Senin, 08 Maret 2010

Kalama Sutta

KALAMA-SUTTA [Re: PESAN SINGKAT YM SRI PANNYAVARO MAHATHERA]
• Posted by Hudoyo Hupudio on August 1, 2009 at 11:30am
• Send Message View Hudoyo Hupudio's blog

--- In Theravada-l@yahoogroups.com, willie japaries wrote:
>
> Dear Romo & TS Hudoyo,
> Thx for quick and kind reply.
>
> Menurut hemat saya, Dhamma yg perlu kita junjung tinggi adalah yg setelah kita baca atau dengar dan kita pahami, isinya bermanfaat, tidak tercela (tidak bertentangan dgn norma di masyarakat), hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana (orang tua, tokoh masyarakat dari agama apapun); lebih lanjut jika dilaksanakan dan dipraktekkan akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan (tentu bagi si pelaku maupun lingkungannya), maka Dhamma itulah yg patut dan harus kita jalankan.
>
> Demikianlah yg saya pahami dari yg saya dengar dari ceramah maupun sy baca di AN, III,65, "Kepada Suku Kalama", atau yg lebih dikenal dgn Kalama Sutta.
> Jadi, Dhamma tsb. mencakup semua ajaran agama, tradisi, keyakinan, juga iptek, sejauh memenuhi kriteria tersebut, patut kita jalankan.
>
> Demikian pendapat saya, semoga dapat turut membawa kebahagiaan bagi semuanya,
> WJ

==================================================

Romo Japaries yg baik,

Terima kasih telah mengingatkan saya pada Kalama-sutta. Marilah saya terjemahkan & kutipkan seteliti mungkin bagian sutta itu yang relevan, dengan menghapus sisipan-sisipan dalam tanda kurung yang Romo berikan terhadap teks aslinya:


"Marilah, kaum Kalama; jangan berpegang pada berita, pada legenda, pada tradisi, pada KITAB SUCI (ma pitaka sampadanena), pada pertimbangan logis, pada kesimpulan, pada analogi, pada kekonsistenan dengan aturan-aturanmu, pada peluang, atau pada pendapat 'PETAPA (samano) INI GURU KAMI'.

Bila kamu TAHU SENDIRI bahwa 'sifat-sifat mental ini tidak baik, patut dicela, dikecam oleh orang arif, bila dilaksanakan menghasilkan kerugian dan penderitaan', maka tinggalkan itu.

Bila kamu TAHU SENDIRI bahwa 'sifat-sifat mental ini baik, tanpa cela, dipuji oleh orang arif, bila dilaksanakan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan', maka ikutilah itu." [Kalama-sutta, AN 3.65, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Thanissaro Bhikkhu]


Catatam:
(1) Romo tidak mengikutsertakan PERINGATAN yang diberikan oleh Sang Buddha sebelum bagian yang Romo kutip. JUSTRU PERINGATAN INILAH YANG SANGAT PENTING! Peringatan ini menepis banyak pertimbangan yang sering dipakai oleh masyarakat untuk menentukan sesuatu itu benar atau tidak. Mengabaikan peringatan ini justru menghilangkan makna penting dari Kalama-sutta itu seluruhnya! Semoga Romo tidak melupakan itu ketika memberikan Dhammadesana di kebaktian-kebaktian di vihara.

(2) Romo menerjemahkan: "Dhamma yg perlu kita junjung tinggi adalah yg setelah kita BACA atau DENGAR dan kita PAHAMI ..." Dalam terjemahan itu terkesan bahwa kita cukup membaca/mendengar sebuah ajaran (Dhamma), lalu memahami (tentu setelah merenungkannya) untuk menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Ini tampak bertentangan dengan peringatan Sang Buddha sebelumnya: "... jangan berpegang pada berita, pada legenda, pada tradisi, pada kitab suci, pada PERTIMBANGAN LOGIS, pada KESIMPULAN, pada ANALOGI, pada KEKONSISTENAN DENGAN ATURAN-ATURANMU, pada PELUANG, atau pada PENDAPAT 'PETAPA INI GURU KAMI'." Jelas Sang Buddha menyatakan agar kita tidak berpegang pada hasil kesimpulan pemikiran/perenungan kita sendiri. Mengapa? Karena pemikiran seorang puthujjana—seperti Romo dan saya--SELALU terdistorsi oleh ‘avijja’ dan ‘asava’. Tidak ada pemikiran puthujjana yang seratus persen benar/objektif.

Saya menerjemahkan: "Bila KAMU TAHU SENDIRI bahwa 'SIFAT-SIFAT MENTAL INI 'tidak baik, patut dicela, dikecam oleh orang arif, bila dilaksanakan menghasilkan kerugian dan penderitaan', maka tinggalkan itu."

Di sini saya memahami "kamu tahu sendiri" bukanlah hasil "membaca/mendengar, meerenungkan, dan menyimpulkan," dengan demikian tidak bertentangan dengan peringatan yang diberikan oleh Sang Buddha sebelumnya. "Kamu tahu sendiri" menurut hemat saya adalah hasil PENGALAMAN BATIN (yang dicapai dalam meditasi vipassana), bukan hasl pemikiran dan penyimpulan.

Catatan kecil: Romo menulis ‘dhamma’ dengan inisial kapital “Dhamma”, yang berarti “ajaran”. Boleh-boleh saja menafsirkan ‘dhamma’ sebagai “ajaran”. Tetapi saya menafsirkan ‘dhamma’ sebagai ‘sifat-sifat mental’ (mengikuti Thanissaro Bhikkhu). Sifat-sifat mental itulah yang kalau dilaksanakan, bila baik, akan mendatangkan kesejahteraan & sukacita, dan bila buruk, akan mendatangkan kerugian & penderitaan. Sedangkan sebuah buku yang berisi sebuah ajaran (Dhamma) tidak bisa menghasilkan apa-apa tanpa lebih dulu memperngaruhi sifat-sifat mental seseorang.—Yah, ini soal kecil. Sekarang soal yang jauh lebih penting.

(3) Romo memberikan beberapa sisipan pada teks aslinya, yang tentu saja merupakan penafsiran Romo pribadi atas makna teks itu. Dua di antara sisipan itu adalah:
(1) tidak tercela (tidak bertentangan dgn norma di masyarakat);
(2) dipuji oleh para bijaksana (orang tua, tokoh masyarakat dari agama apapun)

Maaf, ya, saya tidak setuju sama sekali dengan penafsiran Romo itu, dan mempunyai penafsiran saya sendiri yang berbeda. Mengapa? Oleh karena, kalau saya ikuti penafsiran Romo, maka jiwa Kalama-sutta itu menjadi terbalik, berbalik menganjurkan orang untuk mengikuti "norma masyarakat" dan mengikuti apa kata “orang-orang yang dituakan dalam masyarakat” (orang tua, tokoh masyarakat). Itu justru bertentangan dengan peringatan Sang Buddha di atas: "... jangan berpegang pada BERITA, pada LEGENDA, pada TRADISI, pada KITAB SUCI, ...", yang pada hakikatnya menyerukan agar orang berdiri sendiri dalam menentukan apa yang baik dan yang buruk. Justru Sang Buddha dalam khotbah kepada kaum Kalama bermaksud untuk mencegah orang dari mengekor pada legenda, tradisi dan bahkan kitab suci (Pitaka)!

Contoh konkrit: para orang tua dan tokoh masyarakat selalu menasehati agar anak-anak sering pergi ke Vihara, setiap Minggu. Itu adalah kearifan umum, kearifan masyarakat. Tapi ada orang yang merasa tidak perlu pergi ke vihara mengikuti kebaktian setiap Minggu. Apakah orang-orang ini "kurang baik" dibandingkan orang-orang yang pergi ke vihara setiap Minggu? Menurut saya, belum tentu. Mungkin saja orang-orang ini sudah tidak memerlukan lagi pergi ke vihara setiap Minggu, karena ia sudah bermeditasi vipassana setiap hari di rumah; atau mungkin saja orang-orang ini sudah merasa gerah dengan tradisi kebaktian Minggu, atau gerah dengan pergunjingan dan konflik pribadi yang banyak di dengarnya di kalangan umat vihara; berbagai alasan yang absah dikemukakan oleh mereka yang tidak pergi ke vihara, terlepas dari kemalasan atau ketakpedulian. Menurut saya, orang yang pergi ke vihara tidak bisa dikatakan lebih baik daripada orang yang tidak pergi ke vihara. Kebaikan seseorang tidak ditentukan oleh pergi/tidaknya ke vihara, melainkan oleh sadar/tidaknya orang tsb terhadap gerak-gerik pikirannya sendiri dalam kehidupannya sehari-hari.

Contoh kedua: berkaitan dengan kitab suci Tipitaka Pali. Sebagian umat Buddha percaya bahwa Abhidhamma Pitaka adalah ajaran Sang Buddha; sebagian umat Buddha yang lain tidak percaya bahwa Abhidhamma keluar dari mulut Sang Buddha. Manakah yang benar? Mungkin tidak bisa dipastikan lagi mana yang benar, tetapi bagaimana kita harus menyikapinya?

Sang Buddha sudah memberi peringatan: "... jangan berpegang pada legenda, tradisi, kitab suci ..." Maka saya selaku Pandita, kalau ditanya umat, akan menyampaikan lebih dulu peringatan yang datang dari mulut Sang Guru Agung sendiri, lalu menyampaikan adanya dua pendapat di kalangan umat Buddha, lalu menyilakan masing-masing orang untuk membuktikan sendiri berdasarkan petunjuk Sang Buddha dalam sutta yang sama: "Bila KAMU TAHU SENDIRI bahwa ‘sifat-sifat mental ini 'tidak baik, patut dicela, dikecam oleh orang arif, bila dilaksanakan menghasilkan kerugian dan penderitaan', maka tinggalkan itu. ... Bila KAMU TAHU SENDIRI bahwa 'sifat-sifat mental ini baik, tanpa cela, dipuji oleh orang arif, bila dilaksanakan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan', maka ikutilah itu." Mungkin saja ada umat yang merasa mendapat manfaat dari Abhidhamma Pitaka, maka ikuti itu. Sebaliknya, mungkin saja ada umat yang tidak mendapat manfaat apa-apa dari Abhidhamma Pitaka, malah terhambat meditasi vipassana-nya dengan segala pengetahuan hafalan dari Abhidhamma Pitaka, maka tinggalkan itu.

Di antara kriteria yang diberikan oleh Sang Buddha untuk menentukan baik dan tidak baiknya suatu sifat mental, ada dua hal yang perlu dikaji lebih mendalam, yakni:
1) patut dicela (savajja) atau tanpa cela (anavajja);
2) dikecam oleh orang arif (vinnu-garahita) atau dipuji oleh orang arif (vinnu-ppasattha).

Tentang kriteria #1, kata 'savajja' dan 'anavajja' tidak mengacu pada sumber tertentu yang diberi wewenang untuk mencela atau tidak mencela. Bila Romo berpandangan bahwa yang menentukan adalah "norma masyarakat" (yang hanya membuat orang kembali patuh & mengekor kepada masyarakat), maka saya berpendapat bahwa hal itu terpulang kepada masing-masing individu untuk menentukannya, berdasarkan pertimbangan dari kriteria lain yang diberikan oleh Sang Buddha dalam sutta ini. Jadi, ‘patut dicela/tanpa cela’ tidak boleh dipisahkan dari prinsip mandiri yang melandasi seluruh ajaran Buddha Dhamma. Kita bahkan harus mengesampingkan “norma masyarakat” dalam menentukan mana yang baik dan yang tidak baik.

Tentang kriteria #2, terdapat kesulitan untuk menentukan siapa 'orang arif' (vinnu) yang perlu didengarkan suaranya. Kalau Romo menyebutkan "orang tua", apakah semua orang tua itu arif? Jelas tidak! Kalau Romo menyebutkan "tokoh masyarakat (dalam agama apa pun)", lebih runyam lagi menentukan mana yang betul-betul "arif". Di kalangan Sangha, apakah semua bhikkhu itu arif? Apakah semua Pandita itu arif? Teorinya ya, tapi kenyataannya kadang-kadang jauh dari harapan. Dalam hal ini, sekali lagi saya selaku Pandita akan menyarankan kepada umat: "Pakailah pertimbanganmu sendiri. Di sinilah setiap orang harus BERTANGGUNG-JAWAB sendiri, dan tidak mengekor kepada orang lain. Bila Anda mengembangkan vipassana, maka Anda sendiri akan menjadi ‘orang arif’, sehingga Anda tidak perlu lagi mencari ‘orang arif’ di luar batin Anda sendiri. Itulah yang dimaksud Sang Buddha dengan: ‘Bila KAMU TAHU SENDIRI bahwa sifat-sifat mental ini dicela/dipuji oleh orang arif …."

Nah, demikianlah menurut hemat saya, di dalam Kalama-sutta Sang Buddha mengajarkan agar setiap orang mandiri untuk menentukan mana yang baik untuk diikuti, dan mana yang buruk untuk dihindari, tanpa bergantung pada legenda, tradisi, bahkan pada kitab suci dan guru sendiri, dan juga tidak bergantung pada pemikiran/perenungan, betapa pun logisnya. Ini berarti bahwa kita BERTANGGUNG-JAWAB untuk mengembangkan kesadaran (melalui meditasi vipassana) untuk bisa ‘TAHU SENDIRI’ mana yang baik dan mana yang tidak baik secara intuitif, bukan dengan pemikiran/perenungan. Dalam hal ini, kalau perlu kadang-kadang kita harus bertentangan dengan tradisi, dengan kitab suci atau dengan guru sendiri. Itulah kebebasan sejati, bukan hanya kebebasan dari hal-hal lahiriah, melainkan juga dari hal-hal batiniah yang didorong oleh pikiran dan si aku.

Jiwa Kalama-sutta seperti ini konsisten dengan sifat ajaran Sang Buddha secara keseluruhan, yakni anjuran agar orang bergantung pada pencerahan batin sendiri, bukan pada pencerahan orang lain:

“atta-dipa atta-sarana, anannya-sarana, dhamma-dipa dhamma sarana.”
(“Jadilah pelita bagi dirimu sendiri, berlindunglah pada dirimu sendiri, bukan pada orang lain; jadikan kebenaran sebagai pelita, berlindunglah pada kebenaran.”)

PS: “diri sendiri” (atta) maksudnya pencerahan dalam batin sendiri, bukan pemikiran/perenungan; “kebenaran” (dhamma) berarti pencerahan dalam batin sendiri, bukan ajaran orang lain/Buddha, bukan buku-buku Dhamma.

Salam,
Hudoyo
Situs Web MMD: http://meditasi-mengenal-diri.org
Forum Diskusi MMD: http://meditasi-mengenal-diri.ning.com

2 komentar:

  1. menurut saya pendapat pak hudoyo sangat realita, sangat bagus, meskipun kedengaran ekstrim tapi memang begitu adanya, sangat apa adanya.
    Saya setuju dengan pendapat seperti ini, tidak membelenggu, tidak membuat orang menyandar, tidak melenakan, tidak memberi mimpi-mimpi, tetapi membuat orang tersadar bahwa semua yang ada disekeliling kita, semua yang kita pahami, semua yang kita baca, semua yang kita percaya, yang kita anut belum tentu kebenarannya sebelum diri kita sendiri membuktikannya.

    salam kenal...

    BalasHapus
  2. pendapat pak hudoyo ini mirip seperti pendapat J.Krishnamurti kalau saya tidak salah baca....
    tapi sebelumnya mohon maaf..karena saya berlatar belakang muslim....

    BalasHapus