Yang-Tradisi
yang Mendahului
Yang-Modern
Herman Achmad Marup
Pendahuluan
Bekerja secara filosofis berbeda dengan tradisi-tradisi sosiologis, politis, anthropologis, atau bahkan javanologis. Pendekatan filosofis dalam buku ini menggunakan piranti analisis yang disebut Immanuel Kant (1724-1804) sebagai streben atau sebuah upaya identifikasi sekaligus terhadap pikiran (yang-mengidentifikasi) dan obyeknya (yang-diidentifikasi), atau -dalam tradisi Cartesian- cogito dan cogitatumnya. Bagi para pandemen diskusi budaya Jawa dan ke-Jawa-an/kejawen mungkin teknik diskusi semacam ini akan terasa asing, karena tidak lazim dipergunakan. Apalagi jika belum pernah membaca teks-teks filsafat, diskusi demikian ini akan menimbulkan pertanyaan: ”Buat apa diskusi semacam ini?” Atau ”membahas budaya Jawa itu kan harus dengan olah rasa bukan olah logika?” Inilah yang disebut dengan diskusi yang menggunakan pendekatan metamistis atau –dalam istilah saya: metakejawen. Disebut demikian karena ia menggunakan pendekatan-pendekatan, teknik-teknik dan metode-metode berpikir filosofis. Ia tidak berpikir sebagaimana sains yang melandaskan diri pada hipotesis dan suatu persepsi. Ia melampaui prinsipium identitatis Aristoteles, bahwa A adalah A. Atau Jawa ya Jawa bukan yang lain. Atau kejawen ya kejawen, bukan yang lain. Berpikir metakejawen melakukan transendensi terhadap budaya Jawa dan tradisi analisis dalam kejawen. Sehingga ia bukan pula suatu Javanologi. Berpikir metakejawen itu berfilsafat.
Filsafat bukan pengganti verbal untuk dunia atau suatu kamus (leksikon) di mana dunia diubah menjadi sebuah obrolan. Filsafat adalah kesenian bertanya. Dengan bertanya, sang filsuf hendak membujuk dunia -yang misterius- supaya berkenan melepaskan (menyibakkan, pen.) beberapa dari rahasia yang dikandungnya.
Tetapi berfilsafat dalam tulisan ini bukan sekedar berpikir tentang sesuatu pranata konsep yang dilekatkan kepada tradisi mistisisme Jawa/kejawen yang dipandang dari luar. Sehingga kejawen sebagai subyek yang diidentifikasi tersebut hanya menjadi korban penerapan anggapan-anggapan logis semata, tanpa mempedulikan hayatan-hayatan pengalaman hidup mistis Jawa yang sesungguhnya. Filsafat demikian hanya akan menjadi sebuah percobaan interpretasi atau tafsir atas subyek yang diidentifikasi. Kerja berpikir seperti ini hanya melandaskan operasi-operasi logisnya pada suatu filsafat yang semata-mata spekulatif. Tatanan konsep –yang telah disusun sebelumnya- dicoba-lekatkan kepada fakta hayatan hidup secara asumtif. Pendekatan-pendekatan spekulatif demikian ini hanya membawa kepada penyimpangan-penyimpangan serius dalam penyimpulannya. Berfilsafat yang dimaksud dalam tulisan ini harus dimaknai sebagai upaya mengkomunikasikan hayatan-hayatan pengalaman hidup dalam semesta kejawen dalam analisis dan refleksi-refleksi filosofis. Jadi ia adalah berfilsafat -atau berefleksi secara filosofis- yang merupakan eksternalisasi pada ”tingkatan kedua” dari hayatan-hayatan pengalaman hidup dalam semesta kejawen itu sendiri.
Pendekatan terhadap refleksi filosofis metamistis/metakejawen bisa menggunakan deskripsi chiffermetafisika Karl Jaspers (1883-1969) . Chiffer atau sifr adalah pesan, jejak-jejak, atau gema dari transendensi. Ia adalah suatu bahasa. Terdapat tiga bahasa dari chiffermetafisika. Bahasa pertama, bahasa yang ”didengar” saat mengalami realitas mistis, atau dalam chiffermetafisika disebut saat membaca chiffer. Pengalaman ini tak mungkin diungkapkan dengan kata-kata. Bahasa obyektif mengandaikan distingsi subyek-obyek. Dalam pengalaman mistik dan chiffer-chiffer untuk sementara subyek-obyek dan manusia-ilahiy dipersatukan. Tetapi begitu mengartikulasikan pengalaman ini, seketika terjadi distingsi kembali antara subyek-obyek dan manusia-ilahiy. Karenanya artikulasi pengalaman mistik selalu tak memuaskan. Ia hilang ketika dibicarakan. Bahasa kedua, yakni cerita, mitos, simbol, chiffer, atau konsep, yang ”membahasakan” bahasa pertama. Ia bisa berupa mitologi-mitologi, teks-teks suci, mistikologi atau mistisisme. Bahasa ketiga, yakni bahasa spekulatif dari metafisika. Ia adalah refleksi filosofis, karena manusia rasional berjarak dengan bahasa kedua. Manusia rasional mengalami krisis refleksi, sehingga memerlukan artikulasi spekulatif filosofis dari bahasa kedua maupun pertama. Ia menjadi metabahasa.
Gaya berpikir strukturalistis bisa juga dipergunakan untuk memahami kerja pikiran metakejawen. Setidaknya pada Roland Barthes (1915-1980), Semiologi yang digagasnya tersusun atas dua tingkatan sistem bahasa. Bahasa di tingkatan pertama merupakan suatu sistem tanda yang disebutnya denotasi atau sistem terminologis. Pada tingkatan kedua bahasa menjadi sebuah sistem analisis terhadap seluruh eksternalisasi denotatif ini. Secara semiologis, bahasa merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan petanda. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda di tingkat pertama sebagai petanda baru. Petanda baru ini kemudian memiliki penanda barunya sendiri. Petanda dan penanda ”baru” ini kemudian menjadi sistem tanda baru (bahasa) pada taraf yang lebih tinggi. Pada taraf ini sistem tandanya disebut sebagai konotasi atau sistem retoris. Refleksi-refleksi filosofis di ”tingkatan kedua” ini, atau kajian pada sistem tanda tingkatan kedua ini disebut metabahasa.
Pendekatan lainnya adalah terdapat dalam tradisionalisme muslim Persia. Menurut Yazdi terdapat suatu ultimasi mistisisme yakni suatu pengalaman mistis antara yang-mengabdi ¬dengan Yang-Ilahi. Antara kawulo dan Gusti, dalam bahasa Jawa. Fenomena ini sangat penting dicermati, terutama tingkat-tingkat eksplanasinya dalam rangka mengerti metakejawen. Pengalaman mistis ini identik dengan realitas eksistensial diri. Ia adalah sebuah kesatuan, penyerapan, dan peniadaan diri, karenanya disebut juga sebagai sebuah kesatuan preposisional. Dengan demikian ia jauh di luar jangkauan semua bahasa konvensional, atau ia tidak terucapkan. Dalam terminologi mistisisme Jawa/kejawen disebut juga sebagai pengalaman anung unaning unong. Relasi-relasi pengetahuan di ”dalam”nya bersifat huduri. Hayatan suci yang diperoleh dalam pengalaman ini mendasari tindak-tindak pengetahuan imanen dengan representasi atau eksternalisasi rekonstruktif dari pengalaman kelimpahan ruhani ini. Dalam tradisi sufi hal ini disebut irfan. Pengetahuan kehadiran mistis atau eksternalisasi rekonstruksi secara sistematis untuk pertama kali dalam sejarah sufi dituliskan oleh Muhyidin Ibnu Al ’Arabi (1164-1240). Atau Eyang Ibnu Ngarobi dalam dialek kejawen. Secara kebahasaan tindakan ini disebut sebagai suatu bahasa obyek dari pengalaman mistis atau suatu mistisisme. Secara lebih spesifik, bahasa obyek dari pengalaman mistis Jawa adalah suatu mistisisme Jawa atau kejawen.
Sedangkan metamistisisme adalah berfilsafat –atau refleksi-refleksi filosofis-tentang mistisisme. Ia berakar pada suatu ilmu tentang –atau bahasa obyek- mistisisme (irfan). Salah satu karakter dari tindakan ini adalah sifatnya yang eksternal. Artinya ia adalah ”bahasa” tentang mistisisme, ia melakukan suatu transendensi terhadap mistisisme. Atau bisa juga disebutkan sebagai sebuah perenungan ilmiah filosofis terhadap bahasa obyek mistisisme. Dengan demikian metamistisisme melakukan identifikasi dan penyelidikan metamistik tentang mistisisme . Secara lebih spesifik, jika dikaitkan dengan diskusi tentang mistisisme Jawa, ia melakukan identifikasi dan penyelidikan metamistik tentang kejawen. Dengan demikian penyelidikan dan identifikasi filosofis atau berfilsafat dalam diskusi ini merupakan sebuah meta mistisisme Jawa atau suatu metakejawen.
Pikiran yang bekerja dalam tulisan ini juga hendak menggunakan beberapa technai. Yaitu sebuah kata Yunani dari kata techne yang berarti seni dan juga memiliki konotasi kepada teknologi yang selalu mengandung makna kebaruan. Istilah dari Jean-Francois Lyotard ini mengijinkan kerja filsafat untuk terus menerus mengeksplorasi kebebasannya dalam menemukan pola-pola ”baru” dalam berpikir sepanjang kemudian diupayakan mengkomunikasikannya dalam diskursus yang memadai. Memang sangat mungkin baru dan kebaruan tersebut diandaikan mengikuti naluri-naluri egoistis untuk menjadi ”baru otentik”. Kebaruan yang kemunculannya mengikuti prinsip creatio ex nihilio. Artinya, terciptanya ”kebaruan” itu dari ketiadaan. Baru yang otentik karena sebelumnya belum pernah ada. Ini mengisyaratkan harus adanya sebuah medan penciptaan dengan latar belakang jagat raya yang terus memuai tanpa batasan. Sebuah jagad raya tendensius dalam teori steady state universe. Dalam jagad pikir, determinasi kebertubuhan dalam mengada di dunia memberikan efek determinasi kepada kemungkinan tak berhingganya jagad pikir. Sub sole nihil novum, di bawah sinar mentari tak ada yang baru otentik. Namun determinasi ontologis ini masih memberikan ruang bagi kemungkinan ditemukannya kebaruan yang ”mendekati otentik”, saya menyebutnya sebagai kebaruan inventif. Ini adalah sebuah kebaruan epistemik dari eksplorasi tak kenal lelah terhadap metode-metode atau pola-pola yang telah lebih dulu ditemukan. Kebaruan inventif ini muncul dari eksperimentasi relasi-relasi kombinatoris dari kekayaan metodis-epistemologis yang telah ditemukan sebelumnya. Maka technai yang dimaksud dalam tulisan ini merupakan eksperimen metodis-epistemologis dalam berpikir filosofis yang diringkas dalam uraian di bawah ini.
Pertama, ia melampaui pola-pola dialektika yang telah menjadi paradigma hegemonik dalam tata pikir filsafat, pengetahuan, dan sains Eropa kontinental. Obyek yang diidentifikasi tidak lagi harus tunduk pada hukum-hukum dialektika, yakni dilawankan secara un vis a vis dengan realitas kekinian, atau (yang pada akhirnya bisa menjadi) realitas kepentingan yang tendensius. Dialektika menuntut berlakunya proses (multi)triadik -tesis-sintesis-antitesis (tepatnya: tesis>
Upaya pelampauan terhadap dialektika dalam tulisan ini bukan hanya karena dialektika –baik kompromisme Marx ataupun rekonsiliasisme Hegel- telah memberikan inspirasi ideologis kepada marxisme-komunisme saja semenjak akhir abad ke 19. Dialektika sekarang ini telah menjadi pemberi inspirasi dinamika keseluruhan semesta yang-modern –sebagai satu-satunya pola perkembangan- bagi kapitalisme-liberalisme bahkan agamaisme. Ia telah mengendap di alam bawah sadar kolektif –id kolektif- sebagai neurosis dunia. Gejala freudian kolektif ini merupakan konsekuensi global dari metanarasi dunia yang materialistik, tak peduli ia liberalistis ataupun sosialistis ataupun agamaistis. Efek alienasinya juga telah menjadi gejala umum di keseluruhan semesta yang-modern. Dalam onto-kosmogoni yang-modern demikian ini, hanya terdapat satu pilihan agar dinamika dunia menjadi mungkin. Sesuatu momentum imitasi yang memunculkan kontradiksi absolut harus direkayasakan, yaitu konflik global. Gejala demikian ini bisa dijumpai penjelasan logisnya misalnya pada karya Samuel Huntington: Benturan Peradaban. Ini adalah mitologi ”rasional” bagi modernisme global. Usaha menghindari konsensus untuk membentuk nilai-nilai moral global sebagai efek triadik freudian –superego kolektif- hanya menjerumuskan yang-modern kepada mitos kegelapan modernitas, yaitu mitos kontradiksi dialektik. Dalam bahasa yang-tradisi mitos kegelapan dialektika ini bisa ditulis sebagai: Sang Hyang Detya Dyalaktika, atau Batara Dyalaktikala, atau Ravan Dyalaktikan, atau Durga Dyalaktini, atau Lucipherus Dialacticus, atau Mephistopelis Dialectis, atau Al Iblis Al Diyaliktiqah, dan lain-lain sebagainya. Ini merupakan efek personifikasi simbolis. Sebuah konsekuensi numenklatural dalam ”rasionalitas” yang-tradisi.
Dengan demikian mungkin dilakukan sebuah operasi inversi oleh yang-tradisi terhadap yang-modern sebagai sebuah ruwatan –non-ritus, sebuah pangruwating diyu, atau sebuah exorciste-non-rite, yang melarung seluruh mitologi ”kegelapan” yang-modern. Biasanya dalam prosesi ritualnya terdapat doa yang berisi harapan agar mitologi pralaya (bencana) dalam yang-modern dapat ternihilisasi, sehingga yang tinggal hanyalah ”kebaikannya saja”. Yang-tradisi tidak bersifat ”membumi-hanguskan” yang-modern atau modernic-cleansing karena tidak memberlakukan mitos dialektika –baik rekonsiliatif maupun kompromistik- dari yang-modern. Hikmah kearifan hidup yang dihayati manusia selama ribuan tahun membatasi tindakan demikian. Ini merupakan wishdom-effect dari larangan memberlakukan antipati yang berlebihan atau ngono yo ngono, ning ojo ngono. Yang-tradisi menjunjung tinggi asas proporsionalitas dan kecukupan, karena keseluruhan hidup ini adalah sebuah dharma atau saderma hanglampahi. Prinsip ojo-dumeh menjadikan yang-tradisi tetap terbuka terhadap semua dedaya perbaikan dan kebaikan bahkan yang asalnya dari modernitas sekalipun. Yang-tradisi merupakan wujud dari orde estetika moral atau kemuliaan akhlak dan keluhuran ruhani , yang merupakan tujuan semua agama-agama dan/ataupun tradisi kebatinan. Yang-tradisi adalah syurga bagi semua manusia dan kemanusiaan sebagaimana sesanti suargi Sultan pendiri Kerajaan Islam Mataram, Eyang Panembahan Senopati Mataram, atau Raden Ngabehi Lor Pasar di Kotagede, atau Kalipatullah Ngabdurrahman Sayidin Panatagama. Sesanti tersebut dirumuskan sebagai ”hamemangun karyenak tyasing sesami” –membangun nagari tempat kenyamanan hati semua manusia. Keagungan yang-tradisi demikian itu memungkinkan bagi terbentuknya sebuah hadiningrat .
Kedua, tulisan ini menggunakan metoda epoche atau bracket dalam tradisi fenomenologi Husserl (1859-1938) bagi obyek yang diidentifikasi sementara penelusuran status maknanya sedang bekerja hingga obyek itu sendiri "berbicara". Metoda ini diharapkan dapat meminimalkan tendensi-tendensi dan kepentingan-kepentingan politis-ideologis baik secara kolektif maupun individu. Mengidentifikasi sesuatu ”awan” obyek akan berhadapan dengan sub-sub bahasan dalam obyek yang juga menuntut pemaknaan yang memadai. Epoche adalah sebuah kondisi antara, sebuah locus epistemus, yakni sebuah ruang di mana sub-obyek tertentu yang tidak/belum teraba status maknanya ”disimpan” terlebih dahulu di dalamnya. Eksplorasi dan identifikasi tetap berlanjut sekalipun terdapat sub-obyek yang ”disimpan” karena belum diperoleh status maknanya. Pada capaian pemahaman tertentu maka sub-obyek yang terepoche akan menjumpai status maknanya sendiri. Ia telah tersingkapkan berkat relasi-relasi persepsi dan interpretasi yang berkembang. Ini menggunakan semacam kesabaran era Schleiermacher untuk menghindari ketergesa-gesaan dalam eksplorasi dan identifikasi. Dalam khasanah Mataram/Jawa, terdapat sebuah pesan dari Kangjeng Pangeran Dipanegara (1810-1860) seda Makasar. Pesan tersebut merupakan hikmah kearifan hidup yang telah beliau hayati.
Ngger, wong urip iku ora keno kemrungsung, kudu sabar lan waspada, kudu titi lan nastiti (Anakku sayang, manusia dalam menjalani hidup tidak boleh tergesa-gesa, harus sabar dan waspada, harus titi dan nastiti)
Sikap metodis demikian muncul dari sebuah kesadaran bahwa mengidentifikasi yang-tradisi dan yang-modern artinya berhadapan dengan persoalan orde dengan tingkat kompleksitas tinggi. Banyak faktor, aspek, dan elemen kehidupan terkait di dalamnya. Tergesa-gesa merasa lengkap identifikasinya dapat terjerumus dalam suatu kekeliruan penyimpulan yang serius. Mircea Eliade, seorang ahli Sejarah Agama, mengemukakan tiga sikap metodik dalam meneliti, yakni hati-hati, terbuka/simpati, dan hormat. Hati-hati artinya tidak tergesa-gesa merasa tahu tentang yang diidentifikasi dan tidak merasa bahwa penelitiannya adalah yang paling representatif dan lengkap. Terbuka/simpati artinya rela membiarkan gejala yang diidentifikasi berbicara apa adanya dan mengungkapkan kebenarannya. Di samping itu penting bagi peneliti untuk merasakan subyek yang diidentifikasi –jika verklaren- serta penting pula mengkomunikasikan hasil identifikasi internalnya secara memadai –jika verstehen. Hormat artinya tetap memberikan sikap hormat terhadap subyek yang diidentifikasi, tidak tergesa memberikan vonis terhadap gejala yang tidak bersesuaian dengan harapannya.
Ketiga, seluruh data dan interpretasi mengenai obyek yang tengah diidentifikasi juga menjadi bagian dari pengalaman hidup yang dihayati atau noetic. Hayatan hidup dari internalisasi pengalaman hidup atau mengada di dunia dengan demikian merupakan suatu pergulatan eksistensial. Ia bagian dari tindakan fenomenologis kesadaran dalam menyituasikan diri di dunia. Dunia yang dihayati –lebenswelt- menghamparkan realitas-realitas obyektif atau terobyektifkan dalam jagat-jagat terintegrasi dari jagat benda-benda, jagat kejadian dan peristiwa, serta jagat kreatif manusia. Jika diperluas, jagat mistis –dalam diskusi mistisisme ini- termasuk dalam ”dunia-dunia” yang mungkin menjadi hayatan hidup manusia. Sebaliknya, fakta-fakta hayatan mistis di seluruh kebudayaan manusia secara langsung menunjuk kepada eksistensi status dimensional dunia-dunia mistis. Setidaknya, ia mengacu kepada realitas ekstra-tridimensional atau ekstra-ruang-waktu. Tentu saja perluasan semesta dunia fenomenologis kepada dunia-dunia mistis mensyaratkan berlakunya relasi-relasi pengetahuan yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan korespondensi atau analisis diskursif.
Cara pendekatan lain atas status dimensional dunia-dunia mistis juga bisa dilakukan. Dalam tradisi freudian, id adalah sesuatu instansi bawah sadar di mana refleksi-refleksi dari kesadaran mengendap. Hal ini terjadi ”setelah” kesadaran menghayati hayatan-hayatan hidup. Internalisasi hayatan-hayatan hidup ini ada yang begitu saja terendapkan, namun ada juga yang lebih dahulu mengalami rasionalisasi dalam persepsi-persepsi ”ilmiah” yang telah diperoleh subyek sebelumnya. Ini semacam mekanisme internal kesadaran dalam tradisi aposteriori kantian, pengetahuan yang terbentuk setelah pengalaman. Tetapi sesungguhnya sebelum itu semua terjadi, terdapat proses mengetahui yang terkait erat dengan tubuh dan kebertubuhan manusia. Konsekuensi dari mengada di dunia menjadikan kebertubuhan manusia penting untuk dicermati. Tubuh adalah intermedium dalam etre au monde. Ia adalah kesadaran yang terlibat langsung dengan dunia. Oleh karena itu tubuh juga menjadi sebuah sensegiving yang berfungsi sebagai instansi bagi pengetahuan-pengetahuan latent. Tubuh senyatanya lebih banyak tahu tentang dunia ketimbang kesadaran. Tubuh selalu mencoba memberikan jawaban terhadap usulan atau undangan dari dunia yang masih samar-samar. Sensegiving sendiri berarti tubuh yang menyatu dengan dunia dalam suatu pola vektor intensional yang ”keluar”. Tubuh ialah sebuah jalan/pintu yang dengannya manusia mencari arah menuju alam dan berikut mode of appearance dari alam. Tubuh juga ialah keseluruhan dari syarat-syarat wujud yang perlu supaya suatu proyek eksistensial bisa terwujud dan dalam aktualisasi. Menurut Maurice Merleau Ponty (1900-1961) fungsi tubuh adalah ”konsepsi” dari salah satu corak eksitasi. Kejadian-kejadian fisiologis tidak lagi hanya dapat diterangkan dengan hukum sebab-akibat fisikal. Dengan demikian saya bukan saja mengalami tubuh saya, melainkan saya mengalami tubuh-yang-menghadapi-dunia. Dunia yang saya alami juga menjadi nyata berdasarkan pengalaman-pengalaman prapredikatif (tidak sadar).
Maka ketika saya mengamati sesuatu obyek, sesungguhnya saya sedang mengamati via tubuh saya atau penginderaan. Tubuh sebagai pengindera justru melingkupi pengetahuan-pengetahuan habitual dari dunia. Suatu pengetahuan yang menjadi endapan, karena tubuh selalu ”lebih tahu” tentang dunia. Tubuh menyatu dengan yang diamatinya, berdasarkan suatu pola autochton atau vektor intensional dari tubuh tersebut. Tubuh sebagai tubuh-saya (le corps vecu) sudah bersituasi, siap sedia untuk setiap pengamatan. Tubuh menjadi suatu eksistensi etre au monde yang anonim dan general sebagai sebuah infra-struktur, landasan, bagi seluruh kehidupan pribadi. Intensionalitas tubuh tidak bekerja atas pengetahuan sadar. Tubuh adalah sesuatu instansi yang-tahu, yang-mengerti, seperti dinyatakan Ponty.
Namun kesatuan tubuh dengan dunia-yang-diamati juga merupakan sebuah kesatuan dalam perbedaan, unity in diversity. Tubuh/penginderaan mewahyukan dunia sebagai kesatuan dalam perbedaan. Tubuh sebagai suatu integritas pengindraan yang secara serempak menuju suatu dunia yang diwahyukan dalam aneka pintu masuk menuju dunia tersebut. Mengalami dunia yang diwahyukan, dunia-yang-dihayati, merupakan konsekuensi dari etre au monde. Dunia adalah dunia yang saya alami. Mencari penalaran terbaik dunia sebagai pengalaman merupakan sesuatu yang membutuhkan perhatian. Dunia ialah pengalaman, dan pengalaman primer berarti saya mengalami dunia. Secara fenomenologis, ketika mengamati dunia, kemunculan pertama bukan dunia/alam/welt, bukan juga mengalami-dunia (welterfahren), tetapi bentuk dari pengalaman yakni ke-saya-an dari dunia. Semua pengalaman dialami dalam satu perbuatan –akt- yaitu perbuatan-saya. Dunia adalah sesuatu yang ”mengalir”. Aliran tersebut harus dijelaskan sebagai suatu ke-saya-an. Maka diskusi tentang ichlichkeit –ke-saya-an- menjadi signifikan, bahkan die Ichlichkeit das Ich, kesayaan dari saya. Perluasan dunia fenomenologis ke semesta dunia mistis juga merupakan konsekuensi dari etre au monde. Dunia mistis juga merupakan sesuatu dunia yang harus saya alami. Sesuatu konsekuensi dalam menyituasikan diri saya di dunia. Suatu dunia yang ”mengalir” yang menuntut eksplanasi sebagai suatu ke-saya-an. Suatu die mystischkeit das Ich, kemistikan dari saya. Atau die ichlichkeit die mystizismus, kesayaan dari mistisisme. Untuk kemudian menjadi landasan bagi eksplanasi terhadap mystisch-welterfahren, mengalami dunia mistis.
Keempat, kearifan-kearifan lokal Jawa-muslim yang telah dihayati menjadi determinan/kanopi tradisi yang melingkupi. Ini adalah titik-pijak Berger, sebuah standpoint fenomenologis untuk meninjau luasan yang-global atau yang-modern sebagai sebuah kurva terbuka. Kesadaran harus bereksistensi agar aktus menyituasikan diri di dunia menjadi mungkin. Eksistensi atau existence berasal dari kata kerja Inggris to exist yang berarti the state of being. Asalnya dalam bahasa Latin adalah existo dan existere. Dalam bahasa Perancis existo, yakni terbentuk dari kata ex dan sisto, yang artinya sama dengan to stand . Affirmasi epistemologis eksistensial dilakukan dengan menyelami kedalaman-kedalaman yang-tradisi. Akumulasi epistemologis khasanah tradisional selama ribuan tahun mengijinkan yang-tradisi terhindar dari floating mind, dari budaya massa mengambang atau floating mass. Hans Kueng –seorang teolog Kristen Jerman non-Yahudi- misalnya memandang keseluruhan persoalan teologi di dunia modern dari titik pijak bergerian ini sebagai standpoint .
Peradaban yang-modern berbasis pengetahuan diskursif –dalam tradisi Jawa disebut ngelmu- yang sifatnya empiris dan hegemonik. Artinya ia tidak mengijinkan berlakunya cara pandang, alur logika, dan penyimpulan-penyimpulan ”logis” yang berbeda. Akibat dari hegemoni paradigmatik demikian ini, yang-modern menjadi ekamatra atau berdimensi tunggal belaka. Bahwa yang rasional adalah semua yang sesuai dengan kanon-kanon logika yang-modern. Himpunan rasionalitas yang berbeda dan tidak mengikuti kanon-kanon logis yang-modern harus direduksi dan dimasukkan dalam kategori yang di seberang sana atau di luar esensi. Paradigma filsafat ini mengakibatkan reduksi epistemik pada asumsi-asumsi dan ide-ide prakonsepsi ilmiahnya atas nama obyektivitas-positivistik. Dalam tradisi sosiologi dan anthropologi rasionalitas demikian ini menghendaki berlakunya operasi desakralisasi dan demitologisasi. Maka terjadilah pola diatic legal-illegal, profan-sakral, logis-mitologis, imanen-transenden, kodrati-adikodrati. Kategori kedua yakni himpunan [illegal, sakral, mitologis, transenden, adikodrati] terpolarisasi sebagai yang-tradisi. Atau jika mengikuti tradisi kategorisasi platonik disebut sebagai yang di seberang sana atau di luar esensi. Sedangkan kategori pertamanya yakni himpunan [legal, profan, logis, imanen, kodrati] atau yang-modern ditunggalkan/dihegemonisasi. Proses ini menggunakan reduksi-reduksi kosmogonik yakni operasi desakralisasi dan demitologisasi. Namun proses ini mengakibatkan timbulnya beberapa gejala: 1) Terjadi pembekuan epistemik terhadap fakta-fakta yang-tradisi. Betapapun fakta-fakta yang-tradisi dialami manusia modern, ia harus diasumsikan =0. Dalam kehidupan nyata, yang-modern harus berpura-pura asing terhadap yang-tradisi. Bahkan secara sosiologis, berpura-pura asing terhadap yang-tradisi telah menjadi sesuatu trend dan status symbol. 2) Implikasi dari kepura-puraan ontologis tersebut menimbulkan efek peremangan atau yang-tradisi menjadi realitas yang samar-samar. Ia menjadi pengetahuan underground. Mempelajarinya adalah sebuah pengkianatan terhadap hegemoni ekamatra modernitas. Mempelajarinya menjadikan subyeknya tak-modern dan menjijikkan. Mempelajarinya seperti mengikuti sebuah makar, atau sebuah persekongkolan yang diharamkan karena mengancam semua kemapanan status-status prestisius dalam modernitas. 3) Lebih jauh lagi, terjadi kebutaan epistemik terhadap yang-tradisi. Bukan sekedar amnesia, sebagaimana manusia Eropa mengalami amnesia terhadap filosofi Being/Ada. Kebutaan ini adalah sebuah ketercerabutan jika bukan sebuah keterputusan. Ia sebuah kondisi awidya, atau pengetahuan suci yang hilang.Maka yang-tradisi menjadi tak terpahami, dan tatanan pengetahuannya –yang telah tertata selama ribuan tahun- menjadi tak lagi dikenali. Ia hanya menjadi kode-kode atau clues yang samar-samar namun meninggalkan sebuah trauma kolektif: bahwa ia bagaimanapun merupakan bagian penting makna mengada manusia di dunia.
Kelima, tulisan ini juga menggunakan identifikasi ”awan” Lyotard, yakni suatu diskusi yang harus mencari jalur baru untuk mendekati ”awan” yang-tradisi dan ”awan” pikiran yang digunakan untuk mengidentifikasi. Hal ini untuk melampaui relasi-relasi interpretatif yang tendensius terhadap ”awan” yang-tradisi. Mereka ini –yakni yang menggunakan relasi-relasi interpretatif yang tendensius- hanya meninggalkan chaos dalam diskusi-diskusi mengenai yang-tradisi. Akibatnya yang muncul hanyalah keputusasaan epistemologis, keraguan eksplanatif, dan bahkan masuk ke dalam kediaman apatisme. Ini adalah pembunuhan karakter terhadap warga alit Jawa yang menjadikan tradisinya sebagai weltanschauungnya, pedoman hidupnya. Sementara elit kulturnya terus menerus terombang-ambing dalam mitos-mitos tentang rasionalisme formal jaman viktorian dan kaidah-kaidah nilai yang tidak jelas epistemologinya. Mengenai hal demikian ini Lyotard menulis,
Ini mengilhami prinsip pencarian tanpa akhir dari tugas-tugas mendiskusikan awan (pikiran). Dalam pengertian ini, pendahulu-pendahulu seperti Sterne, Diderot, dan Proust tak kalah pentingnya dari Einstein atau Heisenberg. Masing-masing memberi kita ilustrasi dari aturan Claude Simon: selama tidak mengkhayal, untuk memulai, melanjutkan, dan menyelesaikan frase, paling tidak untuk mencoba mengerjakannya, terdapat pikiran atau tulisan dalam "keseluruhan" nya.
Keenam, adalah Albert Einstein yang menggugurkan efek kronologis dari bentangan ruang-waktu. Dalam tulisan ini hukum dilatasi ruang-waktu dipergunakan untuk membentuk sebuah tinjauan invertif terhadap pandangan supremasi modernisme. Modernisme dinisbatkan kepada jaman, cara berpikir, atau cara hidup ”baru”. Sesuai dengan etimologinya moderne (baru), namun ia juga berkonotasi meniadakan hal yang telah lampau, passe. Secara kronologis, yang-kemudian menghapuskan berlakunya yang-terdahulu. Atau yang-terdahulu harus ditinjau dengan menggunakan pola yang-kemudian sebagai satu-satunya cara pandang. Dalam Fisika teoritik, Teori Relativitas Umum Einstein meniadakan ”sekat” antara yang-telah-lalu, sekarang, dan yang-akan-datang. Hal ini disebabkan berlakunya konstanta cepat rambat cahaya c sebagai batasan bagi kecepatan gerak materi di seluruh jagat raya. Akibat penemuan hukum alam ini, maka pada cepat rambat materi tertentu dapat mengakibatkan terjadinya dilatasi -atau pemuaian dan pengerutan- pada ruang-waktu. Dalam surat duka cita kepada keluarga dekatnya Albert Einstein menulis,
Sekarang ia telah wafat hanya tak lama mendahului saya. Bagi kami para fisikawan, waktu bukanlah sebuah persoalan. Yang telah lalu, sekarang, dan yang akan datang tidak ada artinya sama sekali... (Albert wafat hanya tiga minggu sesudah menuliskan surat duka tersebut, pen.)
Tinjauan invertif adalah sebuah tinjauan yang menggunakan pandangan berkebalikan –dalam tulisan ini vektor waktu- sehingga efek kronologi tidak berlaku. Dengan kata lain, jika semula modernitas menghegemoni masa lalu, maka tinjauan invertif bisa memberlakukan hal yang sebaliknya, yakni cara berpikir masa lalu menghegemoni cara berpikir modern. Yang-tradisi dicobakan menghegemoni yang-modern.
Ketujuh, analisis komparatif dipergunakan untuk memperoleh pola-pola kesebandingan struktural antar dua kerangka peristiwa. Yakni kerangka peristiwa yang-diidentifikasi dan kerangka peristiwa yang menjadi frame of reference. Relasi analogis diijinkan sepanjang memenuhi syarat kesetaraan logis dan sepanjang ia mendapatkan penjelasan yang memadai.
Saya mengambil tantangan berpikir ini juga mengikuti prinsip keagungan Kant –erhaben- yakni prinsip untuk terus menerus menemukan yang lebih baik. Semacam asas hanif dalam kehidupan muslim Jawa. Kant menyebutkan bahwa orang-orang terpelajar, berbudi luhur dan memiliki komitmen moral merasakan kehadiran dan respon terhadap daya tarik ide kebebasan sekalipun di tengah-tengah chaos atau kekacauan. Antusiasme ini sebuah begebenheit –peristiwa- sekaligus merupakan pertanda –signum atau zeichen- bahwa manusia selalu dalam arus kemajuan menuju yang lebih baik. Sekalipun hal ini berarti harus melakukan eksplorasi dan rekonstruksi terhadap paradigma-paradigma dalam tradisi masa lalu. Kemajuan tidak harus selalu diartikan sebagai progresivisme. Socrates menyebutkan adanya prinsip pencapaian nalar terbaik. Artinya, hidup manusia membutuhkan episteme. Kejatuhannya untuk mengada ”di sana” –di dunia- memaksanya untuk meruang-waktu.
Sementara itu obyek yang tengah diidentifikasi, yakni tradisi muslim kejawen, merupakan bagian dari kemisterian budaya Jawa atau bahkan kemisterian jagat raya. Namun fenomena ini bukan merupakan ketunggalan yang bisa membawa orang Jawa -atau bukan- kepada narsisme etnologis. Keseluruhan jagat raya ini memang misteri, universum altum mysterium. Namun uniknya ia mengikuti prinsip Einstein mengenai kemungkinan terpahaminya. Bahwa hal paling misterius dari jagat raya ini adalah justru bahwa ia mungkin untuk dipahami manusia . Berangkat dari prinsip Einstein ini, mungkin untuk memahami kemistikan dari tradisi, atau die mytischkeit das tradition. Dengan kata lain, perjumpaan dengan status makna tradisi mistik sungguh-sungguh mungkin. Agak berbeda dengan Albert, Stephen Hawking menuliskan bahwa ia tidak sependapat dengan pandangan bahwa jagat raya adalah sebuah misteri. Atau, seperti sesuatu yang dapat dirasakan, tetapi tidak dapat dianalisis atau terpahami secara penuh. Meskipun masih banyak sekali yang belum diketahui atau dipahami tentang jagat raya, menurut Hawking, kemajuan pikiran dan sains yang telah dicapai manusia setidaknya selama 100 tahun terakhir harus menjadi pendorong bagi sebuah keyakinan bahwa memahami jagat raya ini secara keseluruhannya adalah mungkin dan tidak berada di luar jangkauan manusia. Sekalipun mungkin bahwa hal itu lebih merupakan sebuah harapan atau fatamorgana, tetapi jauh lebih baik berjuang mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap ketimbang pasrah tanpa upaya.
***