bebas tanpa melalui vipassana/Buddha Dhamma


Kisah Bernadette Roberts: Bebas tanpa melalui vipassana/Buddha Dhamma

@Riky: Ini satu kisah nyata bagaimana seseorang bisa mencapai lenyapnya aku (salah satu ciri penting orang yg bebas) tanpa melalui meditasi vipassana:

Bernadette Roberts lahir di lingkungan keluarga Katolik yg saleh di negara bagian California, A.S.

Sejak kecil ia mempunyai bakat untuk bermeditasi, duduk diam di kamarnya. Ayah & ibunya mendorong bakat Bernadette ini.

Pada usia 15 tahun ia masuk biara, menjadi suster (biarawati). Tujuannya adalah untuk mengembangkan bakat meditasinya.

Menurut ajaran mistisisme Kristen, tujuan meditasi adalah untuk menyatu dengan Tuhan. Itu adalah tujuan tertinggi. Di situ masih ada 'aku'; hanya saja pada puncaknya, 'aku' itu tidak terpisah dari Tuhan.

Di dalam biara itu, Bernadette mengaku telah mencapai tujuan tertinggi mistisisme Kristen itu. Setiap malam ia masuk ke dalam lubuk batinnya yang dinamakannya "the still point" (titik hening), dan berada bersama Tuhan, yg diibaratkannya seperti sekeping mata uang, di satu sisi Tuhan dan di sisi lain Bernadette, dan tidak bisa dipisahkan. Digambarkannya keadaan itu seperti suasana yg hening, aman & damai, di mana tidak ada gangguan pikiran & keinginan bisa masuk.

Bernadette sampai pada kemampuan untuk masuk dan keluar dari 'titik hening' itu kapan saja dia mau.

Pada usia 25 tahun, ia lepas jubah. Alasannya tidak ada apa-apa lagi yg perlu dikerjakan dan perlu dicapai di dalam biara. Malah, menurut dia, keberadaan bersama Tuhan itu harus diuji "di pasar", dalam kehidupan masyarakat ramai.

Ia menikah, dan punya empat anak laki-laki. Ia kuliah lagi, mencapai gelar S2 di bidang pendidikan, lalu mengajar di sebuah SMU. Sementara itu ia tetap menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga.

Begitulah kehidupannya berlangsung selama 20 tahun. Setiap malam ia tetap bermeditasi, masuk ke dalam "titik hening", "menyatu dengan Tuhan". Suami dan anak-anaknya sangat mendukung kelakuan ibu mereka yg "aneh" itu.

***

Dua puluh tahun kemudian terjadilah suatu peristiwa dahsyat, yg tidak diharapkannya dan tidak pernah terpikir dalam benak Bernadette.

Ingat, ia seorang Katolik; ia tidak pernah membaca buku-buku spiritual atau mistikal dari Timur (Buddhis, Hindu dsb).

Selama itu, yg diketahuinya hanyalah buku-buku pintar bagi para biarawan/-wati Katolik, yg ditulis oleh St Yohanes dari Salib dan St Teresa dari Avila. Tujuan mistisisme Katolik dalam kedua buku itu adalah "penyatuan dengan Tuhan". Tidak pernah terpikirkan olehnya kemungkinan diri/aku ini bisa lenyap.

Pada suatu malam, ketika ia akan masuk ke dalam "titik hening", ia tidak bisa menemukan "titik hening" itu. Alih-alih, ia hanya melihat semacam "lubang hitam" di dalam batinnya. "Lubang hitam" itu semakin membesar, memenuhi seluruh dirinya, lalu meletus seperti balon. Ia merasa jatuh dari lift yang putus rantainya setinggi 100 lantai ke bawah.

Sesampai di "bawah", ia membuka mata, dan melihat segala sesuatu di sekelilingnya, di kamarnya, tidak ada yg berubah. Tetapi ada satu perubahan besar: ia tidak bisa merasakan batinnya sendiri! Tidak ada emosi; tidak ada rasa-aku, sebagai pusat yg melihat ke sekelilingnya. Tidak ada lagi aku, subjek, yg berhadapan dengan objek. Semuanya adalah objek, bahkan tubuhnya sendiri pun dilihatnya sebagai objek, yg tidak berbeda tubuh-tubuh orang lain. Tidak ada subjek, yg merasa menjadi pusat dari keberadaannya.

Tidak ada emosi; tidak ada rasa senang, bahagia, dan tidak ada rasa susah, menderita. Tubuh tetap ada, pancaindra tetap berfungsi sempurna, intelek & ingatan yg bersifat faktual tetap ada, tapi tidak ada lagi aku/subjek di dalam batinnya. Tubuh ada, rasa sakit jasmani ada, tapi tidak ada lagi rasa menderita karena sakit jasmani itu.

Ia harus belajar lagi beradaptasi selama dua tahun untuk kembali bisa berfungsi sebagai anggota keluarga & masyarakat yg "normal". Ia harus belajar untuk melihat laki-laki suaminya berbeda dengan laki-laki lain, sekalipun tidak ada lagi perasaan laki-laki itu adalah "suami-KU". Begitu pula ia harus mempelajari kembali perannya sebagai ibu bagi keempat anaknya yg sudah remaja; keempat anak itu berbeda dengan remaja-remaja teman-teman mereka yg lain, sekalipun dalam batinnya tidak ada lagi perasaan "Mereka itu anak-anak-KU".

***

Dan yang paling menarik ialah, ketika diri/aku-nya lenyap pada peristiwa malam itu, bersama dengan itu maka Tuhan yg dikenalnya pun LENYAP! Ia tidak bisa lagi menemukan Tuhan yg selama itu dikenalnya dan dengan siapa ia berada di dalam "titik hening" setiap malam selama dua puluh tahun lebih.

Tetapi sebagai gantinya, ke mana pun ia memandang, dalam mata batinnya ia melihat ada SESUATU YANG LAIN. 'Sesuatu yg lain' ini dilihatnya meresapi segala sesuatu yg ada dalam pandangannya. Dan secara INTUITIF ia tahu, bahwa 'sesuatu yg lain' itu adalah sumber segala sesuatu yg ada di alam semesta ini, dan ke mana segala sesuatu akan kembali.

Ayah teringat akan Udana 8.3: "Ada sesuatu yg tak terlahirkan, tak terbentuk, tak berproses, tak terkondisi."

***

Sampai sekarang Bernadette Roberts masih hidup. Tapi ia tidak bisa dihubungi, karena tidak punya alamat email. Teman-teman Bernadette membuatkan sebuah website/blog tentang dia, "Bernadette's Friends", http://bernadettesfriends.blogspot.com/

Kisah pengalaman spiritual Bernadette Roberts ini tertuang dalam buku yang ditulisnya dua tahun setelah lenyapnya aku/dirinya, "The Experience of No-Self". Buku itu telah Ayah terjemahkan, "Pengalaman Tanpa-Diri", dan bisa diunduh dari http://meditasi-mengenal-diri.org/mmd_download_ebooks.html

Ini satu contoh nyata di mana orang bisa mencapai lenyapnya aku/diri tanpa melalui meditasi vipassana, bahkan tanpa melalui Buddha Dhamma.

1 komentar:

  1. Ya bisa tanpa kenal Dhamma tapi lama dan bingung seperti itu.Kalau belajar meditasi Buddhist maka dia lebih terarah dan

    BalasHapus